Jantung Hati
Pada Selasa (10/4/2018), seniman multitalenta, Danarto, berpulang menuju Sang Mahakuasa pada usia 78 tahun. Karya-karya cerpennya sering menghiasi harian Kompas. Dari catatan Kompas, cerpen Danarto terbit pertama kali di koran ini pada Minggu, 10 Mei 1987, dengan judul Dinding Ibu. Terakhir, cerpen Danarto terbit di Kompas pada Minggu, 15 Mei 2016, berjudul ApoCalypso.
Berikut ini salah satu cerpen karya Danarto yang terbit di Kompas pada Minggu, 26 Aug 2001, berjudul Jantung Hati:
Jantung Hati
HARI ini saya mati. Jenazah saya dikebumikan beramai-ramai oleh teman-teman. Istri dan anak-anak saya menangis di tepi gundukan kuburan saya. Mereka lupa berdoa karena sedihnya. Ibunya mendekap ketiga anak saya yang masih kecil-kecil, persis induk ayam melindungi anak-anaknya. Banyak teman-teman yang menangis juga. Mereka seperti tak percaya bahwa hari ini tubuh saya yang masih segar dimasukkan ke liang lahat. Mereka sangat kehilangan saya karena kepergian yang tiba-tiba dalam usia muda. Saya kena serangan jantung.
SIANG itu saya memburu teroris yang habis meledakkan bom di sebuah mal. Kobaran api menghanguskan sebagian dinding dan langit- langit toko parfum yang mengakibatkan sejumlah korban bergeletakkan di antara bongkahan tembok dan pecahan kaca. Menurut para sopir yang beristirahat di lapangan parkir, terlihat seorang pria berjaket yang lari kencang keluar dari mal sebelum bom meledak. Saya yang ke kantor setiap hari melewati mal itu, kebetulan menyaksikan semburan asap dan api, buru-buru mengejar teroris yang menurut saksi mata lari ke arah timur. Rupanya jantung saya tidak kuat lagi menanggung beban cara kerja yang penuh ketegangan yang setiap hari dipacu, putuslah perangkat itu yang menyebabkan saya duduk terkulai di belakang setir tak bangun-bangun lagi.
Ketika saya baru menyadari telah berada di alam lain, tubuh saya dan sejumlah yang lain berupa entah, bersayap, lentur, melenting- lenting, dan bersinar, melayang, mengalun, ke mana-mana. Lalu muncul sekuntum malaikat berada di depan saya. Kami lalu mengerumuni malaikat itu yang mematung tak bicara. Tubuh malaikat itu dipenuhi mata yang bukan main banyaknya, boleh jadi tak terhitung jumlahnya. Ribuan. Saya kira milyaran. Agaknya saya bisa membaca malaikat itu, rasanya ia inilah sekuntum yang mencabut nyawa saya: Malaikat Izrail. Pernah dua kali ia datang sebelumnya, tetapi tulang dan darah saya menolaknya yang mengatakan bahwa saya belum siap dijemputnya. Setiap satu mata Izrail mengedip, satu nyawa tercabut dari tubuh manusia. Saya lalu membayangkan bagaimana ia ketika bekerja di medan perang.
Saya masih ingat, saya pernah berterus terang kepada pacar saya, yang kemudian jadi ibu anak-anak saya itu bahwa saya punya cita-cita jadi malaikat. Mendengar omongan saya itu, dia tergelak-gelak. Dia tentu menganggap saya main-main.
"Memangnya kamu orang suci, kok ingin jadi malaikat!" kata dia waktu itu sambil menyeruput jus tomatnya.
"Lho, memangnya ada syarat kesucian untuk jadi malaikat?" kata saya.
"Lalu apa syaratnya kalau bukan kesucian?"
"Kalau begitu tidak ada manusia yang bisa jadi malaikat, dong."
"Emang."
Keyakinannya dan ketegasannya ketika omong itulah yang semakin memikat saya untuk masuk ke dalam pelukannya.
