JAKARTA, KOMPAS — Merawat semangat kebangsaan tak cukup hanya dengan menjaga keutuhan wilayah geografis Indonesia, tetapi perlu diikuti dengan kemampuan merawat kebudayaan yang menjadi karakter bangsa. Hanya lewat kemampuan merawat keberagaman, Indonesia akan tetap utuh dan berkembang di tengah perubahan yang cepat.
”Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia siap merawat bangsa ini, bukan hanya geografi, melainkan juga karakter kepribadian. Sebab, merawat NKRI, bukan hanya geografi, melainkan juga karakter budayanya,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj saat memberi tausiyah kebangsaan memperingati Hari Lahir Ke-95 NU, di Tugu Proklamasi, Jakarta, Sabtu (7/4/2018) malam.
Nahdlatul Ulama berdiri pada 16 Rajab 1344 Hijriyah yang jatuh pada 31 Januari 1926. Merujuk pada penghitungan kalender Hijriyah, 16 Rajab 1439H yang jatuh pada 3 April 2018, NU berusia 95 tahun. Peringatan tahun ini mengambil tema ”Memperkokoh Ukhuwah Wathoniyah (persaudaraan kebangsaan) untuk Indonesia yang lebih sejahtera”.
Peringatan yang dimeriahkan pergelaran wayang kulit itu dihadiri Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, pengurus PBNU, serta tamu undangan, seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, dan Wakil Ketua MPR Muhaimin Iskandar.
Said Aqil juga mengingatkan, dengan semakin tersebarnya warga negara Indonesia di luar negeri untuk berbagai keperluan, termasuk menuntut ilmu, ia menekankan pentingnya kembali ke Indonesia membawa ilmu, teknologi, ataupun hal positif lainnya. Namun, jangan membawa pulang hal-hal negatif yang bisa merusak karakter bangsa bahkan merusak persatuan bangsa. Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang selama ini mampu mengelola perbedaan jadi kesatuan.
”Kita punya budaya yang mulia, itu maksud Islam Nusantara. Indonesia akan bisa menjadi kiblat peradaban umat Islam yang maju karena kita berhasil mengelola keberagaman dengan baik. Negara-negara lain di Timur Tengah gagal mengelola perbedaan,” kata Said Aqil.
Islam Nusantara, kata Said, merupakan Islam yang menjadikan budaya sebagai infrastruktur agama sepanjang tak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena agama dibangun di atas kebudayaan, budaya menjadi kokoh dan agama juga menjadi kuat. Dia mencontohkan bagaimana Wali Songo, Sunan Kalijaga, menggunakan wayang saat menyebarkan Islam secara damai di Nusantara.
Kontribusi NU
Susi Pudjiastuti, dalam sambutannya, menuturkan, selama 95 tahun, NU sudah berkontribusi mendirikan, membangun, dan mengayomi bangsa Indonesia. NU juga mampu menjaga kedamaian dan kerukunan karena sudah menjadi ”payung” besar umat Islam, sekaligus bagi bangsa Indonesia. Dia meyakini, nilai moderat, solidaritas, dan toleransi yang dimiliki NU mampu mengayomi keberagaman bangsa Indonesia.
”Saya yakin budaya mampu merekatkan bangsa Indonesia. Keberagaman budaya dan kehidupan sosial akan terus-menerus dijaga bersama,” kata Susi.
Namun, Akbar Tandjung mengingatkan bahwa keanekaragaman Indonesia pada saat yang sama juga menghadapi tantangan. Harus diakui masih ada sebagian dari warga Indonesia yang belum sepenuhnya menunjukkan sikap toleransi tinggi. Masih ada prasangka yang perlu dihilangkan dengan saling terbuka serta berkomunikasi. Untuk itu, semua komponen bangsa perlu memahami masa depan Indonesia yang jadi masa depan bersama sehingga semua pihak punya kepentingan membawa kemajuan. ”Keberagaman salah satu kekayaan bangsa kita yang harus dijaga dan dilestarikan. Momentum hari lahir NU sekaligus bisa digunakan melestarikan nilai budaya bangsa,” kata Akbar.
Terkait pergelaran wayang sebagai peringatan Hari Lahir Ke-95 NU, Helmy Faishal Zaini menuturkan, PBNU sengaja ingin kembali memperkenalkan dakwah Islam yang damai, sekaligus menunjukkan Islam sebagai agama yang ramah dan merangkul. ”Islam Indonesia berbudaya. Islam yang betul-betul mengakomodasi lokalitas,” kata Helmy Faishal.
Bangun kesadaran baru
Saat menghadiri Dharma Santi Nasional Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940 di Markas Besar TNI Cilangkap, Presiden Joko Widodo menyatakan, perayaan Hari Raya Nyepi umat Hindu tahun ini digelar pada momen yang sarat makna. Selain bertepatan dengan hari Suci Saraswati yang diperingati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan, perayaan ini dinilai juga tepat untuk membangun kesadaran dan pentingnya ilmu pengetahuan mencapai kemuliaan hidup.
”Kesadaran bukan hanya menjadi inspirasi umat Hindu, melainkan juga untuk bangsa dan negara yang kita cintai,” kata Presiden di hadapan peserta.
Sebagai bangsa besar, yang ingin maju dan ingin sejajar dengan bangsa-bangsa lain, tambah Presiden Jokowi, WNI tidak boleh terlena dengan melimpahnya kekayaan sumber daya alam.
”Kita harus berani membangun kesadaran baru untuk menjadikan manusia Indonesia berkualitas, sebagai keunggulan, kekuatan, fondasi, kita memasuki masa datang,” ujar Presiden Jokowi.
Kepada umat Hindu di mana pun, Presiden Jokowi mengajak mempersiapkan diri. Kemajuan teknologi yang diiringi dengan hadirnya revolusi industri keempat harus dijawab dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Menjadi keharusan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Presiden Jokowi juga mengajak umat Hindu menjaga keharmonisan hidup sebagai jalan menuju kebahagiaan. Hal ini sejalan ajaran Tri Hita Karana, yang mengajarkan keharmonisan dengan sesama dan alam lingkungan menjadi wujud Srada Bhakti pada Tuhan.
”Umat Hindu juga diminta selalu memegang teguh ajaran Wasudewa Kutum Bhakam, kita semua bersaudara,” kata Presiden.
Ketua Umum Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Wisnu Bawa Tenaya menyampaikan, perayaan Dharma Santi nasional merupakan ajang introspeksi diri. Setiap manusia seharusnya tahu, paham, dan menguasai dirinya atas berbagai macam ancaman yang menyerang. Wisnu berpendapat, musuh utama adalah mengendalikan nafsu yang tidak diiringi dengan tenaga dan keinginan belajar.
(GAL/NDY)