Putusan Terkait Terawan Diminta Segera Dieksekusi
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia meminta agar pihak terkait melaksanakan amar putusan tentang dokter spesialis radiologi Terawan Agus Putranto. Terawan dinyatakan melanggar kode etik kedokteran Indonesia.
Selain merupakan hasil kinerja paripurna, putusan itu telah berkekuatan tetap dan bersifat mengikat. ”Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) bekerja berdasarkan sumpah dokter dan kode etik kedokteran Indonesia dengan tujuan keselamatan pasien,” kata Ketua MKEK Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Prijo Sidipratomo, Rabu (4/4/2018), di Jakarta.
Menurut Sekretaris MKEK PB IDI Purkovisa Prawiroharjo, pihak terkait harus mengeksekusi putusan majelis, antara lain PB IDI, IDI wilayah, IDI cabang, Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia, dan dinas kesehatan setempat.
Dalam amar putusannya, majelis menyatakan Terawan melanggar etik serius dan menetapkan sanksi berupa pemecatan sementara sebagai anggota IDI selama 12 bulan mulai 26 Februari 2018 sampai 25 Februari 2019. Majelis juga merekomendasikan pencabutan izin praktik.
”Putusan majelis adalah murni etika perilaku profesional bersangkutan berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Tidak ada pertimbangan akademik ataupun prosedur standar operasional tindakan kedokteran,” kata Purkovisa.
Selama persidangan yang berlangsung lebih dari dua tahun, Terawan tak pernah hadir. Padahal, berdasarkan Kodeki, dokter wajib melaksanakan etika kedokteran dan menghormati organisasi profesi.
Dokter juga wajib memberikan informasi sebenarnya kepada pasien, menghindarkan diri dari perbuatan memuji diri. Dokter pun wajib berhati-hati mengumumkan dan menerapkan penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum teruji kebenarannya dan hal yang meresahkan warga.
Menurut Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Prof Bambang Supriyanto, ada tiga jenis pelanggaran kedokteran, yakni pelanggaran etika terkait Kodeki dan pelanggaran disiplin ilmu serta prosedur standar operasi, dan hukum pidana. Pelanggaran etika ditangani IDI, pelanggaran disiplin ditangani KKI.
Terawan, yang menjabat Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, menyatakan belum menerima surat putusan itu. ”Seharusnya surat itu tak ditujukan personal. Sebagai militer, surat itu harus ditujukan lebih dulu kepada atasan saya, yaitu Kepala Satuan Angkatan Darat,” ujarnya.
Metode cuci otak
Terawan adalah dokter spesialis radiologi yang berpraktik di RSPAD. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia ini memopulerkan metode cuci otak (brain washing) dengan digital substracion angiography (DSA) untuk terapi stroke dan obat heparin.
Jadi, DSA adalah pemeriksaan yang memberikan gambar lumen atau permukaan bagian dalam pembuluh darah, termasuk arteri, vena, dan serambi jantung. Selama ini DSA jadi alat diagnosis. Namun, DSA sebagai metode terapi dinilai bertentangan dengan tata laksana stroke karena belum teruji klinis dan bisa membahayakan keselamatan jiwa pasien.
Ketua Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia Prof Hasan Machfoed menegaskan, DSA ialah alat diagnosis penyakit saraf, bukan bagian tata laksana stroke. Adapun heparin tak bisa jadi terapi stroke karena mencegah pembekuan darah saat DSA. ”Ada pelanggaran disiplin (prosedur terapi stroke) oleh Terawan,” ujarnya.
Heparin untuk mencegah pembekuan darah, bukan menghancurkan darah membeku. Penggunaan heparin dosis tinggi membahayakan jiwa pasien sebab mengganggu pembekuan darah.
Namun, Terawan menegaskan bahwa metodenya berdasar kajian akademis. ”Metode DSA ini saya buat disertasinya bersama rekan-rekan lain di Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan. Ada pohon risetnya dan menghasilkan 12 jurnal internasional dan kami jadi doktor bidang DSA,” ucapnya.
Terawan menulis jurnal internasional dengan judul ”Intra Arterial Heparin Flushing Increases Cerebral Blood Flow in Chronic Ischemic Stroke Patiens” yang berisi metode pengobatan stroke melalui program cuci otak dengan alat DSA yang sudah dimodifikasi.
Terawan juga menegaskan tidak mengiklankan dirinya serta menaruh biaya yang mahal terkait metode serta praktik pengobatan ini. Ia pun enggan menjelaskan secara detail terkait metode cuci otak ini.
Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis menilai, beredarnya surat pemberhentian Terawan tidak sesuai prosedur karena seharusnya surat itu bersifat rahasia. ”Surat ini adalah rekomendasi, tak boleh disebarluaskan karena mencemarkan nama baik RSPAD Gatot Subroto dan dokter bersangkutan,” ujarnya dalam kunjungan ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, beredar surat dari MKEK PB IDI terkait pemberhentian Terawan selama 12 bulan dari anggota IDI. Hal ini terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik yang ia lakukan terkait praktik cuci otak berbasis radiologi intervensi.
Abdul menjelaskan, hingga saat ini Terawan masih menjabat Kepala RSPAD. Praktik yang ia lakukan juga masih berjalan hingga hari ini.
Pengakuan pasien
Anggota DPR Komisi I, Dave Laksono, menjelaskan, dirinya pernah menjalani metode cuci otak ini. ”Awalnya saya merasakan migrain serta pusing yang cukup sering. Kemudian, saya coba mengikuti pengobatan ini. Proses awalnya, otak saya di-scan terlebih dahulu,” katanya.
Dave menuturkan, setelah di-scan, akan dikonsultasikan kepada tim medis, apakah proses DSA diperlukan atau tidak. ”Akhirnya saya menjalani metode cuci otak ini. Prosesnya tidak lama, hanya sekitar setengah jam. Saya dikateter dari kaki, kemudian disuntikkan obat,” lanjutnya.
Setelah itu, sumbatan di kepala Dave terlihat, kemudian sumbatan ini dibuka dan didorong sehingga plak lemak di otak hilang. ”Efeknya, saya menjadi jarang pusing dan penglihatan saya menjadi lebih jelas,” katanya.
Sandra, kerabat salah satu pasien yang berobat dengan metode cuci otak yang dilakukan Terawan, menjelaskan, metode ini tak hanya untuk mengobati, tetapi juga mencegah stroke. ”Saya mengetahui metode ini sekitar tahun 2014. Kemudian saya merekomendasikan kepada rekan saya, beberapa anggota kepolisian yang juga mengikuti metode ini,” ujarnya.
Menurut Sandra, beberapa kerabatnya yang mengalami gejala stroke bisa dicegah dengan metode ini. ”Ada seorang kerabat saya yang mengaku sering pusing, kemudian diperiksa dulu dengan MRI scan, dan diketahui ada gejala stroke. Lalu, ia dicegah dengan metode brain wash ini,” ucapnya.