Kukejar Bahagia dan Kutangkap
Sabtu (31/3/2018) pagi, hari begitu cerah. Langit biru dicoraki sedikit awan putih. Cahaya matahari menyinari belasan remaja di lapangan Taman Menteng. Mereka menari penuh tenaga mengikuti instruksi Gaby (12). ”One more time! Habis itu kita udahan,” kata Gaby sembari menyeka keringat di dahinya.
Gaby kembali mencontohkan beberapa gerakan, lalu rekan-rekannya mengikutinya. Musik berdentang, mereka pun kembali menari penuh tenaga dan ceria. Tarian modern ini menjadi salah satu dari puluhan acara Happiness Festival yang berlangsung hingga Minggu (1/4).
Festival ini mengajak semua lapisan masyarakat untuk menjaga harmoni hubungan sosial, ekologi, dan spiritual. Bisa dibilang, festival ini mencoba meraba kebahagiaan yang abstrak itu dalam bentuk lebih konkret.
Bagi Gaby, kebahagiaan itu muncul ketika dia bisa berbagi dengan yang lain. Saat diminta mengisi lokakarya tari modern tadi, dia merasa dapat membagi energi positif untuk hidup yang lebih sehat dan ceria. ”Bisa enjoy dan energi berbaginya bikin semangat,” ujarnya.
Semangat berbagi, dalam bentuk apa pun, fisik maupun nonfisik, seperti yang dilakukan Gaby itu, tampaknya harus dipupuk dan terus ditingkatkan. Sebab, indeks kebahagiaan Indonesia dalam World Happiness Report oleh PBB terus melorot dalam lima tahun terakhir.
Tahun lalu, Indonesia berada di peringkat ke-81, tahun ini di posisi ke-96. Penurunan peringkat dalam laporan itu dipengaruhi, antara lain, soal pendapatan per kapita, angka harapan hidup, bantuan sosial, kebebasan sosial, persepsi korupsi, dan kemurahan hati.
Sebenarnya kearifan lokal di Indonesia mengajarkan nilai-nilai yang menjadi jalan untuk bahagia. Ini, misalnya, terekam pada dolanan-dolanan tradisional yang juga digelar di dalam festival. Sunda manda, gundu, balap karung, dan dakon misalnya.
Sunda manda, yang juga disebut dampu bulan dan tapak gunung, mengajarkan cara menghargai hak orang lain. Ketika lawan main berhasil meletakkan batu di salah satu kolom dampu bulan, kolom itu ”haram” dipijak orang lain. Sikap menghargai hak orang lain itulah yang meluntur.
”Pada dasarnya semua permainan tradisional mengajarkan filosofi-filosofi yang mendukung pencapaian bahagia, termasuk nilai tolong-menolong dan berbagi,” kata Sekretaris Jenderal Komunitas Olahraga Tradisional Indonesia Chairul Umam.
Jika Gaby merasa menemukan kebahagiaan dengan berbagi, tidak sedikit orang yang mendapatkan kebahagiaan ketika tujuan-tujuan pribadinya tercapai. Ini, misalnya, yang dirasakan Diah (38) yang bekerja di bidang komunikasi pemasaran. Semula dia bahagia ketika gajinya naik.
Namun, lambat laun beban kerja makin berat dan atasan makin bawel. ”Karena senang dengan pekerjaan ini, saya lakukan saja dengan senang hati. Setelah semua beres, bos gak bawel lagi dan makin percaya,” ujarnya.
Menurut Diah, segala situasi punya sisi gelap dan sisi terang. Ketika kita tetap berpijak pada sisi gelap, yang muncul adalah amarah dan beragam energi negatif lain. Diah memilih sisi terang dengan mencari hal-hal kecil yang dapat membuatnya ceria dan akhirnya bahagia. Misalnya, dia senang bertemu orang-orang baru di luar kantor, ketika menjalankan pekerjaannya. Dari kenalan-kenalan baru itu, dia belajar banyak hal, meskipun terkesan sepele, misalnya, cara merawat tas atau sepatu.
Bahagia memang bukan selalu ditentukan situasi, tetapi pilihan setiap pribadi.
