Abraham Samad: Patologi Birokrasi Kronis Ancam Kinerja Pemerintah
Oleh
Suhartono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maraknya penangkapan dan penahanan sejumlah oknum pejabat pusat dan daerah yang terlibat dalam korupsi menunjukkan patologi birokrasi atau penyakit birokrasi saat ini masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa Indonesia, khususnya pemerintah.
Menurut Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 Abraham Samad, sejak berdiri pada 2003 hingga Januari 2018, KPK sudah menangkap dan memenjarakan 600 koruptor. Sebagian besar di antara mereka adalah anggota DPR/DPRD, yakni 146 orang, disusul 82 bupati/wali kota dan 19 gubernur.
”Ini membuktikan patologi birokrasi atau penyakit birokrasi saat ini masih menjadi PR besar bangsa Indonesia, khususnya pemerintah,” ujar Abraham dalam siaran persnya dalam seminar motivasi ”Spirit of Indonesia” di Auditorium Universitas Udayana serta di Auditorium Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali, Sabtu (7/4/2018).
Di satu sisi, kata Abraham, penangkapan dan penahanan jumlah koruptor yang besar menunjukkan berfungsi dengan baiknya lembaga antirasuah selama ini, tetapi di sisi lain jumlah koruptor yang besar itu menunjukkan patologi birokrasi sudah sedemikian akut menjangkiti para pejabat dan birokrat. Pada gilirannya, hal itu dapat mengancam kinerja dan jalannya roda pemerintahan.
”Tidak ada cara lain mengatasi penyakit birokrasi akut yang berujung pada perilaku koruptif para pejabat birokrasi itu selain tersedianya obat manjur untuk memberantasnya,” kata Abraham.
Untuk itu, kata Abraham, diperlukan upaya penanggulangan untuk memperbaiki birokrasi agar lebih baik, cepat tanggap, dan mampu merespons apa yang menjadi kepentingan masyarakat.
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengobati penyakit birokrasi atau menyembuhkan penyakit kronis yang melekat pada birokrasi disebutkan Abraham antara lain mengembangkan kebijakan pembangunan birokrasi yang holistis atau menyeluruh. Cara ini dimaksudkan agar mampu menyentuh semua dimensi, baik itu sistem, struktur, budaya, maupun perilaku birokrasi.
”Tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan sistem politik yang demokratis dan mampu mengontrol jalannya pemerintahan dengan maksud agar pemerintah lebih transparan, tanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan dan masyarakat dengan mudah mengakses informasi publik,” ujar Abraham.
Menurut Abraham, mengembangkan birokrasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi, seperti e-government dan e-procurement, juga harus diprioritaskan untuk mempermudah interaksi antara masyarakat dan para pemberi layanan. ”Namun, sistem berbasis teknologi ini tetap perlu di-monitoring dan dikawal, khususnya terkait implementasinya guna meminimalisasi terjadinya kecurangan yang dilakukan birokrasi,” kata Abraham.
Lima macam patologi
Lebih jauh, Abraham mengemukakan lima macam patologi birokrasi, yaitu paternalistik, penggelembungan anggaran, prosedur berbelit dan tidak transparan, pembengkakan struktur birokrasi, serta fragmentasi birokrasi. Paternalistik adalah atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa yang telah dilakukan atasan yang penting bagaimana menyenangkan atasan (ABS: asal bapak senang).
”Birokrasi cenderung mengabaikan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang wajib menerima layanan sebaik mungkin,” kata Abraham.
Penggelembungan anggaran dimaksudkan, semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan, semakin besar pula peluang untuk menggelembungkan (mark up) anggaran.
Selain itu, tidak ada kejelasan antara biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik, terdapatnya tradisi memotong anggaran yang diajukan pada proses perencanaan anggaran sehingga memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan anggaran untuk melebih-lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi mengalokasikan anggaran atas dasar input. ”Penggelembungan anggaran akan semakin meluas ketika kekuatan masyarakat sipil lemah dalam mengontrol pemerintah,” kata Abraham.
Selain prosedur berbelit dan tidak transparan, pembengkakan struktur birokrasi juga salah satu patologi birokrasi yang harus segera dipangkas.
Adapun penambahan jumlah struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban kerja dan lain-lain, kata Abraham, sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan keberadaannya sehingga berakibat pada dana APBN yang dikeluarkan pemerintah dan secara tidak langsung dapat merugikan negara. ”Akibatnya, anggaran menjadi kurang tepat sasaran,” kata Abraham.
Adapun patologi birokrasi terkait fragmentasi birokrasi antara lain banyaknya kementerian baru yang dibuat oleh pemerintah yang lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan untuk merespons kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi, tetapi lebih kepada motif tertentu. (*)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.