***
MENURUT analisis para pakar politik, bom yang meledak di mana- mana adalah untuk mengacau pemerintahan baru. Jika politik tidak stabil, ekonomi pasti goyah pula. Rakyat yang miris terhadap teror tentu tidak bisa hidup tenang, apalagi rezeki sudah sangat susah dicari. Sekitar 40 juta jiwa penganggur mau makan apa jika lowongan kerja sudah tertutup sama sekali. Mereka akan gentayangan di kota- kota besar karena hanya di sana apa saja bisa menghasilkan uang. Bom yang meledak yang dipadu dengan gelandangan dianggap suatu komposisi yang cukup efektif untuk menggoyang kedudukan yang telah mapan.
Mati bukanlah cita-cita saya. Siapa yang mau mati? Mati adalah ketakutan itu sendiri. Kebanyakan manusia tidak ingin mati, saya yakin itu. Rata-rata manusia ingin hidup abadi. Kematian adalah jalan menuju pengadilan. Siapa mau diadili? Seorang yang hidup lurus selama tinggal di dunia, juga tidak senang diadili, saya yakin itu. Jadi, setiap manusia selama hidup di dunia harus mempersiapkan diri baik- baik dalam menuju akhirat. Mengapa Tuhan menggunakan istilah pengadilan? O, alangkah sengsaranya manusia jika di akhirat kelak diadili. Siapa yang bisa lolos dari pengadilan? Lebih-lebih lagi untuk bisa naik ke surga, orang harus dicuci dulu di neraka karena tidak ada manusia yang terbebas dari dosa. O, alangkah sengsaranya manusia.
"Kamu harus mati dulu, baru bisa jadi malaikat," kata pacar saya waktu itu sambil menyeruput jus tomatnya.
"Jangan begitu," kata saya. "Maksud saya, menjadi malaikat ketika masih hidup begini, itulah cita-cita saya."
"Kamu ini bagaimana. Kamu kan kasatmata dan malaikat tidak kasatmata. Kamu harus tidak kelihatan lebih dulu untuk bisa menjadi malaikat yang tidak kelihatan."
"Kalau begitu tidak ada manusia yang sanggup jadi malaikat, dong."
"Emang."
Keyakinannya dan ketegasannya ketika omong itulah yang semakin memikat saya untuk masuk ke dalam pelukannya.
***
TIBA-tiba Izrail lenyap lalu digantikan oleh sekuntum malaikat lain yang berbeda. Tubuh malaikat yang muncul tiba-tiba itu berubah- ubah bentuknya, menjadi mawar, lalu melati, kemudian kenanga, dan matahari, lalu berubah lagi menjadi bunga anggrek putih dengan sejumlah noktah berwarna violet, hijau, dan oranye. Kembang-kembang itu dalam ukuran lebih besar dari manusia. Kadang mekar besar sekali memenuhi angkasa.
Tak juga memberi tanda lewat gerakan badan atau tangan supaya saya begini atau begitu, malaikat itu bergulir lurus. Tak juga menoleh ke arah saya seperti tak kenal atau tak mau tahu, malaikat itu melaju di atas permukaan sehingga saya cukup terbirit-birit mengikutinya. Alam sekeliling tampak berkabut, hening, dan sejuk. Kabut itu cukup tebal, cukup menutupi jalan di depan sehingga keberadaan malaikat itu menjadi penentu arah jalan saya. Setiap ia bergerak ke depan, kabut itu menyibak. Menggumpal ke kiri-ke kanan menjadi dinding terowongan. Memanjang. Ia seperti menuntun saya, tetapi juga menakutkan saya. Kediamannya itulah yang menyebabkan rasa waswas itu. Bagaimana kalau ia tiba-tiba lenyap ditelan kabut.
Ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak berbatas, luas bagai cakrawala. Mengapa harus ditangisi. Jelas ini salah tafsir. Terhadap kematian, sungguh seharusnya tidak diucapkan: ikut berduka-cita sedalam-dalamnya. Yang diucapkan mestinya: ikut bersuka ria semeriah-meriahnya. Karena, ya itu tadi, kematian itu membahagiakan. Dalam kematian, bernapas lebih lega. Beban berat di hati terpunggah. Penderitaan hidup lenyap. Kematian telah memindahkan kesadaran ke alam lain. Kesedihan adalah penderitaan. Kematian bukan kesedihan. Bagi manusia, kematian adalah jantung hati. Pujaan. Pasangan kelahiran. Hasrat utama kehidupan.
