JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerjunkan 35 ahli dan staf untuk mengidentifikasi kerugian pada area tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. Prosedur monitoring juga dipertanyakan karena tanggap darurat bencana dinilai lambat.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani mengatakan, pihaknya telah mengirim tim investigasi untuk mengambil langkah penanggulangan ekosistem dan hukum terkait kasus tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. Tim tersebut sebanyak 35 orang yang terdiri dari penyelam, ahli lingkungan dan terumbu karang, pengambil sampel dan laboratorium, tim drone, pengawas, penyidik, serta tim valuasi atau ganti rugi.
”Kami ingin melihat apa permasalahan yang terjadi sebenarnya. Ini akan mempermudah kami melakukan langkah-langkah preventif dan hukum ke depan. Ini juga penting untuk melihat kerugian yang terjadi akibat tumpahan minyak ini,” ujar Ridho dalam diskusi Perspektif Indonesia yang diselenggarakan Populi Center dan Smart FM Network di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/4/2018).
Ridho menuturkan, tim juga akan mendalami penyebab patahnya pipa milik Pertamina itu. Menurut Ridho, penyebab itu bisa ada tiga, yakni pelanggaran prosedur keselamatan, perawatan pipa yang tidak baik, atau aktivitas di atas perairan yang mengganggu pipa.
”Kami harus mengetahui penyebab patahnya pipa. Kalau diketahui ternyata ada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, baik perizinan maupun perundang-undangan, tentu akan diberikan sanksi-sanksi dalam perbaikan sehingga tidak terjadi lagi,” ujarnya.
Ridho juga mengatakan, KLHK sedang menghitung seberapa besar dampak lingkungan yang terjadi akibat tumpahan minyak. Apalagi, tumpahan minyak sudah meluas hingga area permukiman warga. Dampak yang perlu diperhatikan, zat volatile organic compund (VOC) dari minyak mentah menempel di kayu rumah-rumah warga.
”Kami meminta kepada Pertamina agar menanggulangi dengan cepat, terutama pada minyak-minyak di sekitar pemukiman, karena bisa mengganggu kesehatan warga. Harus ada audit lingkungan khusus untuk pengelolaan ke depan,” ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR, Tjatur Sapto Edy, mengatakan, di Refinery Unit V, wilayah terjadinya tumpahan minyak, ada sekitar 40 kapal tanker per hari dan 200 ribu barrel per hari. Dengan jumlah yang sangat besar tersebut, menurut Tjatur, itu memiliki risiko yang sangat tinggi. Pertamina seharusnya memiliki sistem monitoring pipa yang kuat.
”Itu bisa-bisanya patah. Itu kan berarti tidak ada suatu monitoring pipa. Kalau ada pipa putus, seharusnya alarm bunyi. Ini menyangkut obyek vital nasional,” ujar Tjatur.
Karena itu, Tjatur meminta agar penegak hukum tidak terburu-buru dalam menentukan pasal untuk menjerat perusahaan Pertamina. Menurut dia, pencemaran yang telah dilakukan perusahaan pelat merah patut diduga melanggar Pasal 98 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
”Pasal 98 ini menunjukkan bahwa ada unsur kesengajaan, entah itu tidak diberikan instalasi, tidak diberikan alarm, atau tidak memberikan informasi yang jelas bahwa di kedalaman 25 meter ada instalasi obyek vital nasional,” ujarnya.
Ketua Umum Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI) Arudji Wahyono mengatakan, seharusnya tumpahan minyak di Teluk Balikpapan dapat segera diatasi. Namun sayangnya, penanggulangan terjadi setelah tumpahan minyak sudah terjadi selama empat hari. Arudji juga menyayangkan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) setempat yang seharusnya lebih cepat melapor kepada pejabat yang berwenang ketika melihat awal tumpahan minyak terjadi.
”Kasus ini menjadi pembelajaran bagi pemerintah juga para pelaku bisnis. Harusnya ketika ada kecelakaan, langsung dilakukan pelaporan dan penanggulangan. Sebetulnya, ini karena keterlambatan,” ujar Arudji.
Arudji juga mempertanyakan kehadiran alarm yang seharusnya berbunyi ketika terjadi penurunan tekanan atau terjadi kebocoran pipa. Padahal, menurut Arudji, alarm itu penting untuk memonitor setiap pergerakan yang terjadi.
”Yang menjadi tanda tanya, begitu bcoor kan ada penurunan tekanan, itu dimonitor tidak? Kalau tidak, ini kelalaian. Seharusnya ketika tahu ada penurunan tekanan, langsung dilakukan penyelidikan,” katanya.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu Perdana mengatakan, mayoritas ekosistem yang rusak akibat tumpahan minyak sulit dipulihkan. Adapun ekosistem tersebut di antaranya sekitar 17.000 hektar tanaman mangrove, 5 kawasan padang lamun, dan 4 kawasan terumbu karang.
”Kondisi lingkungan hidup yang terdampak tidak bisa dipulihkan dalam jangka 1 hingga 2 tahun. Ekosistem itu tumbuh sudah puluhan, bahkan ratusan tahun,” ujarnya.
Selain itu, Wahyu juga menambahkan, akibat tumpahan minyak, setidaknya terdapat 162 nelayan tidak dapat melaut. ”Manusia adalah bagian dari lingkungan. Ekosistem yang terganggu juga berdampak pada ekonomi rakyat,” ujarnya.
Wahyu mendorong agar KLHK segera melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di lokasi tersebut untuk melihat seberapa besar kerugian akibat tumpahan minyak. KLHS juga dapat diterapkan di wilayah-wilayah lain yang berisiko tinggi mengancam lingkungan hidup.
”Pada semua proyek yang punya ancaman pada lingkungan hidup harus ada KLHS agar standar yang dilakukan punya penanganan perlindungan pada proses ekosistem,” ucapnya.