JAKARTA, KOMPAS — Perekrutan calon anggota legislatif oleh partai politik menjadi pintu masuk untuk membenahi lingkungan politik agar tahan menghadapi godaan korupsi politik masif di lembaga legislatif dan eksekutif. Ironisnya, parpol tidak banyak berbenah dan membuat terobosan untuk membenahi sistem pencalegan.
Pada saat yang sama, wacana seperti yang direncanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melarang bekas narapidana perkara korupsi guna menjadi calon anggota legislatif mulai ditolak sejumlah anggota DPR karena dinilai tidak punya payung hukum.
Padahal, menurut anggota KPU Wahyu Setiawan di Gedung KPU di Jakarta, Rabu (4/4/2018), wacana yang telah diputuskan dalam rapat pleno KPU untuk dimasukkan dalam Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif itu muncul karena KPU menyadari korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang punya daya rusak luar biasa pula. Pesan moral dari pengaturan itu adalah agar parpol bisa memilih kader terbaik yang layak dipilih masyarakat serta mengedukasi pemilih untuk memilih wakilnya yang punya rekam jejak bagus.
Pesan itu menjadi penting karena korupsi di lingkungan legislatif terus saja terulang dengan modus yang relatif sama, seperti suap terkait pembahasan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dalam kasus ini, terakhir, KPK menetapkan 33 anggota dan bekas anggota DPRD Sumatera Utara sebagai tersangka.
Ketentuan bahwa caleg tidak pernah menjadi narapidana perkara korupsi memang tidak dicantumkan dalam syarat pencalonan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 240 huruf (g) UU No 7/2017 hanya menyatakan, syarat caleg adalah tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan eks terpidana.
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengingatkan, rancangan peraturan KPU tidak bisa bertentangan dengan isi UU No 7/2017. (Kompas, 3/4/2018)
Namun, menurut pendiri Constitutional and Electoral Reform Hadar Nafis Gumay, KPU tetap bisa memasukkan pengaturan bahwa bekas narapidana perkara korupsi tak dapat menjadi calon anggota legislatif dalam peraturan KPU. Ini karena kasus korupsi merupakan tindak pidana luar biasa yang berbeda dari pidana umum. ”Hanya disayangkan sepertinya DPR menolak hal ini,” kata Hadar.
Hari Kamis ini, KPU akan melakukan uji publik terkait peraturan KPU yang melarang bekas narapidana perkara korupsi untuk menjadi caleg. Dalam Pasal 8 Ayat 1 Huruf J draf Peraturan KPU itu disebutkan caleg ”bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”.
Kewalahan
Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Pareira menuturkan, partai sebenarnya sudah berusaha melakukan perekrutan dengan memperhatikan rekam jejak para bakal calon anggota legislatif. Bakal caleg yang bermasalah atau punya potensi masalah otomatis akan dicoret dan tidak mendapat tiket pencalonan.
Namun, Pareira mengakui, sebenarnya perekrutan yang ketat dan cermat terhadap bakal caleg tidak berlaku di semua tingkatan. Biasanya, perekrutan di tingkat pusat atau provinsi sedikit lebih teliti. Namun, tidak demikian di tingkat kabupaten/kota. ”Saat penjaringan, kami wawancara para bakal caleg, kami tanyakan, apakah punya masalah atau tidak, potensi bermasalah atau tidak? Tapi, kan, tidak semua mau jujur dan terbuka, apalagi di tingkat kabupaten/kota,” katanya.
Sementara partai, kata Pareira, kewalahan jika harus mengecek satu per satu potensi masalah hukum bakal calegnya. ”Yang paling bagus, jika KPK melihat ada potensi, langsung beri tahu partai sebagai upaya pencegahan,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Reni Marlinawati mengatakan hal serupa. Menurut dia, kader yang melakukan korupsi tidak semuanya memiliki rekam jejak yang buruk. Ada yang bersih dan berintegritas pada saat tahapan perekrutan. Namun, setelah berkecimpung di dunia politik, sistem yang ada menggiring mereka untuk ikut korupsi.
Sementara itu, partai sendiri tidak mungkin mengawasi setiap gerak-gerik kadernya. ”Hal yang bisa dilakukan partai adalah tegas memecat kalau ada kader yang terbukti korupsi. Itu mekanisme dan komitmen dari partai,” katanya. (AGE/GAL/NDY/APA)