Sejak program Jaminan Kesehatan Nasional dijalankan pada 2014 hingga 2016, BPJS Kesehatan telah mengucurkan dana kapitasi Rp 30,5 triliun kepada 20.708 FKTP yang meliputi puskesmas serta klinik umum dan klinik gigi milik swasta maupun TNI/Polri.
Separuh lebih dana kapitasi itu didistribusikan ke puskesmas- puskesmas, senilai total Rp 22,7 triliun atau sekitar 74,4 persen dari total dana kapitasi selama 2014-2016.
Dana sisa yang mengendap hingga miliaran di puskesmas itu belum dimanfaatkan untuk mengoptimalkan pelayanan. Antrean panjang untuk berobat masih ditemukan di sebagian besar puskesmas akibat minimnya pelayanan. Pasien lelah dan tersita waktunya hanya untuk antre.
Tak optimalnya serapan dana kapitasi tergambar dari sejumlah puskesmas yang didatangi Kompas. Di Puskesmas Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, misalnya, serapan dana kapitasi selama 2017 hanya 54,8 persen dari Rp 2,62 miliar sehingga menyisakan Rp 1,1 miliar pada tahun itu. Sementara layanan Puskesmas Pakisjaya tak maksimal.
Sabtu (31/3/2018), kakek Aca (66), warga Desa Solokan, Kecamatan Pakisjaya, mengeluhkan perutnya sakit dan didiagnosis menderita sakit maag oleh bidan karena ketiadaan dokter umum pada hari itu. Pekarangan dan kondisi gedung Puskesmas Pakisjaya pun memprihatinkan. Ruang pendaftaran masih digabung dengan ruangan untuk persalinan.
Di Kabupaten Bogor bahkan ada pasien mengeluarkan uang sendiri untuk membeli obat yang seharusnya telah ditanggung dana kapitasi. Yeni, warga Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, harus merogoh koceknya untuk membeli infus dan perban seharga Rp 60.000 untuk membersihkan luka di kaki suaminya, Ujang, yang dirawat di Puskesmas Ciampea.
Rawan korupsi
Persoalan lain, dengan sisa dana yang begitu besar, tanpa pengawasan memadai dan laporan penggunaan yang rinci, sisa dana kapitasi rawan dikorupsi. Contoh paling nyata adalah kasus Bupati Jombang (nonaktif) Nyono Suharli Wihandoko yang disuap bawahannya menggunakan uang dana kapitasi yang dikutip tiap puskesmas. Kasus lain adalah mantan Bupati Subang Ojang Suhandi yang mengutip uang dari pejabat dinas kesehatan setempat. Sebagian uang tersebut berasal dari dana kapitasi.
Tidak dimanfaatkan
Anggota IV BPK Bagian Kesehatan Pendidikan dan Kebudayaan, Harry Azhar Aziz, mengatakan, audit BPK menemukan sisa anggaran dana kapitasi menumpuk dalam jumlah besar di tiap puskesmas. Ada begitu banyak dana yang tak termanfaatkan di setiap puskesmas.
”Kalau ada sisa, berarti tak dimanfaatkan. Ada belanja puskesmas yang tak maksimal atau puskesmasnya yang memang tak melayani pasien,” kata Harry.
Menurut anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Ahmad Ansyori, rendahnya serapan dana kapitasi terkait dengan tata kelola puskesmas yang masih di bawah kendali pemerintah daerah. Puskesmas tak sepenuhnya berdiri otonom dalam pengelolaan dana kapitasi kendati dana tersebut langsung disalurkan oleh BPJS Kesehatan ke rekening setiap puskesmas.
Menurut Pelaksana Tugas Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi Alamsyah, penyerapan dana yang optimal baru terjadi pada jasa layanan medis yang memperoleh porsi 60 persen dari dana kapitasi. Sementara 40 persen untuk biaya operasional belum terserap maksimal. Biaya operasional dapat digunakan untuk pengadaan obat, alat kesehatan, dan kegiatan lainnya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris sempat meragukan jika sisa dana kapitasi di seluruh puskesmas se-Indonesia hingga akhir 2016 mencapai triliunan. ”Mesti dicek berapa puskesmas yang sisa. Enggak mungkin sampai triliunan,” ujarnya.
Fachmi mengungkapkan, dana kapitasi tetap dikucurkan BPJS Kesehatan setiap tahun meskipun ada sisa di puskesmas karena sudah diatur dalam perpres dan permenkes.
”Kita sangat prihatin kalau uang (kapitasi) yang 40 persen untuk meningkatkan servis pelayanan tidak dioptimalkan,” kata Fachmi.