Cegah Konflik Agraris, Kendalikan Alih Fungsi Lahan Sawah
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan infrastruktur yang pesat mengakibatkan lahan sawah berkelanjutan di sejumlah daerah semakin berkurang.
Berkurangnya lahan sawah ini menjadi pemicu konflik dan para petani menjadi korban. Perlu adanya upaya dari pemerintah untuk meminimalisasi berkurangnya lahan sawah ini.
Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Budi Situmorang menjelaskan, saat ini lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) sangat rentan menghadapi pembangunan infrastruktur yang pesat.
”Hal ini menjadi perdebatan panjang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di satu sisi, sejumlah pihak menganggap LP2B ini menghambat pembangunan di daerah,” ucapnya di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Senin (9/4/2018).
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian ATR/BPN, hingga 2013 ada 150.000-200.000 hektar lahan sawah yang beralih fungsi setiap tahun.
Padahal, kemampuan pemerintah dalam mencetak sawah setiap tahun sekitar 60.000 hektar per tahun.
”Ada ketimpangan sehingga sekitar 40.000 hektar lahan sawah berpotensi hilang setiap tahun,” ujarnya.
Menurut Budi, pada 2013 ada 7.750 juta hektar sawah berkelanjutan di Indonesia. Namun, pada 2018 belum ada data baru terkait total lahan sawah tersebut. ”Tahun ini kami akan memperbarui data LP2B hingga ke tingkat kabupaten kota,” katanya.
Selain itu, tahun ini pemerintah juga akan merancang peraturan presiden (perpres) tentang pengendalian alih fungsi lahan sawah dan percepatan penetapan lahan sawah berkelanjutan. Menurut Budi, padahal sudah ada UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan LP2B.
”Karena otonomi daerah, pelaksanaan undang-undang itu seharusnya dijalankan oleh pemda, tetapi kenyataannya belum berjalan dengan baik,” ucapnya.
Nantinya, dengan adanya perpres ini, pemda harus mengajukan rekomendasi kepada pemerintah pusat jika ingin melakukan alih fungsi lahan sawah. Pemerintah pusat yang akan mengambil keputusan terkait perencanaan tata ruangnya.
”Jadi, kebijakan ada di pemerintah pusat sehingga kami bisa meminimalkan lahan pertanian yang dikorbankan. Jika ada lahan pertanian yang digunakan untuk proyek infrastruktur, para petani seharusnya bisa mendapatkan ganti rugi lahan sesuai dengan jumlah produksi panennya,” katanya.
Rencana pendataan
Direktur Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan Kementerian ATR/BPN Fatimah Saleh menjelaskan, daerah yang menjadi fokus pendataan LP2B 2018 ialah provinsi di Jawa, NTB, Bali, dan Sumatera Barat.
”Pada 2017, kami telah melakukan proyek awal di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Pembangunan bandara internasional di sana menjadi salah satu penyebab berkurangnya lahan sawah,” ujarnya.
Fatimah menjelaskan, pada 2013 masih ada 10.335 hektar lahan sawah di Kulon Progo, kemudian pada 2017 jumlahnya menjadi 6.724 hektar. Lahan sawah berkurang tidak hanya karena pembangunan bandara, tetapi juga karena pembangunan jalan tol dan jalur lintas selatan.
Menurut Fatimah, berkurangnya lahan sawah bisa menjadi salah satu pemicu konflik. Para petani yang menjadi korbannya.
”Dampak konflik dari berkurangnya jumlah lahan ini pasti ada. Namun, kami belum bisa menghitung jumlahnya karena pendataan baru akan kami lakukan lagi tahun ini,” katanya.
Sebelumnya (Kompas 12/12/017), pembangunan bandara internasional ini berpotensi memicu sejumlah konflik horizontal. Ada warga yang merasa pembangunan bandara ini harus terus dilanjutkan demi percepatan pembangunan daerah. Namun, ada sebagian warga pemilik rumah dan lahan pertanian yang menolak pembangunan tersebut.
Dihubungi terpisah, Sekjen Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menjelaskan, berdasarkan data KPA, terjadi peningkatan jumlah kasus konflik agraria sepanjang 2012-2017. Pada 2012 tercatat ada 198 kasus, sedangkan pada 2017 ada 659 kasus.
”Konversi lahan sawah berkelanjutan ini akan berdampak pada situasi agraria di lapangan, apalagi proses konversi ini dilakukan secara paksaan dan tidak transparan,” katanya.
Menurut Dewi, konversi sawah untuk proyek infrastruktur ini juga mengubah sebuah sistem sosial dan ekonomi masyarakatnya. Dewi mengatakan, upaya pemerintah pusat untuk menjaga lahan sawah berkelanjutan ini perlu diapresiasi.
”Namun, perlu juga ada kerja sama dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Pertanian, supaya kebijakan di Kementerian ATR/BPN bisa optimal. Selain itu, sebenarnya sudah ada undang-undang tentang perlindungan LP2B, tetapi belum terlaksana,” katanya.