Regulasi Membuka Celah Penyelewengan
BEKASI, KOMPAS – Penggunaan dana kapitasi yang dikucurkan BPJS Kesehatan ke puskesmas direncanakan dan dikendalikan secara berjenjang mulai dari bendahara kapitasi, kepala puskesmas, dinas kesehatan, hingga kepala daerah. Semuanya dilakukan pihak eksekutif tanpa ada pengawasan dari pihak eksternal.
Model pengawasan penggunaan dana kapitasi secara berjenjang ini tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
Baca: Jutaan Warga Indonesia Dirugikan
Perpres itu menyebutkan, kepala puskesmas dan kepala dinas kesehatan daerah mengawasi penggunaan dana kapitasi yang dimanfaatkan oleh bendahara kapitasi di puskesmas. Aparat pengawas intern pemerintah daerah seperti inspektorat turut mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi tersebut.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengungkapkan, Perpres Nomor 32/2014 yang mengatur dana kapitasi relatif membuka celah penyelewengan karena bendahara puskesmas, kepala puskesmas, kepala dinas kesehatan, dan kepala daerah diberikan peran yang sangat besar mulai dari perencanaan anggaran, penggunaan, hingga pengawasan. “Harus ada revisi (regulasi) tentang penggunaan dana kapitasi ini sehingga dapat dimaksimalkan untuk pelayanan kesehatan,” kata Timboel, Kamis (5/4).
Anggota VI bidang kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis menilai, posisi kepala puskesmas, kepala dinas kesehatan, dan kepala daerah yang bersifat subordinat menjadi ruang kerawanan penyelewengan. Apalagi saat ini sedang memasuki tahun politik yang ditandai dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak.
“Kepala dinas (kesehatan) itu kan anak buahnya bupati. Kalau bupatinya mau maju lagi (untuk pilkada), lalu dia perintahkan kepala dinasnya, berani tidak kadisnya menolak? Maka kemungkinan (penyelewengan) itu tetap ada,” ujar Harry.
Berdasarkan penelusuran Kompas ke Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Karawang pada akhir Maret lalu, pengawasan dana kapitasi di puskesmas mengacu pada apa yang tertuang dalam Perpres tersebut.
Model pengawasan penggunaan dana kapitasi secara berjenjang ini tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014
Persetujuan Dinas Kesehatan
Kepala Puskesmas Babelan I, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Ahmad Dimyati menjelaskan, mekanisme pencairan dana kapitasi dimulai dari pembuatan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Adapun DPA berisi soal rencana belanja dana kapitasi di puskesmas selama setahun.
“Isi DPA pun harus mengacu kebutuhan puskesmas dengan berkonsultasi ke dinas kesehatan,” kata Ahmad Dimyati saat ditemui di Puskesmas Babelan I, Rabu (28/3).
Setelah disetujui oleh dinas kesehatan, DPA itu kemudian diserahkan ke Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemerintah Kabupaten Bekasi yang juga diketahui kepala daerah.
Seperti halnya dinkes, TAPD juga mengecek rencana alokasi dan belanja puskesmas yang tertulis di DPA. Setelah disetujui TAPD, DPA dikembalikan ke puskesmas dan nantinya rencana itu akan disesuaikan dengan kebutuhan puskesmas per bulan karena pencairan dana dilakukan setiap bulan.
Jumlah besaran dana kapitasi adalah maksimal Rp 6.000 per peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar di Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Selain itu, jumlah dana kapitasi yang diperoleh puskesmas juga tergantung dari kinerja puskesmas yang diukur melalui kapitasi berbasis komitmen (KBK).
Dalam KBK terdapat tiga indikator yang harus dipenuhi puskemas agar bisa mendapatkan 100 persen dana kapitasi yang sebesar Rp 6.000 per peserta BPJS yang terdaftar di puskesmas tersebut. Apabila jumlah peserta BPJS suatu puskesmas misalnya 10.000 orang, maka dia memperoleh dana kapitasi Rp 60 juta per bulan.
