Beban Peserta JKN Masih Tinggi
JAKARTA, KOMPAS – Beban finansial dan kesehatan penduduk yang menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional masih saja besar. Pelayanan kesehatan yang mereka terima pun kurang berkualitas akibat JKN yang kekurangan dana.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Ahmad Ansyori, Selasa (10/4/2018), di Jakarta, mengatakan, sudah saatnya pemerintah membenahi persoalan teknis implementasi JKN. Pertimbangan politis harus mulai dikesampingkan dalam pengambilan kebijakan JKN untuk lebih menjamin keberlangsungan program dan memberikan jaminan pelayanan kesehatan berkualitas juga perlindungan finansial bagi penduduk.
“Setelah berjalan empat tahun kita tahu masalah JKN apa saja dan sudah banyak solusi ditawarkan oleh para pakar. Tinggak bagaimana komitmen pemeirintah,” kata Ansyori.
Selain aspek kepesertaan dan pelayanan, cakupan kepesertaan universal yang ingin dicapai juga dilihat dari seberapa besar perlindungan finansial yang dirasakan peserta. Idealnya, beban pengeluaran kesehatan yang dibayar rumah tangga kurang dari 20 persen. Menurut data National Health Account proporsinya masih sekitar 40 persen.
Kecukupan dana untuk membiayai program JKN sangat menentukan keberlanjutan program ini. Sayangnya, karena selalu kekurangan dana sejak awal, proteksi finansial terhadap peserta pun tidak maksimal.
Data BPJS Kesehatan menunjukkan, realisasi pendapatan BPJS Kesehatan dari iuran peserta tahun 2017 mencapai Rp 74,2 triliun. Sementara beban biaya pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) tahun yang sama Rp 84,4 triliun dan pembayaran kapitasi untuk fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Rp 12,2 triliun. Pemerintah pun memberikan suntikan dana Rp 3,6 triliun di tahun 2017 untuk memperkuat likuiditas BPJS Kesehatan.
Sejak tahun 2014, BPJS Kesehatan telah menerima suntikan dana untuk mengatasi kekurangan biaya kesehatan sebesar Rp 15,4 triliun.
Erliani (39) warga Desa Alue Nireh, Kecamatan Pereulak, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, yang memiliki anak bernama Khusnul Hamidiah (3) yang menderita gangguan ginjal, jantung, dan paru-paru serta divonis gizi buruk, mengatakan, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan meskipun anaknya berobat sebagai peserta JKN.
Sebelum dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin di Banda Aceh, tahun 2016 Khusnul dirawat di RSUD Zubir Mahmud, Aceh Timur. Saat itu Erliani pernah harus membeli infus untuk anaknya dengan harga Rp 1,5 juta. “Saya sering beli obat sendiri. Resepnya dikasih dokter,” kata Erliani.
Cut Elmina (42) warga Desa Caleu, Kecamatan Indrajaya, Pidie mengatakan, cucunya yang bernama Tahta (9) menderita kanker limfoma hodgkin di bagian leher. Tahta kini menjalani rawat jalan di RSUD Zainal Abidin usai operasi penangkatan kanker.
Cut harus mengeluarkan biaya sendiri untuk membeli obat kanker methotrexate yang harganya Rp 250.000 per ampul. Dalam sebulan dibutuhkan dua ampul. “Obat diresepkan oleh dokter. Katanya itu tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Kalau tiap bulan harus beli obat saya tak punya biaya, untuk makan saja susah,” kata Cut.
Pembayaran klaim terlambat
Keterbatasan dana BPJS Kesehatan berdampak pada kelancaran pembayaran tagihan klaim dari rumah sakit. Sejak akhir 2017 hingga sekarang persoalan ini masih terjadi meski telah sedikit membaik.
Di Aceh, misalnya, pembayaran tagihan klaim Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Banda Aceh oleh BPJS Kesehatan Cabang Banda Aceh terlambat. Tagihan yang belum dibayarkan untuk Desember 2017 dan Januari 2018 mencapai Rp 82 miliar.
Wakil Direktur RSUDZA Banda Aceh Azharuddin, menuturkan, klaim bulan Desember 2017 sebesar Rp 42 miliar sudah jatuh tempo. Pihaknya memasukkan berkas klaim tepat waktu tapi proses verifikasi oleh BPJS Kesehatan lambat. “Bayar dulu yang sudah jatuh tempo. Karena ini menyangkut hak pekerja di rumah sakit,” kata Azharuddin.
