Dukungan untuk Jokowi Masih Terbuka Lebar
JAKARTA, KOMPAS — Empat bulan menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilihan Umum 2019, dukungan terhadap Presiden Joko Widodo masih sangat mungkin bertambah. Partai koalisi Jokowi masih terus bekerja untuk menambah dukungan dari partai politik lain.
Parpol pengusung Jokowi, antara lain PDI-P, Golkar, PPP, Nasdem, dan Hanura, masih gencar menambah dukungan dari lima parpol yang belum mengusung siapa pun. Lima parpol itu adalah Gerindra, PKS, Demokrat, PKB, dan PAN.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Minggu (8/42018), mengatakan, koalisi Jokowi sudah berbagi tugas melakukan lobi politik kepada parpol lain. Para ketua umum setiap partai diharapkan menjaring parpol lain untuk bekerja sama memenangkan Jokowi.
”Kami terus membagi tugas bagaikan suatu skuadron, untuk berdialog dengan partai lain, agar bergabung mendukung Pak Jokowi,” ujar Hasto kepada wartawan di sela-sela Rapat Kerja Nasional PDI-P Bidang Kemaritiman III di kantor DPP PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta.
Koalisi Jokowi melakukan itu untuk memastikan koalisi yang kuat pada Pemilu 2019. Koalisi yang kuat akan berkontribusi pada dukungan parlemen yang akan mempercepat penjabaran sistem presidensial.
Hadir juga pada Rakernas itu Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, yang menjadi pembicara sebagai Menteri Perindustrian. Menurut dia, jumlah koalisi akan penting dalam era multipartai.
”Semakin banyak akan semakin baik. Ya, kalau semakin banyak koalisi yang mengusung, di parlemen nanti akan semakin kuat,” ujar Airlangga.
Sementara itu, Airlangga yang digadang sebagai pendamping Jokowi tidak khawatir dengan bertambahnya parpol koalisi. Hal yang terpenting bagi parpol koalisi adalah memenangkan Jokowi untuk dua periode.
Sebelumnya, Ketua Umum PPP Romahurmuziy mengumumkan ada dua parpol lagi yang akan menjadi pengusung Jokowi. Menurut dia, parpol itu berada di parlemen.
Menanggapi itu, secara terpisah Sekjen PPP Arsul Sani mengucapkan, pihaknya belum bisa menyebut nama kedua partai itu. Intinya, parpol tersebut adalah dua di antara lima parpol yang belum menyatakan mendukung Jokowi.
Menurut Arsul, hal itu dilakukan untuk mendorong beberapa parpol yang masih malu menyatakan dukungannya. ”Padahal, preferensi pilihan politiknya sudah mendukung Pak Jokowi di Pilpres 2019, tetapi masih malu terbuka,” katanya.
Arsul mengaskan, parpol lain perlu transparan pada publik terkait dukungannya. Menurut dia, banyak parpol yang sudah bertemu dan mengutarakan keinginan koalisi, tetapi hal yang diungkapkan berbeda saat berada di ruang publik.
”Jangan ketika bertemu di Istana bicara koalisi, tetapi di ruang publik, termasuk media sosial, gagah-gagahan seakan tidak pernah mau koalisi,” kata Arsul.
Wakil Sekjen PKB Nihayatul Wafiroh mengatakan, partainya saat ini mulai berdiksusi dan membuka peluang untuk koalisi, termasuk dengan koalisi Jokowi. Meski belum memutuskan dukungan, PKB lebih condong ke arah Jokowi.
”Dorongan dari masyarakat masih sangat kuat untuk Jokowi. Hal itu tentunya akan dijadikan pertimbangan,” tuturnya.
Menurut rencana, PDI-P akan mengunjungi kantor PKB minggu depan. PDI-P akan bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar untuk membahas masalah Pilkada Jawa Timur, serta bangsa dan negara.
Satu poros
Usaha koalisi Jokowi untuk menarik dukungan dari parpol lain dapat memungkinkan terwujudnya satu poros. Pindahnya parpol ke kubu Jokowi dapat menyulitkan parpol lain untuk memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden, yaitu 20 persen kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional.
Hasto tidak menampik kemungkinan satu poros itu. Menurut dia, pihaknya selalu membuka ruang untuk dukungan. Selain itu, membangun konsensus nasional dengan satu poros merupakan esensi dalam demokrasi.
”Hal itu merupakan terobosan dan juga merupakan demokrasi. Satu poros nasional itu bisa bersatu padu sebagai kekuatan nasional untuk berhadapan dengan negara lain. Dengan demikian, poros itu hadir sebagai kekuatan solid. Itu dimungkinkan melalui sebuah konsensus,” kata Hasto.
Meski demikian, kemungkinan itu tidak diharapkan terjadi pada Pemilu 2019. Menurut Hasto, tradisi sejak awal reformasi yang mempertandingkan minimal dua capres dan cawapres harus terus dijaga. Kompetisi itu akan sehat untuk demokrasi karena masyarakat mempunyai pillihan.
Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Ferry Juliantono tidak setuju dengan wacana satu poros. Keluarga besar Gerindra hampir pasti memutuskan untuk tidak bergabung dan tidak menjadi cawapres Jokowi.
Menurut Ferry, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto belum memutuskan maju karena masih berkomunikasi dengan berbagai elemen masyarakat.
”Sedang memperluas komunikasi dengan calon partai pengusung agar dapat dukungan. Juga meminta pendapat dari tokoh masyarakat, ulama, dan lainnya,” katanya.
Sampai saat ini, baru PKS yang hampir pasti mendukung Prabowo untuk Pilpres 2019. Untuk itu, Gerindra harus menjaga PKS tidak menyeberang ke koalisi Jokowi. Adapun Gerindra tidak dapat mencalonkan capres dan cawapres sendiri. Mereka tidak mencukupi syarat ambang batas pencalonan presiden.
Sementara itu, Gerindra masih membuka pintu cawapres Prabowo untuk Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum PKS Sohibul Iman, dan Muhaimin. Selain itu, ada juga nama alternatif dari nonparpol, seperti mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Justru, kata Ferry, ada dua parpol dari koalisi Jokowi yang ingin menyeberang mendukung Prabowo. Keinginan pindah itu dinilai karena dominasi PDI-P dan Golkar yang sangat kuat. Juga karena elektabilitas Jokowi yang mulai turun.
”Pertama memang elektabilitas Jokowi turun terus. Apalagi ada kasus bahan bakar minyak naik, dollar AS hampir Rp 14.000, dan kasus Sukmawati baru-baru ini. Kedua, kelihatannya parpol koalisi lain tidak mendapatkan jatah cawapres karena PDI-P sepertinya akan mengusung Puan Maharani atau Budi Gunawan dan Golkar mengusung Airlangga,” ujarnya.
Hadir pada rakernas, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan elektabilitas Jokowi masih sangat tinggi. Elektabilitas itu didapat dari survei internal Golkar yang dilakukan dengan 1.759 responden.
Dalam survei itu, Jokowi mendapatkan elektabilitas 64 persen. Elektablitias itu mengalahkan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono yang mengantongi 52 persen saat 2008.
Perbandingan survei itu sama-sama dilakukan satu tahun sebelum pilpres dengan simulasi dua pasang calon.
”Apalagi di Jawa Timur, elektabilitas Pak Jokowi mencapai 73,7 persen. Itu menandakan masyarakat puas dengan kerja Pak Jokowi. Itu hasil survei per daerah dan per nasional bulanan kami,” kata Luhut.