Tiga indikator itu antara lain, memenuhi persyaratan batas aman angka kontak (AK) di posisi 150 per seribu, mendapatkan Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus Non Spesialistik (RRNS) di bawah 5 persen, dan Rasio Peserta Program Pengolaan Penyakit Kronis (Prolanis) rutin berkunjung ke puskesmas (RPPB) di atas 50 persen.
Dari tiga indikator itu, Puskesmas Babelan I sendiri baru memenuhi dua indikator, yakni rasio rujukan dan prolanis sehingga puskesmas mendapat 95 persen dari total dana kapitasi. Sebagai gambaran, pada November 2017 terdapat 102.912 peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar di Puskesmas Babelan I sehingga dana kapitasi yang diperoleh puskesmas pada bulan itu sebesar Rp 576,5 juta.
Dana itu dikirimkan BPJS Kesehatan ke rekening puskesmas melalui bank pembangunan daerah, seperti BJB. Dimyati mengatakan, biasanya dana itu masuk ke rekening puskesmas setiap tanggal 15 per bulannya.
Bendahara Kapitasi Puskesmas Babelan Umdatul Hasanah mengatakan, untuk mencairkan dana kapitasi diperlukan kehadiran dan tanda tangan dua orang bersamaan yaitu Kepala Puskesmas dan Kepala Bendahara Kapitasi Puskesmas.
“Tidak bisa hanya salah satu. Tidak bisa juga diwakilkan. Keduanya harus ada untuk bisa mencairkan dana itu,” ucap Umdatul, yang turut mendampingi Ahmad Dimyati, saat ditemui Kompas.
Dimyati mengatakan, pihak dinas kesehatan juga tidak bisa mencairkan dana kapitasi itu. Namun, kepala dinas kesehatan tahu besaran jumlah isi rekening masing-masing puskesmas dan jumlah besaran dana kapitasi yang diperoleh.
Dalam Laporan Realisasi Belanja JKN Puskesmas Babelan I Tahun Anggaran 2017 yang diperoleh Kompas, tertera beragam pos pembelanjaan, seperti belanja alat tulis kantor, obat-obatan, perjalanan dinas dalam daerah, dan lain-lain. Belanja terbesar ada pada pos belanja jasa jaminan kesehatan mencapai Rp 233,5 juta – Rp 267 juta setiap bulannya.
Kepala Puskesmas Cikarang Arda Yunita juga mengatakan hal serupa. “Dinas kesehatan membantu mekanisme kontrolnya sehingga Puskesmas tidak bisa seenak-enaknya menggunakan. Kami diverifikasi dulu. Misalnya, pengadaan memang butuh sekian sesuai perencanaan. Jadi tidak bisa dalam perencanaan tidak ada tensi kok tiba-tiba beli tensi,” ucap Arda.
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi Alamsyah mengakui, pengajuan DPA setiap puskesmas harus dikonsultasikan dengan dinas kesehatan terlebih dahulu. Dinkes akan melakukan verifikasi agar tidak terjadi dobel anggaran.
“Jadi disitulah fungsi monitoring dan evaluasi dari kami (dinkes). Diyakinkan, pada saat mereka mengajukan perencanaan pencairan dana itu tidak ada dobel sumber anggaran. Jadi tidak ada, dalam satu kegiatan atau satu tempat itu dia dibiayai APBD sekalian dibiayai oleh JKN,” ujar Alamsyah ditemui di kantornya, Senin (26/3).
Alur perencanaan dan pengawasan serta mekanisme pencairan dana kapitasi serupa juga terdapat di Kabupaten Karawang. Di Puskesmas Telukjambe Karawang misalnya, dana kapitasi dapat dicairkan setelah laporan keuangan bulanan sudah diverifikasi oleh dinas kesehatan. “Penggunaan dana kapitasi itu harus sesuai dengan DPA,” kata Kepala Puskesmas Telukjambe Karawang Nugraha, saat ditemui.
Nugraha mengakui, dinas kesehatan tidak bisa meminta kepala puskesmas dan bendahara puskesmas untuk mencairkan dana kapitasi diluar dari kebutuhan puskesmas dan DPA. “Biar pun ditekan (untuk mencairkan) saya tidak akan mau daripada masuk penjara,” tutur Nugraha.
