Adegan Gunawan Wibisono memberitahukan kelemahan Sarpokenoko kepada Rama dan Laksmana dalam pertunjukan wayang orang berjudul Sarpokenoko Leno di Gedung Wayang Orang Bharata, Jalan Kalilio, Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (7/4/2018).Imuri (62) merias wajahnya untuk menghasilkan karakter Gunawan Wibisana, salah satu pemeran protagonis dalam kisah Ramayana yang berjudul Sarpokenoko Leno. Wajahnya yang telah berkerut tertutup oleh bedak dan garis cambang yang membuatnya tampak lebih gagah serta muda.
Sarpokenoko Leno dipentaskan oleh Paguyuban Wayang Orang (WO) Bharata di Gedung Wayang Orang Bharata, Jalan Kalilio, Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (7/4/2018) malam. Pergelaran wayang orang ini menceritakan kisah Sarpokenoko yang hendak balas dendam atas kematian putra Rahwana dari Kerajaan Alengka, yaitu Trisirah, Trikaya, dan Trinetra yang dibunuh Laksmana.
Wibisana memberi tahu kekuatan Sarpokenoko, yaitu terletak pada kedua kukunya. Laksmana memanfaatkan situasi Sarpokenoko yang jatuh cinta padanya. Dalam situasi terlena, kuku Sarpokenoko dicabut oleh Anoman. Kekuatan Sarpokenoko pun hilang dan ia dibunuh oleh Anoman.
Imuri menuturkan, Gunawan Wibisana merupakan adik kandung Rahwana, tetapi membela Rama karena ia mengetahui sifat Rahwana yang jahat. ”Dalam kehidupan, sifat baik dan jahat akan terus berdampingan, tergantung kita mau pilih yang mana,” ujar Gunawan sambil menyeka bedaknya.
Ia mengatakan, dalam sebuah cerita pewayangan, terdapat nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil hikmahnya. Karakter yang ada pun diambil dari kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, ia berharap wayang orang dapat terus lestari.
Untuk dapat lestari diperlukan regenerasi dan pendekatan seniman senior kepada generasi yang lebih muda. Hal tersebut dapat membantu seorang pemula yang ingin mempelajari wayang orang.
”Mempelajari wayang orang tidak mudah dan butuh proses panjang,” kata Imuri. Ia mengatakan, wayang orang menggabungkan berbagai kesenian, yaitu tari, musik, dan drama. Kesulitan dan proses panjang tersebut menjadi tantangan untuk melestarikan salah satu tradisi asli Indonesia sehingga butuh ketekunan dalam berlatih.
Mempelajari wayang orang tidak mudah dan butuh proses panjang.
Salah satu kegembiraan Imuri adalah ketika melihat ada anak kecil yang melihat pertunjukan wayang orang. Secara tidak langsung, ia merasa membantu mendidik anak-anak mengenai budi pekerti.
Selain mengajarkan budi pekerti, sejumlah penonton dapat bernostalgia dengan masa lalunya. Dimas Anantyo (30) teringat dengan masa lalunya ketika melihat pertunjukan wayang orang Sriwedari di Surakarta, Jawa Tengah.
Meskipun tidak menguasai bahasa Jawa dan cerita Ramayana dengan baik, Dimas dapat menikmati alur cerita yang disuguhkan melalui gerakan yang dibawakan oleh para penari. ”Adanya teks bahasa Indonesia di atas panggung juga membantu penonton memahami jalan cerita yang dibawakan oleh para penari,” ujar Dimas.
Agar penonton tidak bosan, Bharata menyuguhkan pertunjukan dengan variasi gerakan yang lucu dan inovatif sesuai dengan kondisi perkembangan zaman. Namun, mereka tetap menjaga aturan-aturan baku dalam budaya Jawa, seperti tata karma. Selain itu, mereka tetap menjaga keutuhan alur cerita.
Regenerasi
Ketua Paguyuban Wayang Orang Bharata Marsam Mulyo Atmojo menceritakan, Bharata berdiri pada 1972 dan telah memiliki delapan generasi. Paguyuban WO Bharata memiliki 155 anggota yang terdiri dari penari, pemain musik, pegawai bagian properti, penata rias dan busana, dan lain-lain. Anggota paling muda berumur empat tahun dan paling tua 77 tahun.
Salah satu kegembiraan Imuri adalah ketika melihat ada anak kecil yang melihat pertunjukan wayang orang. Secara tidak langsung, ia merasa membantu mendidik anak-anak mengenai budi pekerti.
Marsam menuturkan, sebagian besar anggotanya turun-temurun. Karena orangtuanya pemain Bharata, anaknya pun tertarik bergabung karena sering diajak berlatih. Namun, ada juga yang tertarik karena kemauan sendiri.
Ia terbuka bagi setiap orang yang ingin bergabung dengan Bharata. ”Syaratnya senang dengan wayang, mengerti cerita wayang, dan dapat menari,” ujarnya.
Satrio (8), misalnya, ia tertarik bergabung dengan Bharata karena kemauan sendiri. Ati (40), ibu Satrio, menuturkan, pada awalnya hanya melihat pertunjukan wayang orang di Bharata. Kemudian, ia ikut menari dan lama-kelamaan menjadi ketagihan. Kebiasaan tersebut muncul karena di rumah dibiasakan menggunakan bahasa Jawa.
Sementara itu, Jelang (11) tertarik bergabung dengan Bharata karena ayah dan ibunya penari di Bharata. Selain itu, lingkungan tempat tinggalnya merupakan kompleks perumahan anggota Paguyuban WO Bharata sehingga membuatnya terbiasa dengan budaya Jawa.
Meskipun mereka tertarik dengan dengan budaya lokal, anak-anak tetap mengikuti perkembangan zaman. Di saat istirahat latihan, mereka terlihat bermain gawai. Namun, mereka tetap komitmen untuk serius mengikuti latihan dan mempersiapkan diri dengan baik menjelang pentas.
Keikutsertaan anggota Bharata didasari atas keinginan untuk melestarikan tradisi lokal. Mereka hanya dibayar Rp 10.000 hingga Rp 100.000 setiap tampil sesuai dengan peran dan kemampuannya. Anggota Bharata berkomitmen meluangkan waktu setiap Sabtu mulai dari siang hingga malam hari untuk latihan hingga pentas. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari pemasukan dari mengajar, mengisi acara hajatan dan pemerintah, serta pekerjaan sampingan lain.
WO Bharata menggelar pertunjukan seminggu sekali, yaitu setiap malam Minggu dengan tiket VIP seharga Rp 60.000, kelas 1 seharga Rp 50.000, dan balkon seharga Rp 40.000. Pada 2018, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta mengadakan 15 kali pertunjukan gratis. Program tersebut diadakan untuk meningkatkan daya tarik masyarakat terhadap kebudayaan lokal.