Bahagia itu sederhana
Minggu (1/4), masih di Happiness Festival, lagu band Sheila On 7 yang berjudul ”Lihat, Dengar, Rasakan” terdengar dari sisi utara Taman Menteng. Rupanya, Ahmad Ghifari (21) tengah menyanyikan lagu itu sambil memainkan gitar. Di depannya, puluhan penonton menyimak lirik demi lirik yang dinyanyikan remaja penyandang tunaganda itu. Ketika Ghifari selesai bernyanyi, penonton langsung bertepuk tangan antusias. Tak terkecuali Evy Affifah (43), ibunya. Evy bahkan langsung berjalan mendekati Ghifari dan memeluknya erat. Ia berkali-kali mengusap punggung anaknya itu.
Ghifari, yang menyandang tunanetra dan tunagrahita, datang ke festival itu bersama orangtua, rekan-rekannya, serta pengajar dari Art Therapy Center Widyatama Bandung. ”Buat saya, bahagia itu tidak perlu yang aneh-aneh. Sederhana saja, hati yang nyaman dan tenang, itu sudah bahagia. Harta bukan ukuran kebahagiaan,” kata Evy saat ditanya tentang konsep bahagia. ”Melihat anak saya seperti ini (bisa tampil bernyanyi di depan orang), melihat satu kemajuan pada dirinya yang mungkin menurut orang lain hal biasa, buat saya juga sesuatu yang luar biasa,” kata Evy yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
Reza Permadi (25), pengajar Art Therapy Center Widyatama Bandung, juga menyampaikan hal serupa. ”Bahagia menurut saya adalah ketika saya berguna, saya bisa membuat orang tersenyum atau bahagia, atas apa yang saya lakukan,” kata Reza.
Kebahagiaan yang dirasakan Reza sebenarnya salah satu bentuk dari kepedulian terhadap orang lain. Dia ingin orang lain yang berkesusahan sedikit banyak dapat menikmati kemudahan-kemudahan yang dinikmati orang normal. Semangat seperti ini juga dimiliki banyak orang lain di negeri ini. Jika dijembatani dengan benar, hal itu menjadi kekuatan luar biasa yang menggugah dan mengubah wajah suram menjadi kebahagiaan.
Contoh paling nyata dilakukan beragam lembaga filantropi dan situs-situs yang membangun jembatan filantropi, misalnya, Kitabisa.com. Sejak 2013 hingga saat ini telah terkumpul dan terdistribusi dana Rp 241 miliar melalui 9.752 kampanye. Satu kampanye bisa menggerakkan ratusan donatur. Ini salah satu bukti kemurahan hati netizen.
Dengan berbagi, para donatur ini mengalahkan egonya. Mereka menemukan nilai yang lebih transendental bahwa harta sebenarnya bukan yang kita miliki, tetapi yang kita bagi. ”Agama mengajarkan itu dan memang ada kelegaan setelah menyisihkan sebagian harta,” kata seorang donatur yang selalu menyisihkan 20 persen penghasilannya untuk donasi dan enggan disebut namanya.
Itu senada dengan ungkapan fasilitator Golden Space Indonesia yang memimpin meditasi, salah satu kegiatan di Happiness Festival, Robin Muljadi. Menurut Robin, selama ini orang memaknai kebahagiaan hanya dari sisi eksternal. Misalnya, bahagia karena bisa menikmati makanan kesukaan atau jalan-jalan ke destinasi wisata favorit. Padahal, itu bersifat sementara. ”Kebahagiaan yang permanen adalah kebahagiaan yang bisa kita bangun dari dalam diri kita,” kata Robin.
Bagaimana caranya menciptakan kebahagiaan dari dalam diri sendiri? Dengan membiasakan diri untuk bersyukur dan merasa cukup. Ada tiga pijakan untuk mendefinisikan kebahagiaan, yakni hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam.
Pada akhirnya, kebahagiaan itu berpulang pada bagaimana kita mengartikan apa itu kebahagiaan. Lalu, apa pilihan yang kita ambil untuk menjadi bahagia.
”Kukejar kebahagiaan dan kutangkap”. Itulah hasrat terbesar manusia.