Dunia tinggal kenangan di alam mimpi. Keluarga saya, keluarga yang ada di alam impian. Seluruh pahit-getir hidup yang saya alami ternyata berada di sebuah dunia yang tidak ada. Adam dan keturunannya adalah maya, ciptaan yang tidak ada, tak ada tempat yang begitu buruk seperti dunia bahkan ketika Tuhan setelah menciptanya, Tuhan melengos dari padanya. Saya selalu mengulang-ulang hikmah dari kiai saya.
***
SERANGAN jantung adalah transportasi yang paling kena untuk transformasi.
Setiap orang butuh kendaraan. Hanya kapan kendaraan itu ditumpangi, sungguh masalah waktu. Kendaraan hidup, kendaraan mati, hanyalah pemisahan soal jenis. Orang sehat dianggap sakit karena sepanjang hidupnya hanya soal kesehatan yang dipikirkannya. Orang sakit dianggap sehat karena orang itu tak peduli akan penyakit. Menganggap kesehatan suatu persoalan maupun bukan, memang penting, sepanjang orang menganggapnya penting atau tak penting. Sehat sama saja dengan sakit. Sakit sama saja dengan sehat. Lebih baik orang kadang-kadang sehat, kadang-kadang sakit, baru di sini orang tahu persoalan dunia, apa memang begitu? Saya mati karena penyakit yang tidak saya dan dokter ketahui. Mengapa bisa demikian, di dunia ini segalanya bisa lolos.
Alangkah berjasanya penyakit yang telah menolong saya melakukan perjalanan ke alam yang jauh lebih baik dari alam sebelumnya, apa memang begitu? Alam roh, alam rahim, alam dunia, alam kubur, alam akhirat, adalah lima alam yang sering diulang-ulang disebutkan oleh khotbah banyak kiai di dalam pengajian yang wajib ditempuh oleh manusia dalam perjalanan hidupnya. Jika demikian, saat ini saya sedang menempuh alam kubur. Ketika saya menghadapi kenyataan di alam kubur ini, saya mendapati realitas yang berbeda, bahkan bertentangan dari tafsir yang dikhotbahkan para kiai.
Akan tetapi, masalahnya adalah "pengalaman" dibanding "berita", tentu seperti malam dengan siang perbedaannya. Yang satu sudah mengalami alam kubur, sedang yang lain baru dalam taraf teori, tentu seperti bumi dengan langit perbedaannya. Apa memang begitu?
Seperti dalam hal berpakaian, misalnya. Setiap orang berpakaian, kan. Kapan pakaian itu dilepas, hanya soal waktu. Berfungsi sebagai pakaian, tubuh memiliki ukuran yang pas hanya untuk masing-masingnya. Tak bisa tubuh yang satu, dipakai oleh orang lain. Begitu juga sebaliknya. Jika terjadi yang demikian, muncul distorsi. Seperti kerasukan. Orang yang kerasukan tak mampu lagi memegang dirinya sendiri. Tak mampu mengenali pakaiannya lagi. Ke mana-mana, kita memakai pakaian itu sehingga menjadi identitas. Tak tahunya malah menjadi beban. Selama hidup kita hanya disibukkan oleh pakaian itu. Mengapa orang mau berpikir keras perkara pakaian, mengapa orang mau berpikir tidak keras perkara pakaian, tinggal menentukan pilihan, padahal tidak ada yang menyuruh untuk melakukan pilihan. Pakaian adalah kekeliruan, tak tahu-menahu, gelap tanpa pegangan, bebas dari pengertian mode dan body-building, yang elok, yang semampai, yang gembrot, bahkan Napoleon Bonaparte bertubuh pendek.
