Perlindungan Finansial yang Belum Optimal
Ruangan hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah dr Soegiri, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Jumat (6/4/2018) pukul 14.00, dipenuhi pasien yang menjalani cuci darah. Ada 17 mesin cuci darah yang dioperasikan untuk melayani pasien. Satu mesin khusus cuci darah pasien hepatitis B kosong.
Di ruangan itu, Mustaji (70), warga Madulegi, Kecamatan Sugio, memanggil perawat. Ia merasa ada yang bocor pada alat yang dipasang pada pergelangan tangannya. Sang perawat pun bergegas membetulkan dan memasang selang yang terhubung dengan mesin hemodialisis itu.
Mustaji sudah delapan tahun sakit dan harus menjalani cuci darah. Kini, ia harus cuci darah sepekan dua kali. Beruntung, dirinya jadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga biaya cuci darah tak memberatkannya. ”Saya berharap program ini diteruskan karena amat menolong orang kecil seperti kami,” katanya.
Hamdan Lutfi (56), warga Paciran, juga terbantu dengan ikut JKN. Ia jadi peserta mandiri kelas I dengan iuran Rp 80.000 per bulan. Iuran premi itu tak seberapa dibandingkan uang yang harus ia keluarkan untuk sekali cuci darah, yakni Rp 860.000, termasuk obat. ”Siapa mau sakit. Tetapi, ikut BPJS dengan iuran segitu banyak manfaat. Terasanya pas butuh seperti saya ini,” ujar pria yang pernah bekerja di Brunei Darussalam itu.
Untuk menjalani cuci darah, ia harus menempuh jarak sekitar 45 kilometer bersepeda motor dari Paciran ke Lamongan. ”Kalau tidak ikut BPJS, tak tahu lagi, dari mana biaya untuk pengobatan. Apalagi harus menjalani cuci darah,” tuturnya.
Sejak diimplementasikan tahun 2014, program JKN bertujuan memberikan proteksi bagi semua penduduk saat sakit. Dengan demikian, tak ada lagi istilah ”sadikin” alias sakit sedikit langsung jatuh miskin. Akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan pun terbuka lebar. Paket manfaat yang disediakan JKN amat luas. Harapannya, semua warga mendapat layanan kesehatan berkualitas tanpa mengeluarkan biaya tambahan.
Banyak yang merasakan manfaat menjadi peserta JKN. Mustaji dan Hamdan, contohnya. Mereka tak lagi risau terhadap biaya kesehatan saat menjalani pengobatan. Sebanyak 194,7 juta penduduk pun terdaftar menjadi peserta seperti Mustaji dan Hamdan.
Peserta yang banyak, manfaat luas, dan perlindungan finansial bagi pesertanya yang dicita-citakan pemerintah melalui program JKN merupakan gambaran cakupan jaminan kesehatan semesta (universal health coverage/UHC) yang ingin dicapai.
Dalam pernyataan tertulisnya, Direktur Regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Asia Tenggara Poonam Khetrapal Singh menyatakan, UHC adalah landasan bagi peningkatan kesehatan dan kesejahteraan seseorang, dan merupakan hak asasi paling fundamental bagi tiap individu. Ini juga penting bagi kesejahteraan negara karena rakyat yang lebih sehat akan meningkatkan produktivitas ekonomi.
Biaya tambahan
Namun, dalam banyak kasus, peserta tetap mengeluarkan biaya tambahan (out of pocket) saat mengakses layanan kesehatan. Biaya tambahan itu amat membebani pasien.
Pipin (36), warga Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, misalnya, tampak kusut ketika ditemui di kontrakannya Rabu (4/4/2018). Sisa sakit pembengkakan jantung yang ia derita setahun seperti masih membekas, susah hilang meski tak lagi kambuh. ”Selalu cemas bila dia terlihat kelelahan. Khawatir kambuh lagi,” kata Yuyun (32), istri Pipin.
Namun, bukan itu saja yang ia khawatirkan. Biaya besar perawatan suaminya membayanginya jika pembengkakan jantung terjadi lagi. Terdaftar sebagai peserta kelas III JKN, Pipin memang diringankan. Dia tak harus mengeluarkan biaya tambahan selama dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya selama dua minggu.
Akan tetapi, dia tak berdaya saat harus kontrol kesehatan sebulan sekali. Buruh pabrik tekstil dengan penghasilan Rp 2 juta per bulan ini kerap harus membeli obat sendiri. ”Alasan pihak rumah sakit, ada jenis obat yang habis, jadi harus dibeli di apotek di luar rumah sakit. Konsekuensinya, harus pakai uang sendiri, sekitar Rp 110.000 per bulan,” kata Pipin.
Di Aceh, Erliani (39), warga Desa Alue Nireh, Kecamatan Pereulak, Kabupaten Aceh Timur, misalnya. Sebagai peserta JKN, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan ketika membawa anaknya, Khusnul Hamidiah (3), penderita gangguan ginjal, jantung, paru-paru, dan divonis mengalami gizi buruk.
Saat dirawat di RSUD Zubir Mahmud, Aceh Timur, tahun 2016, Erliani pernah harus membeli infus untuk anaknya dengan harga Rp 1,5 juta. Ketika dirujuk ke RSUD Zainal Abidin di Banda Aceh, ia pernah harus mengeluarkan uang Rp 300.000 saat mengambil satu kantong darah di RSUD Zainal Abidin. Uang tersebut diminta sebagai jaminan dan akan dikembalikan jika Erliani mengganti darah yang diambil.
Namun, dirinya kesulitan mendapatkan donor untuk mengganti darah yang sudah diambil. ”Saya sering beli obat sendiri. Resepnya dikasih dokter,” ujarnya.
Karena tak sanggup membeli obat sendiri, Erliani pernah nekat membawa pulang anaknya yang tengah dirawat di rumah sakit. Erliani memiliki 11 anak, Khusnul adalah anaknya yang ke-10. Ia menderita gizi buruk sejak usia 9 bulan. Erliani dan suaminya, Muhammad Ali, hanya pekerja serabutan.
Kepala Bidang Penjamin Manfaat Rujukan BPJS Kesehatan Cabang Banda Aceh, Cut Novarita, menuturkan, semua biaya pengobatan pasien JKN ditanggung BPJS Kesehatan. Obat yang tidak terdapat dalam daftar formularium nasional, jika sesuai indikasi medis dibutuhkan, dapat diberikan kepada pasien setelah mendapat rekomendasi dari Ketua Komite Medik atau direktur rumah sakit.
”Pasien tidak boleh dibebani biaya pembelian obat,” kata Cut. Pasien yang mengalami kasus seperti itu, kata Cut, dapat melaporkan ke BPJS Kesehatan untuk ditindaklanjuti. (ACI/SEM/AIN/ADH)