Majelis Kehormatan DKI Belum Ambil Sikap Terkait Metode Terawan
Oleh
DD05
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Dispilin Kedokteran Indonesia belum bisa mengambil sikap terkait polemik praktik dokter spesialis radiologi Terawan Agus Putranto. Belum adanya laporan dari masyarakat menjadi salah satu acuan metode dokter Terawan melanggar disiplin keilmuan.
Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Johan Akbari, menjelaskan, MKDKI berhak untuk mencabut izin praktik dokter Terawan jika ada laporan dari masyarakat.
”Namun, hingga saat ini belum ada laporan dari masyarakat. Kami masih menunggu. Kami juga tidak meminta pasien ataupun mantan pasien untuk melapor kepada kami,” ujarnya di Jakarta, Jumat (6/4/2018).
Menurut Johan, MKDKI berhak mencabut izin praktik karena proses pembuatan surat tanda registrasi (SRT) kedokteran ada di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). MKDKI merpukan lembaga di bawah KKI yang berfungsi untuk menyidang terkait pelanggaran disiplim keilmuan dokter.
”Dinas kesehatan berhak mencabut izin praktiknya, MKDKI juga, karena pembuatan SRT harus melewati KKI terlebih dahulu. Surat yang beredar sekarang terkait pelanggaran kode etik saja dan itu rekomendasi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK),” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua MKEK Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Prijo Sidipratomo mengatakan, putusan itu murni soal etika profesi kedokteran. Tak ada pertimbangan akademik dan prosedur standar operasional tindakan kedokteran, seperti metode terapi oleh Terawan.
Terawan melakukan metode pengobatan stroke dengan menggunakan digital substraction angiography (DSA) yang sudah dimodifikasi. Selain itu, Terawan juga menggunakan heparin untuk memperlancar sumbatan di pembuluh darah.
Terawan melakukan metode pengobatan stroke dengan menggunakan digital substraction angiography (DSA) yang sudah dimodifikasi.
Johan, yang juga merupakan dokter spesialis saraf menjelaskan, penggunaan heparin ini tidak diperkenankan karena dapat menghambat pembekuan darah.
”Saya bicara mengenai hal ini sebagai dokter saraf, tidak dengan membawa bendera MKDKI. Seharusnya setiap dokter memiliki cara berpikir yang holistik ketika menjalankan metodenya,” katanya.
Sistem pembuluh darah terdiri atas tiga bagian tipis yang bentuknya menyerupai selang. Menurut Johan, pada usia muda (1-20 tahun) pembuluh darah masih dalam kondisi yang baik.
”Namun, pada usia 25 tahun ke atas, kondisi pembuluh darah sudah mengalami penurunan kualitas. Heparin yang digunakan untuk membuka penyumbatan darah akan membuat rusak trombosit,” ujarnya.
Johan menuturkan, dokter spesialis radiologi juga tidak bisa langsung menangani pasien yang terkena stroke. Dokter spesialis radiologi hanya boleh memberikan rekomendasi terkait penyumbatan apa saja yang terjadi terhadap pasien stroke.
”Dari rekomendasi dokter radiologi akan ada diagnosis apakah pembuluh darah pasien tersebut pecah atau tersumbat. Penanganannya dilakukan oleh dokter spesialis saraf. DSA juga tidak bisa digunakan untuk metode pengobatan, tetapi hanya untuk metode diagnosis,” katanya.
DSA tidak bisa digunakan untuk metode pengobatan, tetapi hanya untuk metode diagnosis.
Ketua Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi menjelaskan, dari sisi riset, metode DSA masih bisa diterima karena banyak pasien yang merasakan manfaatnya. Belum ada juga laporan malapraktik terkait metode Terawan.
Sebelumnya, Terawan menjelaskan, metodenya telah menjadi bahan disertasinya saat menempuh program doktor di Universitas Hasanuddin dan dipublikasikan 12 kali dalam jurnal internasional. (Kompas, 6/4/2018)