Orang senang karena punya penampilan. Sempat disiarkan televisi, tukang sapu jalanan memakai seragam yang apik, potongan maupun warnanya. Jika tidak suka berpenampilan, dianggap tak punya selera, padahal orang punya penampilan yang berbeda-beda, tergantung kebutuhan dan rasa kesadaran. Pakaian memang didudukkan paling depan, lebih dari jati diri, karena kesalahan sejak dari awal, penilaian bermula dari sini. Saya cukup peduli soal pakaian, siap dengan makanan suplemen dan banyak vitamin, tetapi saya mati karena pakaian saya memberontak terhadap saya.
Dalam beribadah, kita telanjang, begitu khotbah Kiai Muhammad Nurullah, dari sebuah kelompok pengajian, saya ikut sebagai jamaahnya. Pakaian tak ada gunanya. Tak ada rahasia yang bisa disembunyikan. Sering dalam beribadah, kita mematut-matut diri seolah kita masih berpakaian. Banyak yang berharap bisa mati ketika sedang beribadah-sesuci-sucinya keadaan jiwa-sehingga siapa pun tak perlu pakaian lagi. Tetapi, siapa yang cukup kuat dengan mengesampingkan pakaian? Ah, pakaian, saya berharap, saya hanyalah manusia.
Lorong kabut itu bertambah panjang. Malaikat yang membimbing saya masih tetap berada di depan saya. Karena saya takut sekali kalau dibawa ke neraka, saya menyapanya. Tapi ia tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan mengubah-ubah bentuk tubuhnya: dari sekuntum mawar ke sekuntum anggrek ke sekuntum melati ke sekuntum teratai. Aduh, indah sekali. Dengan jawaban itu, saya jadi ge-er: Saya tak bakal dibawa ke neraka. Saya tahu, saya banyak dosa, tapi siapa mau dicemplungkan ke neraka?
***
KABUT rasanya makin tebal. Saya dan malaikat itu berenang dalam kabut. Terdengar suara musik yang lamat-lamat. Suara suling terdengar mengalun jauh. Disusul gesekan biola yang serempak bagai kaki-kaki yang diciumi busa laut di tepi pantai. Saya ingat waktu main kejar- kejaran di pantai Karang Bolong bersama istri dan anak-anak sambil menatap Gunung Krakatau yang terus-menerus mengepulkan asap hitam bagai seorang yang berendam sambil mengepulkan asap rokok.
Tiba-tiba dari gumpalan kabut di depan muncul istri saya dengan anak-anak. Begitu melihat saya, keempatnya berlari ke arah saya.
"Ayah! Ayah!" teriak anak-anak menghambur ke dada saya.
Kami berlima berpelukan erat. Sesaat. Mendadak saya sadar. Mereka saya lepaskan perlahan. Mereka saya tatap satu persatu. Kenapa istri dan anak-anak menyusul saya secara bersamaan, kalau bukan oleh kekuatan yang sanggup memberangkatkan mereka sekaligus?
Tangerang, 12 Oktober 2000
Tentang Danarto:
Adalah penulis dan perupa. Sehari-hari menulis dan melukis. Lahir di Sragen dari Siti Aminah, seorang pedagang eceran di pasar kabupaten, dengan Djakio Hardjosoewarno, seorang buruh pabrik gula Modjo, Danarto adalah anak keempat dari lima bersaudara. Selama kuliah di ASRI Yogyakarta, dia aktif dalam Sanggar Bambu pimpinan pelukis Sunarto Pr, dan ikut mendirikan Sanggar Bambu Jakarta. Tahun 1979-1985 bekerja di majalah Zaman, tahun 1976 mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Danarto mencuat dalam jagat sastra Indonesia berkat kumpulan cerpennya, Godlob (1975) dan Adam Mak’rifat (1982). Budayawan yang dikenal peduli sesama, berpikiran terbuka, dan menjadi guru yang gemar berbagi ilmu ini berpulang akibat kecelakaan, Selasa (10/4/2018), sekitar pukul 13.30 di Jalan Ir H Juanda, Jakarta Selatan. Danarto dilarikan ke RS Fatmawati karena mengalami luka berat di bagian kepala. Setelah bertahan beberapa jam, ia mengembuskan napas terakhir pukul 20.54.