Bayar dulu yang sudah jatuh tempo. Karena ini menyangkut hak pekerja di rumah sakit
Keterlambatan pembayaran klaim dikhawatirkan berdampak pada kinerja tenaga medis dan kerja sama dengan pihak ketiga untuk pengadaan obat dan alat kesehatan. RSUDZA terpaksa menggunakan kas untuk membayar jasa medis dan pengadaan obat.
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Banda Aceh Aldiana mengatakan keterlambatan pembayaran dana klaim untuk RSUDZA karena berkas yang harus diverifikasi membutuhkan waktu lama, selain berkas yang banyak, terkadang tidak lengkap sehingga harus dikonfirmasi ulang ke pihak rumah sakit.
RSUDZA merupakan rumah sakit milik Pemprov Aceh dengan status akreditasi paripurna. Dalam sehari jumlah pasien yang berobat baik rawat jalan dan rawat inap mencapai 1.500 orang.
Di Jakarta, Direktur Utama RSUP Persahabatan Mohammad Ali Toha, menyampaikan, pembayaran tagihan klaim oleh BPJS Kesehatan belum sesuai harapan. Ada saja tagihan yang sudah terverifikasi dan jatuh tempo tapi belum dibayar. “Ada tagihan klaim dari RSUP Persahabatan yang sudah jatuh tempo Rp 30 miliar belum dibayar,” ujarnya.
Stok obat kosong
Akibatnya, beberapa obat sering kosong dan rumah sakit bekerja keras untuk melakukan efisiensi. Akibatnya, kualitas pelayanan yang diterima pasien menurun meski tetap standar. “Obat antibiotik sering kosong. Ada perusahaan farmasi yang tidak melayani pembelian sebelum utang kami dilunasi,” kata Ali.
Selain itu, RSUP Persahabatan juga bekerja keras melakukan efisiensi. Ini dilakukan antara lain dengan optimalisasi tempat tidur, mengatur ulang pengeluaran berdasarkan prioritas, atau membeli berbagai barang habis pakai dalam sekali transaksi agar lebih murah.
Direktur Utama RSUD Ulin Banjarmasin, Suciati, mengemukakan, hampir 70 persen pasien yang menjalani perawatan di RSUD Ulin adalah pasien BPJS Kesehatan. Klaim dari RSUD Ulin ke BPJS Kesehatan tiap bulan rata-rata Rp 20 miliar sampai Rp 22 miliar.
”Sekarang, sudah ada perbaikan dalam pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan, tidak lagi sering terlambat seperti dulu. Klaim kami untuk Januari sudah dibayar dan klaim untuk Februari rencananya akan segera dibayar,” kata Suciati.
Menurut Kepala BPJS Kesehatan Cabang Banjarmasin Nyoman Wiwiek Yuliadewi, pembayaran klaim ke rumah sakit yang sebelumnya sering terlambat karena proses verifikasi kini sudah diperbaiki dengan adanya inovasi verifikasi di kantor (vedika). Dengan vedika, ada mekanisme yang pasti. BPJS Kesehatan harus membayar klaim rumah sakit paling lambat 15 hari setelah klaim diajukan pihak rumah sakit. Jika terlambat, maka BPJS dikenai denda.
”Setelah klaim rumah sakit diselesaikan, ada audit klaim. Jika ada kelebihan pembayaran biaya klaim, pihak rumah sakit harus mengembalikan dana tersebut ke BPJS Kesehatan,” jelasnya.
BPJS Kesehatan Cabang Banjarmasin saat ini bermitra dengan 306 FKTP dan 29 unit rumah sakit. ”Untuk 29 fasilitas kesehatan rujukan itu, klaimnya rata-rata Rp 80 miliar per bulan. Penyakit yang paling banyak diklaim sampai saat ini, yaitu diabetes melitus, hipertensi, gagal ginjal, dan jantung,” ungkap Wiwiek.
Analis Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah Jawa Barat, Hendriyanto, menambahkan, integrasi jaminan kesehatan daerah dengan JKN juga menghadapi masalah yang sama, yaitu pemerintah daerah terkadang terlambat membayar iuran karena faktor daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang belum turun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, menyampaikan, untuk menjaga kesinambungan pembiayaan tiga pilar asuransi kesehatan sosial di tahun ini diintensifkan, yakni percepatan perekrutam peserta baru, peningkatan kolektabilitas iuran, dan optimalisasi fungsi pembelanjaan strategis.
Selain itu, penghematan juga dilakukan BPJS Kesehatan dengan cara tidak menambah jumlah kantor baru secara massif dan tidak lagi menerima pegawai.