Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, meskipun telah disahkan sebagai undang-undang pada 2 Januari 1974, secara efektif baru berlaku pada 1Oktober 1975 mengingat banyaknya petunjuk pelaksanaan berupa peraturan pemerintah yang harus disiapkan (Kompas, 9 April 1975).
Undang-Undang Perkawinan, meskipun berlaku untuk semua agama, beberapa pasalnya membedakan antara penganut Islam dan di luar Islam. Dalam pencatatan perkawinan, misalnya, hanya diakui dua instansi pencatatan perkawinan. Kantor pencatat nikah, talak, dan rujuk bagi yang melangsungkan pernikahan menurut agama Islam. Bagi yang menikah di luar agama Islam, pencatatan nikah dilakukan oleh kantor catatan sipil.
Lahirnya undang-undang ini pada dasarnya merupakan upaya melindungi perempuan, terlihat dari pasal-pasal mengenai perceraian, poligami, dan hak-hak perempuan dan anak dalam perkawinan. Undang-undang ini pada dasarnya juga berprinsip pada monogami.
Dalam perjalanannya, UU Perkawinan oleh beberapa anggota masyarakat dianggap tidak sesuai dengan keadaan zaman. Mengenai batas usia menikah, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, telah dimintakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar untuk perempuan dinaikkan menjadi 18 tahun, sesuai dengan batas usia anak, yaitu 18 tahun seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sayangnya, MK tidak mengabulkan permintaan itu.
Upaya masyarakat untuk terus menjadikan UU Perkawinan sesuai dengan perubahan zaman terus berlanjut. Fatayat NU, misalnya, dalam rapat kerja nasional di Palangkaraya pada Mei 2017 merekomendasikan revisi UU Perkawinan.
Masyarakat menunggu kesungguhan wakil rakyat di DPR RI dan DPD untuk menghasilkan peraturan perundangan yang melindungi warga negara RI, terutama perempuan yang merupakan separuh jumlah penduduk, di tengah kepentingan politik praktis jangka pendek. (NMP)