Kualitas Layanan untuk Peserta JKN Belum Optimal
JAKARTA, KOMPAS — Pelayanan kesehatan merupakan inti dari jaminan kesehatan. Akan tetapi, di lapangan, akses pada fasilitas kesehatan yang terbuka karena program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat belum disertai dengan mutu layanan prima yang diberikan.
Hal itu mengakibatkan munculnya beragam keluhan peserta JKN. Contohnya, penetapan kuota peserta JKN yang dilayani rumah sakit, pembatasan waktu layanan bagi pasien JKN, peserta kesulitan mencari ruang perawatan intensif, peserta harus membeli obat, hingga menanti berbulan-bulan untuk mendapat tindakan medis.
Selain itu, keterbatasan sarana, prasarana, alat kesehatan, kompetensi, dan ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas berkontribusi terhadap tingginya angka rujukan.
Hingga Februari 2018, tercatat ada 21.843 fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan 2.314 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) yang telah bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Zaenal Abidin, Senin (9/4/2018), di Jakarta, mengatakan, jangan sampai fasilitas kesehatan tidak siap melayani peserta JKN. Setelah seseorang mendaftar dan menjadi peserta, mereka berhak atas layanan kesehatan bermutu, fasilitas kesehatan dekat tempat tinggalnya, tenaga kesehatannya berkompeten, dan fasilitasnya menunjang.
Zaenal mencontohkan, di Natuna hanya ada satu puskesmas sebagai FKTP yang buka hanya sampai pukul 14.00. Akibatnya, masyarakat yang akan mengakses di luar jam kerja itu menjadi menumpuk di unit gawat darurat di RS terdekat.
Di wilayah kerja BPJS Kesehatan Sumatera Utara-Aceh, angka rujukan mencapai 20 persen tahun 2017. Padahal, standarnya 15 persen. Rujukan dilakukan dengan alasan diagnosis penyakit memerlukan dokter spesialis, sarana dan prasarana di FKTP terbatas, serta FKTP belum kompeten untuk mendiagnosis 144 penyakit.
Deputi Direksi BJPS Kesehatan Wilayah Sumatera Utara dan Aceh Budi Mohamad Arief menyatakan, FKTP tersedia di tiap kecamatan, bahkan di daerah terpencil dan sangat terpencil ada puskesmas pembantu. Namun, fasilitas dan kemampuan tenaga kesehatannya belum memenuhi standar dan kebutuhan.
Afifuddin (32), warga Pidie, Aceh, misalnya, pernah mendampingi ibunya menjalani operasi katarak di Rumah Sakit Umum Daerah Tgk Chik Ditiro, Sigli, dengan rujukan dari puskesmas. Sepekan setelah operasi, ibunya menderita gangguan saraf di pinggang, tetapi puskesmas tak bisa memberi rujukan karena surat rujukan operasi katarak berlaku, belum 30 hari.
”Saya terpaksa memakai jalur umum karena tidak mungkin menunggu surat rujukan katarak berakhir. Sebab, ibu saya harus segera mendapat penanganan medis,” ujarnya.
Lain hanya dengan Fhemmy Fransisca (33), warga Kecamatan Antapani, Kota Bandung. Meski ia dan keluarganya terdaftar sebagai peserta kelas I dengan iuran Rp 80.000 per bulan, ia tak bisa bergantung sepenuhnya pada JKN. Ia harus mengeluarkan biaya sendiri demi mendapat layanan lebih cepat bagi anaknya, yang bermasalah pada bagian jantung.
Fasilitas terbatas
Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung Deni Kurniadi Sunjaya berpendapat, pelayanan yang diperoleh peserta JKN belum optimal karena jumlah dan kompetensi fasilitas kesehatan belum seimbang dengan tingkat pemanfaatan peserta yang tinggi.
Sementara Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, pekan lalu, mengatakan, tingginya kunjungan peserta JKN ke fasilitas kesehatan merupakan konsekuensi terbukanya akses. Itu perlu ditata dengan memperkuat pelayanan kesehatan primer agar pasien yang dirujuk tidak berlebih. Penguatan kompetensi dan program promotif-preventif di FKTP juga perlu dilakukan agar bisa mendiagnosis 144 penyakit.
Selain itu, metode Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan (KBK) juga diterapkan BPJS Kesehatan untuk mendorong efektivitas pembiayaan layanan berbasis kapitasi di FKTP. Ada tiga indikator kinerja, yakni angka kontak, rasio rujukan nonspesialistik, serta rasio peserta program pengelolaan penyakit kronis berkunjung ke FKTP.
Pihaknya bersinergi dengan unit pengaduan RS melalui penempatan petugas Pemberi Informasi dan Penanganan Pengaduan serta penyiapan aplikasi pengaduan. ”Kami juga mengembangkan sistem informasi ketersediaan tempat tidur perawatan lewat integrasi sistem informasi manajemen RS dengan Aplikasi BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo menyadari, belum semua puskesmas memiliki kemampuan melaksanakan diagnosis 144 penyakit dalam JKN. Sebab, kondisi sarana, prasarana, alat kesehatan, dan kompetensi sumber daya manusianya beragam.
Sebenarnya, lanjut Bambang, dana kapitasi yang diterima puskesmas setiap bulan bisa dimanfaatkan untuk melengkapi kebutuhan saran prasarana, menambah tenaga kesehatan, dan operasional penjangkauan kepada masyarakat. ”Pemahaman regulasi, kepemimpinan, tata kelola, dan integrasi sumber daya di puskesmas perlu dibenahi,” ujarnya.
Salah satu upaya yang dilakukan Kemenkes untuk memperkuat tata kelola puskesmas adalah dengan akreditasi. Dari 9.825 puskesmas yang ada saat ini, baru sekitar 4.500 di antaranya yang sudah terakreditasi. Harapannya, tahun 2019 saat cakupan jaminan kesehatan semesta tercapai, semua puskesmas terakreditasi.(ADH/EVY/WSI/AIN/SEM/SYA/ETA/RWN/RAM)