Stigma ”E-Sport” Diubah dengan Kunjungan ke Kampus
JAKARTA, KOMPAS — Olahraga elektronik atau e-sport masih dianggap sebatas gim dalam jaringan atau online game. Untuk mengubah pandangan itu, penyelenggara olahraga elektronik mengedukasi sejumlah universitas.
Salah satu penyelenggara acara-acara yang melibatkan olahraga elektronik, World of Gaming, akan mengedukasi delapan kampus pada tahun ini. Acara diadakan di salah satu fakultas dalam setiap universitas.
Konten edukasi berupa keterkaitan antara bidang ilmu dalam fakultas itu dengan salah satu aspek dalam olahraga elektronik. Manajer Produk World of Gaming Herry Wijaya mencontohkan, pihaknya akan memaparkan materi aspek legal olahraga elektronik di fakultas hukum atau potensi pasar olahraga elektronik di fakultas ekonomi.
Di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, intrik sosial dalam tim olahraga elektronik dapat menjadi materi pemaparan. Herry mengatakan, olahraga elektronik cenderung dimainkan beregu.
E-sport itu berbeda karena menitikberatkan pada profesionalitas, keteraturan, dan tujuan pribadi pemain.
Ketika olahraga elektronik ini dibawa ke kampus, Herry merasakan kesulitan. ”Masih ada yang berpikir, e-sport itu sama dengan bermain online game atau gim daring. Akibatnya, stigma pemain hanya fokus pada dunia gim daringnya melekat pada e-sport. Padahal, e-sport itu berbeda karena menitikberatkan pada profesionalitas, keteraturan, dan tujuan pribadi pemain,” kata Herry dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (10/4/2018).
Sebagai pemain olahraga elektronik selama delapan tahun terakhir, Herry mengatakan, dirinya mendapatkan sejumlah kemampuan kognitif dan afektif. Dia merasa refleks motoriknya lebih peka, lebih tangkas, dan memiliki kemampuan manajerial.
Berdasarkan pengamatan Herry, usia pemain olahraga elektronik berada dalam rentang 8-28 tahun. Potensi terbesar terdapat pada usia 18-24 tahun dan mahasiswa termasuk dalam kelompok ini.
Menurut Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Nia Nadia, kedatangan World of Gaming di kampusnya pada akhir April nanti tetap di ranah pendidikan.
”Pengenalan e-sport ini sebaiknya juga merujuk pada potensinya sebagai ekonomi kreatif dan potensi lapangan kerjanya,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Selasa.
Pengenalan e-sport ini sebaiknya juga merujuk pada potensinya sebagai ekonomi kreatif dan potensi lapangan kerjanya.
Nia juga melihat pentingnya pembahasan mengenai jaringan sosial yang dibentuk oleh para pemain olahraga elektronik. Dalam pandangannya, jaringan tersebut berpotensi memberikan manfaat pada sekitarnya karena terdiri dari orang-orang dengan minat yang sama.
Faisal Wahyudin (20), mahasiswa Univeritas Bhayangkara yang menjadi salah satu anggota panitia penyelenggara World of Gaming di kampusnya, berharap edukasi olahraga elektronik tidak hanya menyoroti sisi bersenang-senangnya. ”Harus ditampilkan lagi potensi-potensi lainnya,” ujarnya.
Selain dua universitas tersebut, edukasi akan diadakan di Universitas Budi Luhur dan Universitas Esa Unggul, Jakarta; Universitas Pakuan, Bogor; Universitas Padjadjaran, Bandung; Universitas Islam Negeri Yogyakarta, serta Universitas Negeri Surabaya.
Pada tahun lalu, edukasi serupa diadakan di sembilan universitas di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Olahraga elektronik dapat dilihat sisi positifnya jika tidak menimbulkan kecanduan.
Dihubungi secara terpisah, dosen Psikologi Universitas Indonesia, Edo Sebastian Jaya, mengatakan, olahraga elektronik sebaiknya dilakukan sebagai hobi dan bukan pelampiasan emosi atau stres agar terhindar dari kecanduan.
Selain itu, pemain olahraga elektronik disarankan memiliki hobi lebih dari satu. ”Jam untuk bermain juga perlu dibatasi. China memiliki regulasi yang membatasi bermain olahraga elektronik tidak lebih dari tiga jam,” kata Edo.
Potensi profit
Profesional dan tujuan pribadi pemain merujuk pada memenangkan turnamen-turnamen olahraga elektronik di tingkat nasional dan internasional. Herry mengatakan, biasanya pemain profesional ini akan memiliki akun media sosial Youtube.
Olahraga elektronik sebaiknya dilakukan sebagai hobi dan bukan pelampiasan emosi atau stres agar terhindar dari kecanduan.
Dalam akun media sosial itu, pemain profesional akan membagikan strateginya. ”Di sinilah letak potensi profit digitalnya,” ujar Herry.
Tak hanya pemainnya, turnamennya dikelola secara profesional dengan susunan panitia dan anggaran penyelenggaraan tertentu.
Herry menceritakan, saat dia mengadakan siaran langsung terkait Mobile Legends, olahraga elektronik balap mobil di ponsel, se-Asia Tenggara, penontonnya mencapai 40.000 orang. Sejumlah 15.000 orang di antaranya berasal dari Indonesia. Penonton-penonton itu dapat menjadi tolak ukur potensi pasar olahraga elektronik.