Jakarta, Kompas -- Persoalan tenaga kerja Indonesia, terutama perempuan pekerja migran hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Karena, perempuan pekerja migran baik yang berangkat secara legal maupun ilegal semuanya sama-sama rentan tertimpa masalah pidana mulai dari awal pemberangkatan hingga berada di luar negeri.
Bahkan, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mensinyalir perekrutan sejumlah perempuan di sejumlah daerah untuk menjadi penatalaksana rumah tangga (PLRT) di luar negeri menjadi salah satu modus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Mayoritas perekrutan PLRT keluarganya "diberi" uang agar mengizinkan anak atau istrinya bekerja, yang sebetulnya itu menjadi hutang tenaga kerja Indonesia dengan bunga yang sangat tinggi. Ini sama saja menjerat TKI dengan hutang. Penjerantan korban dgn hutang merupakan modus TPPO,” ujar Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono di Kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Pada keterangan pers bertema “Pengiriman Tenaga Kerja ke Luar Negeri: Peluang Sejahtera Bertaruh Nyawa” hadir Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dan Direktur Migrant Wahyu Susilo.
Hermono menyatakan lebih dari 55 persen dari perempuan yang bekerja di luar negeri menjadi PLRT. Bekerja di luar negeri menjadi satu-satunya pilihan bagi perempuan-perempuan yang berpendidikan rendah dari daerah-daerah yang kondisi alam tidak subur, seperti di wilayah Indonesia bagian Timur.
“Tingkat pendidikan yang rendah dan dari keluarga miskin membuat mereka menjadi lahan subur sasaran TPPO. Ini problem yang selama ini kami hadapi. Karena yang namanya TPPO tidak mungkin terjadi, kalau tidak ada oknum yang membawa mereka. Sangat mungkin mereka lolos ke luar negeri, karena ada keterlibatan oknum dari proses awal,” papar Hermono.
Tingkat pendidikan yang rendah dan dari keluarga miskin membuat mereka menjadi lahan subur sasaran TPPO
Pada tahap awal, calon pekerja migran sudah rawan terjerat kasus, apalagi prosesnya ilegal dan dokumen dipalsukan. Hermono mencontohkan dari sekitar 700.000 jumlah total seluruh TKI yang bekerja ke Arab Saudi, sebanyak 400 berangkat ilegal.
Sejak dari rumah
Semendawai menyatakan peluang TKI menjadi korban sudah ada sebelum berangkat dari Indonesia, bahkan sebelum keluar dari rumahnya. Termasuk di antaranya dengan pemalsuan identitas. "Ini yang kami temui pada beberapa TKI yang kasusnya ditangani LPSK, seperti kasus Erwiana dan yang terbaru Adelina Sau," katanya.
Setelah tiba di negara tujuan, TKI rawan mengalami kekerasan dan ekploitasi, serta bekerja tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Bahkan tidak sedikit yang dijerumuskan bekerja di dunia prostitusi. "Selama ini, LPSK membantu TKI yang menjadi korban agar hak-haknya terpenuhi selama proses hukum, seperti layanan rehabilitasi, medis, dan psikologis," kata Semendawai.
Ketika terkena kasus seperti TPPO, sebagian besar korban tidak berani melaporkan kasusnya karena pelakunya adalah keluarga dekat. "Perlu ada sosialisasi, kalau mereka menjadi korban bagaimana mereka bisa bersaksi sebagai korban atau saksi. Karena seringkali keluarga korban didatangi dan diintimidasi agar tidak teruskan kasus ke ranah hukum," kata Wahyu.
Perlu ada sosialisasi, kalau mereka menjadi korban bagaimana mereka bisa bersaksi sebagai korban atau saksi.
Wahyu mengingatkan modus baru TPPO yakni lewat pengiriman sejumlah siswa sekolah menegah kejuruan untuk magang di luar negeri. Perempuan pekerja migran juga rawan terpapar radikalisme. Contohnya, salah satu tersangka dalam bom panci beberapa waktu lalu adalah mantan perempuan pekerja migran di Singapura.
Pada kesempatan tersebut, Hermono menyatakan kendati ada moratorium pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi, hingga kini penurunan jumlah pekerga migran yang ditempatkan di luar negeri tidak diimbangi dengan penurunan kasus. Kenyataannya, masih banyak kasus yang menimpa para TKI, terutama perempuan yang bekerja di sektor domestik atau asisten rumah tangga.