PURWOKERTO, KOMPAS — Potensi badan usaha milik desa, atau BUMDes, terus dioptimalkan untuk mengatasi masalah kemiskinan. BUMDes akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan memberikan kredit dan pinjaman yang mudah diakses masyarakat desa.
Direktur Pengembangan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Eko Ariantoro mengatakan, tingkat kemiskinan di desa mencapai 13,93 persen, dua kali lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan di kota yang sebesar 7,72 persen. Ketimpangan terjadi karena warga desa belum memahami sektor dan akses ke jasa keuangan.
”Tingkat pemahaman warga terhadap tabungan, asuransi, dan produk keuangan lain masih rendah,” ujar Eko dalam temu media di Purwokerto, Kamis (5/4/2018) malam.
Mengutip survei nasional literasi dan inklusi keuangan OJK tahun 2016, indeks literasi keuangan di desa hanya 23,9 persen. Artinya, dari 100 penduduk, hanya 23 orang yang paham literasi keuangan. Adapun indeks inklusi baru mencapai 63,2 persen.
Untuk itu, OJK akan memfasilitasi pengelolaan BUMDes yang disinergikan dengan program inklusi keuangan. Jenis usaha BUMDes mencakup pelayanan umum, penyewaan, perantara, perdagangan, keuangan, dan usaha bersama. Di sektor keuangan, BUMDes akan memberikan kredit dan pinjaman untuk usaha-usaha skala mikro milik warga desa.
Hingga Januari 2018, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mencatat ada 29.000 badan usaha milik desa di Indonesia yang aktif berkegiatan usaha. Dari jumlah total 74.958 desa, mayoritas memiliki potensi pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata, dan energi baru terbarukan.
Potensi desa
Eko menuturkan, pengembangan unit usaha BUMDes didorong berbasis potensi desa. Di sektor jasa keuangan misalnya bank perkreditan rakyat (BPR), lembaga keuangan mikro (LKM), bank wakaf mikro (BWM), atau agen laku pandai. Optimalisasi potensi desa penting untuk mempercepat perwujudan desa mandiri.
BUMDes juga akan diperkuat dari aspek pembangunan infrastruktur, perluasan akses keuangan dan non-keuangan, digitalisasi potensi desa, serta kolaborasi dengan berbagai pihak.
Nantinya, BUMDes dapat saling bergabung untuk membentuk badan usaha milik antardesa (BUMADes). ”Satu BUMADes minimal terdiri atas dua desa yang potensinya bisa saling menunjang,” ujar Eko.
Terkait digitalisasi, desa perlu membuat perdagangan elektronik (e-commerce) dan pemerintahan elektronik (e-goverment). Kedua hal itu penting agar seluruh proses bisa berlangsung secara transparan dan luas. Seluruh produksi dan penyerapan potensi desa akan diperbarui setiap hari. Digitalisasi juga membantu perluasan pemasaran produk BUMDes.
Kepala Desa Langgongsari Rasim menambahkan, sebagian dana desa selama tiga tahun terakhir dialokasikan untuk pembangunan Agrowisata Bulak Barokah. Agrowisata menawarkan pesona alam dan potensi pertanian desa. Di kawasan seluas 4 hektar itu, antara lain, ada perkebunan durian bowor, peternakan sapi, pengolahan gula kelapa, dan budidaya ikan.
”Dana desa hampir 90 persen dialokasikan untuk pembangunan agrowisata,” ucap Rasim.
Agrowisata nantinya masuk unit usaha BUMDes Langgongsari. Sejauh ini, BUMDes memiliki tiga unit usaha, yakni air bersih Tirtanala, panti pijat, dan agrowisata. Namun, hingga kini, BUMDes belum mempunyai pendapatan bersih. Seluruh hasil usaha digunakan untuk pembiayaan operasional. Pendapatan bersih diperkirakan mulai berputar awal tahun 2019.