Vandalisme grafiti seringkali menjadi momok di pusat-pusat kota, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tapi, di Jakarta Intercultural School, anak-anak justru dibebaskan mencorat-coret sebuah tembok besar berukuran 2,54 meter x 15,3 meter, Sabtu (7/42018). Mereka dibimbing oleh, Darbotz, seniman mural kenamaan yang bakat seninya tumbuh dari tembok-tembok jalanan Kota Jakarta.
Suasana panas tak membuat anak-anak JIS beranjak dari lapangan parkir JIS di bilangan Jakarta Selatan. Pelajaran seni dan budaya mereka kali ini (di SMP disebut kelas visual art dan di SMA disebut creative art) terdengar mengasyikkan…mencorat-coret tembok sepuasnya!
Kali ini mereka belajar seni lukis dinding atau mural bersama Darbotz, seniman mural yang telah malang melintang di dunia seni rupa dalam maupun luar negeri. Kepada anak-anak, Darbotz menawarkan satu tema yaitu Unity in Diversity atau Bersatu dalam Keberagaman.
Pada tahap awal, sekitar 30 anak SMP dan SMP JIS diberi kesempatan untuk melukis sepuasnya menggunakan cat semprot. Rutger, seorang siswa SMA JIS terlihat paling antusias menyemprotkan cat ke dinding besar itu. Di bagian akhir, Darbotz menyatukan seluruh goresan itu menjadi sebuah kesatuan karya yang bertemakan “Bersatu dalam Keberagaman”.
“Saya mengajak mereka untuk berekspresi sebebas-bebasnya karena mural adalah ekspresi kebebasan. Tidak usah peduli dengan gambar apa yang akan muncul, yang penting dinikmati dan bersenang-senang di sana,” kata Darbotz.
Dengan berekspresi sebebas-bebasnya mencorat-coret tembok, Darbotz mengajak anak-anak itu untuk menjadi diri mereka sendiri dan yakin dengan identitas mereka masing-masing. Pembelajaran yang berangkat dari ekspresi bebas dari segala kekangan ini sangat penting untuk memupuk kepercayaan diri dan imajinasi para siswa.
Berangkat dari Jalanan
Pemilihan sosok Darbotz dalam pelajaran seni budaya bersama siswa-siswi ini sangat tepat. Keunggulan Darbotz bukan semata-mata terletak pada ketrampilannya dalam membuat seni grafiti, tetapi juga bagaimana dia berproses dari bawah sebagai seniman jalanan kemudian perlahan-lahan bertransformasi menjadi seniman profesional yang selalu mencari hal-hal baru dalam berkreasi.
“Semuanya berawal dari kesenangan. Dulu saya mengawalinya dengan membuat corat-coret vandalisme saat masih SMA dengan membuat tulisan nama geng saya. Saya sendiri tidak belajar khusus seni rupa, hanya coba-coba saja,” kata seniman mural yang memiliki kebiasan khas menutup muka dalam setiap sesi pemotretan ini.
Sejak 1997, Darbotz menghabiskan waktunya dengan mencorat-coret dinding, bis, dan bahkan tempat-tempat musuh gengnya. Baru ketika singgah di bangku kuliah 2000-2004, ia mulai serius belajar desain di Universitas Trisakti Jakarta.
Setelah bertahun-tahun konsisten menggambar di berbagai media, pada 2007 ia di percaya sebuah perusahaan sepatu besar ternama untuk mengggelar instalasi di sebuah mal besar di Jakarta. Ia juga berulangkali diundang ke sejumlah pameran grafiti di luar negeri, seperti di Jepang, Singapura, Perancis, Belanda, Australia, hingga Filipina.
Karakter khas dari karya-karya Darbotz adalah gambar cuminya yang berwarna hitam dan putih. Karakter cumi menggambarkan alter egonya dalam menghadapi kerasnya Kota Jakarta.
Hingga saat ini, karya-karya Darbotz telah diakui banyak pihak, mulai dari perusahaan-perusahaan besar seperti Nike, Google, G-Shock, dan sebagainya. Ratusan lukisannya bisa disaksikan di sejumlah tempat, seperti gambar raksasanya di Hotel Artotel Thamrin, Maple Hotel Grogol, dan aneka macam restoran, kantor, rumah, dan sudut-sudut kota Jakarta. Selain melukis di dinding, ia juga melukis di berbagai media lain, seperti sepatu, kaos, topi, jaket, tas, sarung tinju, hingga mobil.
Cocok dengan Karakter Siswa
Guru seni Visual Sekolah Menengah JIS, Jason Maddock mengatakan, seni lukis dinding merupakan medium seni yang sangat relevan dengan karakter siswa-siswi JIS. “Metodenya sangat fleksibel dan dapat dilakukan kapan saja begitu inspirasi datang. Apalagi, karya seni Darbotz sangat mudah dipahami dan menyenangkan,” ucapnya.
Sebelumnya, JIS juga telah mendatangkan beberapa seniman ternama, seperti sutradara dan aktor teater Putu Wijaya, seniman keramik Bregas Harrimardoyo, dalang kenamaan Ki Purbo Asmoro, serta seniman tari Bali, I Wayan Dibia. Para seniman itu dihadirkan untuk berkolaborasi dengan para guru JIS mengadakan pelatihan seni khusus bagi para siswa.
Seperti yang dilakukan JIS, mulai Juni 2018 mendatang, Direktorat Kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menerjunkan 1.320 seniman ke sekolah-sekolah di 29 provinsi Indonesia. Mereka akan mengenalkan kesenian secara langsung kepada anak-anak sekolah di tingkat pendidikan dasar dan menengah.
“Para seniman akan terjun ke sekolah selama empat bulan mulai Juni hingga September 2018. Di setiap provinsi rata-rata ada 30-40 sekolah yang mendaftar untuk ikut dalam program Seniman Masuk Sekolah,” kata Direktur Kesenian Restu Gunawan.
Tujuan utama program ini tentu bukan untuk mencetak anak-anak menjadi seniman, tetapi menjadikan pendidikan seniman sebagai media pembentukan karakter anak. Berdasarkan hasil riset di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Australia, aktivitas anak-anak dalam berkesenian ternyata berpengaruh terhadap kemampuan akademik mereka.
“Anak-anak yang aktif berkesenian cenderung lebih mudah menyerap pelajaran dan mampu mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah dengan baik,” tambah Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid.