SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, terus mendorong warganya memiliki kesadaran mengelola sampah plastik. Selain bisa dijual ke bank sampah dan didaur ulang, sampah plastik di Surabaya juga bisa digunakan sebagai alat pembayaran bus Suroboyo.
Bus pelat merah milik Pemkot Surabaya ini diluncurkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Sabtu (7/4/2018) di halaman Gedung Siola, Jalan Tunjungan. Hadir dalam peluncuran ini Kepala Polrestabes Surabaya Komisaris Besar Rudi Setiawan dan Komandan Korem 084/ Bhaskara Jaya Kolonel Kav M Zulkifli.
Risma mengatakan, bus Suroboyo hanya menerima pembayaran berupa sampah plastik dalam keadaan bersih. Untuk satu kali perjalanan, penumpang bisa menukarkan sampah air minum dalam kemasan sebanyak 10 gelas berukuran 240 mililiter, 5 botol ukuran 600 mililiter, atau 3 botol ukuran 1.500 mililiter.
Selain sampah plastik air minum dalam kemasan, nantinya sampah plastik berupa gelas plastik, kantong plastik, dan kemasan juga bisa digunakan untuk menukarkan karcis.
Sampah tersebut kemudian ditukarkan kepada petugas yang berjaga di halte. Selain bisa ditukarkan di halte, sampah bisa ditukarkan menjadi karcis bus Suroboyo di Bank Sampah Induk Surabaya, Bank Sampah Bintang Mangrove, dan Bank Sampah Pitoe.
”Sampah plastik yang ditukarkan di halte juga akan dijual ke bank sampah,” kata Risma.
Mengapa sampah plastik? Menurut Risma, pengelolaan sampah plastik merupakan sebuah masalah serius. Sebab, sampah jenis ini sulit terurai meski sudah tertimbun selama ratusan tahun. Jumlahnya pun amat banyak karena produk-produk kemasan sering kali menggunakan bungkus dari plastik.
Di Surabaya, sampah plastik yang dihasilkan 3 juta warga mencapai 400 ton per hari. Sampah itu sebagian sudah dikelola warga dengan membuatnya menjadi bahan daur ulang dan dijual ke 227 bank sampah se-Surabaya.
Jika tidak dikelola dengan baik dan dibiarkan dibuang di sembarang tempat, sampah plastik bisa merusak lingkungan. Ekosistem menjadi terganggu karena sampah tersebut.
Penggunaan sampah plastik sebagai alat pembayaran bus diharapkan mampu membentuk budaya peduli sampah plastik
”Penggunaan sampah plastik sebagai alat pembayaran bus diharapkan mampu membentuk budaya peduli sampah plastik sehingga mampu menambah volume sampah plastik yang bisa dikelola, bukan menjadi sampah yang dibuang ke TPA Benowo,” ucap Risma.
Surabaya menjadi kota pertama di Indonesia yang menerapkan penggunaan sampah plastik sebagai alat pembayaran transportasi umum. Cara yang sama diterapkan di Beijing, China, sejak 2014.
Pemerintah setempat menjadikan sampah botol plastik air minum dalam kemasan sebagai alat pembayaran kereta bawah tanah.
Siti Suleha (33), warga Surabaya, mengatakan, penggunaan sampah plastik sebagai alat pembayaran bus membuatnya semakin memiliki banyak pilihan untuk mengolah sampah plastik.
Biasanya, ibu dua anak itu membawa sampah plastik di bank sampah. Setiap tahun, dia menerima Rp 70.000 yang dibayarkan saat bulan Ramadhan. ”Sekarang sampah plastik bisa ditukarkan dengan karcis untuk jalan-jalan keliling Surabaya,” ujarnya.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya Irvan Wahyu Drajat mengatakan, ada 8 bus Suroboyo yang beroperasi setiap pukul 06.00 hingga 22.00. Rute yang dilalui adalah Terminal Purabaya-Jalan Rajawali dengan 40 titik pemberhentian atau halte. Waktu tunggu tiap bus selama 20 menit.
Bus Suroboyo terintegrasi dengan teknologi Surabaya Intelligent Transportation System sehingga bus ini akan mendapatkan green wave yang membuat bus akan mendapat prioritas lampu hijau. Perjalanan bus pun tidak akan terhenti dengan lampu lalu lintas berwarna merah sepanjang perjalanan.
Bus ini nantinya juga bisa dipantau melalui aplikasi GoBis yang dikembangkan Dinas Perhubungan Surabaya. Dalam aplikasi yang bisa diunduh di ponsel dengan sistem operasi Android ini, penumpang bisa melihat lokasi bus secara real time sehingga bisa memperkirakan waktu kedatangannya.
”Minggu depan sudah bisa mulai diunduh masyarakat umum,” kata Irvan.
Bus berwarna merah yang diproduksi pabrikan asal Jerman, Mercedes-Benz, ini memiliki panjang 12 meter dan lebar 2,4 meter. Ketinggian bus bisa diatur untuk mengakomodasi masuk-keluar penumpang difabel dan ketinggian halte yang tidak seragam.
Bus seharga Rp 2,4 miliar per unit yang dibeli dari dana APBD ini memiliki kapasitas penumpang 67 orang, terdiri dari 41 kursi dan 26 area berdiri. Terdapat kursi prioritas untuk penyandang difabel, warga lansia, dan ibu hamil. Selain itu, area penumpang perempuan juga terpisah dengan area penumpang umum.
Ada layar penunjuk lokasi bus yang memudahkan penumpang mengetahui lokasi pemberhentian halte selanjutnya. Saat berhenti di halte, ada pengumuman menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Jawa dialek Surabaya.
Untuk sektor keamanan, bus ini dilengkapi 12 kamera pemantau (CCTV) di bagian dalam dan 3 kamera CCTV di bagian luar. Kamera CCTV ini terhubung dengan Command Center 112 sehingga bisa mengantisipasi adanya tindak kejahatan di dalam bus.
”Transportasi massal harus dibuat nyaman dan aman agar bisa mengubah perilaku masyarakat yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum,” kata Risma.