Rp 3,02 Triliun Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Menumpuk di Puskesmas
Oleh
MADINA NUSRAT/HARRY SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyerapan dana kapitasi di setiap puskesmas yang merupakan fasilitas kesehatan tingkat pertama atau FKTP tidak maksimal. Berdasarkan laporan keuangan pemerintah daerah seluruh Indonesia tahun 2016 yang diaudit BPK, ditemukan sisa dana kapitasi di puskesmas seluruh Indonesia mencapai Rp 3,02 triliun. Sisa dana kapitasi di satu puskesmas bisa menumpuk hingga Rp 2 miliar.
Sejak program Jaminan Kesehatan Nasional dijalankan dari 2014 hingga 2016, BPJS Kesehatan telah mengucurkan dana kapitasi sebesar Rp 30,5 triliun kepada 20.708 FKTP yang meliputi puskesmas serta klinik umum dan klinik gigi milik swasta ataupun TNI/Polri. Separuh lebih dana kapitasi itu didistribusikan ke puskesmas-puskesmas senilai total Rp 22,7 triliun atau sekitar 74,4 persen total dana kapitasi selama 2014-2016.
Namun, dengan sisa dana kapitasi yang begitu besar, tak tampak perbaikan pelayanan di puskesmas. Antrean panjang untuk berobat masih ditemukan di sebagian besar puskesmas. Pasien lelah dan tersita waktunya hanya untuk antre.
Tak optimalnya serapan dana kapitasi tergambar jelas dari sejumlah puskesmas yang didatangi Kompas. Di Puskesmas Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, misalnya, serapan dana kapitasi selama 2017 hanya 54,8 persen dari Rp 2,62 miliar sehingga menyisakan Rp 1,1 miliar pada tahun itu. Sementara layanan Puskesmas Pakisjaya pun tetap tak maksimal.
Sejak program Jaminan Kesehatan Nasional dijalankan pada 2014 hingga 2016, BPJS Kesehatan telah mengucurkan dana kapitasi sebesar Rp 30,5 triliun kepada 20.708 FKTP.
Sabtu (31/3) lalu, Aca (66), warga Desa Solokan, Kecamatan Pakisjaya, mengeluhkan perutnya sakit dan didiagnosis menderita sakit mag oleh bidan karena ketiadaan dokter umum pada hari itu. Pekarangan dan kondisi gedung Puskesmas Pakisjaya memprihatinkan. Ruang pendaftaran masih digabung dengan ruangan untuk persalinan.
Di Kabupaten Bogor, bahkan ada pasien mengeluarkan uang sendiri untuk membeli obat yang seharusnya telah ditanggung dana kapitasi. Yeni, warga Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, harus merogoh koceknya untuk membeli infus dan perban seharga Rp 60.000 untuk membersihkan luka di kaki kanan suaminya, Ujang, yang sedang dirawat di Puskesmas Ciampea.
Korupsi
Persoalan lain, dengan sisa dana yang begitu besar, tanpa pengawasan memadai dan laporan penggunaan yang rinci, sisa dana kapitasi rawan dikorupsi. Contoh paling nyata adalah kasus Bupati Jombang (nonaktif) Nyono Suharli Wihandoko yang disuap bawahannya menggunakan uang dana kapitasi yang dikutip setiap puskesmas. Kasus lain adalah mantan Bupati Subang Ojang Suhandi yang mengutip uang dari pejabat dinas kesehatan setempat. Sebagian uang tersebut berasal dari dana kapitasi.
Anggota IV BPK Bagian Kesehatan Pendidikan dan Kebudayaan, Harry Azhar Aziz, mengatakan, audit BPK menemukan sisa anggaran dana kapitasi menumpuk dalam jumlah besar di setiap puskesmas. Menurut Harry, ada begitu banyak dana yang tak termanfaatkan di setiap puskesmas.
”Kalau ada sisa, berarti tak dimanfaatkan. Ada belanja puskesmas yang tak maksimal, atau puskesmasnya yang memang tak melayani pasien,” kata Harry.
Dengan sisa dana yang begitu besar, tanpa pengawasan memadai dan laporan penggunaan yang rinci, sisa dana kapitasi rawan dikorupsi.
Menurut Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Ahmad Ansyori, rendahnya serapan dana kapitasi terkait dengan tata kelola puskesmas yang masih di bawah kendali pemerintah daerah. Sebagai fasilitas kesehatan yang berada di bawah kendali pemerintah daerah, menurut Ansyori, puskesmas tak sepenuhnya berdiri otonom dalam pengelolaan dana kapitasi kendati dana tersebut langsung disalurkan oleh BPJS Kesehatan ke rekening setiap puskesmas.
”Dalam pengelolaan (dana kapitasi) itu dibutuhkan aturan pemerintah daerah. Sementara sebagian pemerintah daerah ragu apakah aturan (yang ada) itu cukup atau dibutuhkan aturan tambahan,” kata Ansyori.
Menurut Pelaksana Tugas Sekretaris Dinkes Kabupaten Bekasi Alamsyah, penyerapan dana yang optimal baru terjadi pada jasa layanan medis yang memperoleh porsi 60 persen dari dana kapitasi. Adapun 40 persen lagi untuk biaya operasional belum terserap maksimal. Biaya operasional dapat digunakan untuk pengadaan obat, alat kesehatan, dan kegiatan lainnya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris sempat meragukan jika sisa dana kapitasi di seluruh puskesmas se-Indonesia hingga akhir 2016 mencapai triliunan. ”Mesti dicek berapa puskesmas yang sisa. Enggak mungkin sampai triliunan,” ujarnya.
Fachmi mengungkapkan, dana kapitasi tetap dikucurkan BPJS Kesehatan setiap tahun meskipun ada sisa di puskesmas karena sudah diatur dalam Perpres Nomor 32/2014 dan Permenkes Nomor 21/2016. ”Tentu kita sangat prihatin kalau uang (kapitasi) yang 40 persen untuk meningkatkan servis pelayanan tidak dioptimalkan,” ucap Fachmi. (BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RYAN RINALDI)