31 Orang Tewas Sia-sia
SOREANG, KOMPAS — Nyawa 31 warga Jawa Barat melayang akibat mengonsumsi minuman oplosan dalam tiga hari terakhir. Ke-31 orang itu terdiri dari 23 warga Kabupaten Bandung, 5 orang di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, dan 3 warga Kota Bandung. Meluasnya peredaran minuman oplosan diduga menjadi pemicu utama kejadian ini. Hingga Senin (9/4/2018) malam, polisi masih mencari produsen minuman pencabut nyawa ini.
Di Cicalengka, Kabupaten Bandung, 23 orang meregang nyawa hingga Senin malam. Kasus ini bermula saat delapan orang dengan keluhan sakit perut, muntah-muntah, dan penglihatan terganggu dibawa ke RSUD Cicalengka, Jumat pagi.
Puluhan pasien itu sehari sebelumnya menenggak minuman oplosan. Jumlah pasien terus bertambah menjadi 52 orang hingga Senin sore. Usia korban itu bervariasi, mulai dari 19 tahun hingga 52 tahun.
Pada kurun waktu yang sama, kasus serupa terjadi di Kota Bandung. Tiga warga Buah Batu, Bandung, juga tewas akibat menenggak minuman oplosan. Senin malam, seperti dikatakan Kepala Bidang Humas Polda Jabar Ajun Komisaris Besar Trunoyudho Wisnu Andiko, 5 warga Palabuhanratu tewas, juga akibat minuman oplosan.
Direktur Utama RSUD Cicalengka Yani Sumpena mengatakan, tidak tertutup kemungkinan jumlah korban terus bertambah. Ini mengacu pada banyaknya jumlah pasien yang datang ke rumah sakit.
”Pada Minggu pagi, jumlah korban tewas baru 12 orang. Sehari kemudian menjadi 20 orang. Tiga lainnya meninggal di RSUD Majalaya, Kabupaten Bandung,” kata Yani, Senin.
Direktur Reserse Narkoba Polda Jabar Komisaris Besar Enggar Pareanom mengatakan, terkait kasus ini, dua orang, yakni JS, penjaga kios, dan HM, pemilik kios, di Cicalengka, sudah ditahan. Pelaku mengatakan sudah menjual minuman keras itu selama empat bulan terakhir.
”Kami masih memburu pemasok minuman itu berinisial C. Setiap pekan, dia memasok minuman keras ke kios tersebut. Tidak tertutup kemungkinan, C memasoknya ke wilayah lain di luar Kabupaten Bandung,” kata Enggar, di RSUD Cicalengka.
Enggar mengatakan, dari keterangan tersangka, C memasok 10 dus minuman keras itu ke kios tersebut setiap pekan. Minuman itu dibeli tersangka dengan harga Rp 340.000 per dus.
Setiap dus berisi 24 botol berukuran 600 mililiter. Minuman keras itu dijual lagi Rp 20.000 per botol. Harga itu jauh lebih murah daripada harga minuman keras lokal berizin yang harganya minimal Rp 200.000 per botol. Hal ini menjadi salah satu alasan minuman oplosan laku keras.
Di sejumlah daerah
Kasus minuman oplosan yang merenggut nyawa awal bulan ini juga terjadi di Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi (Jadetabek). Saat itu, 7 warga Bekasi, 6 penduduk Depok, 8 korban di Jakarta Selatan, dan 10 warga Jakarta Timur tewas akibat minuman oplosan. Di Kabupaten Tangerang, minuman oplosan menewaskan tiga orang, pekan sebelumnya. (Kompas, 6/4/2018)
Polda Jabar, hingga Senin, baru memeriksa dua korban yang dirawat. ”Mereka membenarkan bahwa mereka membeli minuman dari kios tersangka. Korban lain akan diperiksa bertahap,” ujar Enggar.
Namun, kata Enggar, ia belum dapat menyimpulkan campuran minuman oplosan itu. Polisi masih berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandung. ”Efek minuman oplosan ini sangat berbahaya. Menurut saksi, hanya 10 menit setelah meminumnya, dia langsung jatuh,” ujarnya.
Efek mematikan itu juga yang merenggut nyawa tiga warga Sekejati, Buah Batu, Kota Bandung. Kepala Polrestabes Bandung Komisaris Besar Hendro Pandowo mengatakan, tiga korban tewas setelah membeli minuman, yang dikenal dengan sebutan ginseng minola, dari tersangka A. Para korban tewas diduga mencampurkannya dengan minuman teh dan buah dalam kemasan, losion obat nyamuk, obat batuk sirup, serta jeruk bali.
”Dari keterangan saksi-saksi, mereka minum-minum di Sabtu malam, dan kejang-kejang di Minggu pagi. Tak lama, mereka tewas,” katanya.
Razia polisi
Kepala Polda Jabar Inspektur Jenderal Agung Budi Maryoto mengatakan, sehubungan kasus ini, pada Minggu hingga Senin pagi, polisi langsung merazia banyak tempat yang dicurigai menjual minuman oplosan.
Hasilnya, polisi menyita 25 galon dan 3.000 botol minuman oplosan. Semua barang bukti yang disita ini tanpa izin edar, tanpa label, dan penjualnya juga tidak mempunyai izin penjualan minuman keras.
Hingga Senin sore, sejumlah keluarga korban berdatangan ke RSUD Cicalengka. Beberapa di antara mereka pingsan saat melihat jenazah anggota keluarganya terbujur kaku.
Salah satu dari mereka adalah Ny Ani (59), warga Cicalengka, ibu dari Dina (29), salah seorang korban tewas, yang juga satu-satunya korban berjenis kelamin perempuan. Ani mengatakan, langsung membawa anaknya ke RSUD Cicalengka, setelah Dina mengeluhkan sakit perut sejak Jumat pagi. Awalnya, ia tidak menyangka anak keempatnya itu menenggak minuman oplosan.
”Setahu saya, dia ikut acara makan-makan dengan saudaranya di Cikaledong. Kalau sudah begini, kami hanya bisa pasrah,” ujarnya, saat ditemui di rumahnya di Kampung Peuteuy, Cicalengka.
Guru Besar Farmakologi Universitas Padjadjaran Bandung Anas Subarnas menuturkan, minuman keras mengandung kadar alkohol tinggi jenis etanol. Namun, dewasa ini kalangan pengguna cenderung ingin memperoleh pengaruh lebih cepat daripada minuman keras. Salah satu yang dicari adalah efek memabukkan.
Karena itu, kata Anas, minuman itu lantas dicampur lagi dengan bahan lain, di antaranya losion obat nyamuk, juga obat batuk dan pil CTM untuk depresi saraf pusat. ”Sangat berbahaya dan mudah memicu kematian. Bahkan, jika merasa kurang, pengguna kerap tak segan-segan mencampurkan dengan metanol. Ini bisa menyebabkan sakit kepala, sakit perut, bahkan berujung kematian,” kata Anas.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, berpendapat, para korban berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Menurut dia, kondisi ekonomi dan sosial mereka memungkinkan terbentuknya subkultur menyimpang. Ada nilai-nilai yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat umum.
Perbedaan nilai ini bisa jadi tidak sejalan dengan nalar masyarakat luas. ”Di beberapa kasus, semakin berbahaya minumannya, jika berani meminum, malah dianggap semakin jagoan,” kata Asep. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada kelas masyarakat yang lebih tinggi.
”Kalau yang lebih tinggi mungkin ’mainannya’ adalah narkoba. Tapi, kalau di masyarakat kelas menengah bawah, ya, oplosan karena murah,” kata Asep. (TAM/SEM/DD17)