Mahkamah Konstitusi pada akhir tahun 2017 memutuskan salah satu persoalan yang telah lama mengganjal kehidupan berbangsa dan bernegara negeri ini. Dalam keputusannya terhadap perkara Nomor 97/PPU-VIV/2016, Mahkamah Konstitusi menyatakan penghayat kepercayaan dapat mencantumkan status mereka pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), tanpa harus merinci nama aliran kepercayaan mereka.
Sebagian masyarakat menilai keputusan MK tersebut merupakan langkah maju dalam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia di negeri ini. Keputusan itu menjadi pengakuan terhadap posisi para penghayat kepercayaan dalam relasi politik kewarganegaraan.
Namun, di sisi lain pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi itu juga perlu menjadi perhatian. Dalam konteks yuridis formal, menurut MUI, aliran kepercayaan jelas berbeda dengan agama yang diakui negara. Dengan demikian, dalam pengisian kolom agama di KTP-el bagi penghayat kepercayaan tidak tepat.
Para pemimpin aliran kepercayaan pun sependapat bahwa aliran kepercayaan dan kebatinan bukan termasuk agama. Hal ini telah ditegaskan dalam sarasehan antara Kepala Kejaksaan Tinggi DI Yogyakarta dan 24 pemimpin aliran kebatinan se-DIY pada 1972 (Kompas, 6 April 1972).
Oleh karena itu, negara harus hadir untuk mengelola dan mencari solusinya. Solusi yang diambil oleh Kementerian Dalam Negeri terhadap keputusan MK adalah dengan menyiapkan KTP khusus bagi penghayat kepercayaan di Indonesia.
Dalam KTP khusus itu, kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, disiapkan kolom khusus pengganti kolom agama. Kolom tersebut tertulis ”Percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Jumlah KTP khusus disiapkan 138.000 eksemplar, dengan asumsi saat ini ada 187 aliran kepercayaan yang tersebar di 13 provinsi. Proses pembuatan KTP khusus akan dimulai seusai pilkada serentak 2018.
Apa pun solusi yang diambil, yang terpenting adalah mengawal makna hakiki dari keputusan MK, yaitu pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar penghayat aliran kepercayaan sebagai warga bangsa ini. (ely)