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang Rusli Gunawan menyatakan, dinas kesehatan mengetahui soal jumlah dana kapitasi yang diperoleh puskesmas karena melihat isi DPA.
“Dinkes itu kan sepert ‘orangtua’-nya Puskesmas, jadi mereka kan selalu berkoordinasi dengan kami,” ujar Rusli.
Di Kabupaten Bogor model pencairan dana kapitasi juga tak jauh berbeda. Kepala Puskesmas Gunung Putri, Prima Artha Tarigan, mengakui, dana kapitasi dari BPJS Kesehatan langsung ditransfer ke rekening puskesmas. Pengambilan dana kapitasi di bank harus dihadiri dan dilakukan kepala puskesmas bersama bendahara puskesmas.
Pelaporan dana kapitasi harus rinci. Pengawasan penggunaan dana kapitasi terkait pembelian obat turut dilakukan pihak puskesmas mengingat mereka yang berada di bawah dan berhubungan dengan pasien. “Laporannya harus sesuai apa yang tertulis. Tidak boleh ada serupiah pun beda,” ucap Prima, saat ditemui Rabu (21/3) di Puskesmas Gunung Putri.
Rincian penggunaan dana kapitasi tersebut kemudian dituangkan dalam laporan yang disusun Prima setiap bulan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Laporan itu juga wajib diberikan ke dinas kesehatan yang ditembuskan juga ke TAPD.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Tri Wahyu Harini, Jumat (23/3), menyatakan, pihaknya bersama puskesmas melakukan perencanaan terkait perkiraan penggunaan sisa dana kapitasi yang ada. Dalam pemanfaatannya itu harus mengacu pada petunjuk teknis dan Peraturan Bupati.
Pengendalian yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor sesuai dengan susunan perencanaan itu.“ Setiap tiga bulan, kami adakan evaluasi. Pengawasan itu kami supervisi ke lapangan,” ucap Wahyu.
Tidak diaudit khusus
Mengenai pengawasan dananya, setiap tahun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa laporan keuangan dinas kesehatan sebagai bagian dari laporan keuangan pemerintah daerah tahunan. BPK juga melihat kucuran dana kapitasi ke puskesmas, tetapi tidak mengauditnya secara khusus.
Alamsyah mengatakan, BPK perwakilan daerah setiap tahun mengaudit puskesmas di Bekasi. Bahkan, mereka sampai turun langsung ke puskesmas. “Mereka uji petik, pergi ke puskesmas yang punya data menonjol, seperti kapitasi terbanyak atau serapan sedikit. Mereka datang ke puskesmas untuk melihat langsung,” kata Alamsyah.
Harry Azhar Azis mengatakan, BPK selama ini hanya melihat penyaluran dana kapitasi ke puskesmas tetapi belum melihat belanja dana kapitasi itu. “Semester kedua tahun 2018 ini, rencananya kami akan mengaudit pelayanan kesehatan secara keseluruhan dan salah satu objeknya adalah puskesmas. Di dalamnya ada dana kapitasi yang kami audit,” ujar Harry.
Ia mengatakan, tidak mungkin untuk mengaudit belanja seluruh puskesmas di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 9.000 unit. Sebab, dibutuhkan dana yang luar biasa besar untuk melakukan itu. Hal yang bisa dilakukan adalah mengambil sebagian sampel puskesmas lalu mengauditnya.
Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional Hasbullah Thabrany mengatakan, alur perencanaan, pencairan, dan pertanggungjawaban dana kapitasi yang hanya berputar di kalangan pelaksana atau eksekutif pemerintah daerah membuat dana itu rawan diselewengkan.
“Puskesmas itu kan milik pemerintah daerah. Secara normatif, bagaimana uang dipakai ya tergantung pemilik dong. Tergantung pemilik,” ujar Hasbullah, dihubungi Senin (26/3). Ia menambahkan, kasus operasi tangkap tangan KPK di Subang dan Jombang yang melibatkan dana kapitasi adalah cerminan nyata. (BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RYAN RINALDI)