JAKARTA, KOMPAS -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta membuka informasi dan proses pemberian lahan pengganti bagi perusahaan hutan tanaman industri yang 40 persen lebih areal kerjanya berada di kawasan gambut berfungsi lindung. Ini untuk menghindari konflik baru serta pembukaan hutan alam yang kontradiktif dengan kebijakan kehutanan terkini.
Lokasi lahan pengganti menggunakan lahan bekas izin usaha pemanfaatan hutan hasil kayu hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) maupun kawasan pencadangan.
Dalam Surat Keputusan 4732 tertanggal 14 September 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyiapkan area lahan pengganti HTI seluas 921.230 hektar yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Di bagian lampiran SK 4732 itu disertakan 88 peta dari tiap lokasi.
Peneliti Yayasan Auriga Nusantara, Syahrul Fitra, Rabu (4/4/2018), di Jakarta, mengatakan, peta pada lampiran SK 4732 belum menunjukkan lokasi lahan pengganti. Peta itu hanya menunjukkan lokasi calon/pencadangan HTI dan lokasi konsesi HTI aktif.
Ia minta agar pemberian lokasi landswap (lahan pengganti) ini terbuka ke publik. "Jangan sampai landswap timbulkan konflik baru dengan masyarakat," kata dia.
Apabila proses dibuka, kata Syahrul, masyarakat maupun kelompok masyarakat sipil bisa memberikan masukan apabila lokasi lahan pengganti berpotensi konflik dengan masyarakat. Meski pemberian izin merupakan hak pemerintah, kata dia, masyarakat berhak tahu dan dilibatkan.
Hindari konflik
Ini belajar dari konflik-konflik sebelumnya yang disebabkan pengabaian atas keberadaan masyarakat sekitar. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, konflik di sektor kehutanan - di antaranya di wilayah HTI - mencapai 30 kasus dari 208 konflik agraria pada 2017.
Selain menghindari konflik, kata Syahrul, pelibatan masyarakat juga diperlukan agar lokasi landswap tidak berada pada kawasan hutan yang masih memiliki tutupan baik. Tujuannya agar kebijakan mengatasi "pemutihan" ketelanjuran pemberian izin di lahan gambut, malah menimbulkan deforestasi baru.
Direktur Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KLHK Drasospolino mengatakan, saat ini belum ada pemberian lahan pengganti. "Sudah ada yang mengajukan (lahan pengganti) tapi belum ada yang diberikan. Sekarang lagi dievaluasi dan diverifikasi. Tidak bisa ujug-ujug (tiba-tiba) diberikan lahan pengganti," kata dia.
Ia mengatakan, pihaknya terbuka akan lokasi lahan pengganti. Ini ditunjukkannya dengan mengunggah SK 4732 tentang Peta Indikatif Arahan Pemanfaatan Hutan Produksi yang Tidak Dibebani Izin untuk Usaha Pemanfaatan Hutan beserta peta-peta lampirannya.
Drasospolino mengakui peta ini masih bersifat indikatif yang harus diverifikasi di lapangan. Peta ini pun menyesuaikan perubahan tata ruang, data tutupan hutan, pembaharuan data perizinan, dan masukan masyarakat.
Kebijakan penggantian lahan usaha atau landswap ini diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 40 Tahun 2017 tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Aturan itu diberlakukan bagi industri kehutanan yang 40 persen atau lebih lahannya ada di daerah gambut lindung.