Saksi Ahli dari PPATK Jelaskan soal Pencucian Uang
Oleh
DD09
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Ahli dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK bersaksi dalam sidang lanjutan kasus First Travel. Dalam keterangannya, penghimpunan uang dalam rekening atas nama perusahaan untuk kepentingan di luar bisnis tergolong dalam tindak pidana pencucian uang.
Jaksa penuntut umum menghadirkan Ketua Kelompok Advokat Divisi Hukum PPATK Muhammad Novian pada sidang lanjutan kasus First Travel yang digelar di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Rabu (11/4/2018).
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sobandi serta didampingi Teguh Arifiano dan Yulinda Trimurti Asih sebagai hakim anggota.
Awalnya, salah satu anggota jaksa penuntut umum, L Tambunan, membahas terkait Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dalam dakwaan, pasal itu dikenakan kepada ketiga terdakwa yang terdiri dari Direktur Utama PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel) Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari Hasibuan serta Direktur Keuangan First Travel Siti Nuraida Hasibuan atau Kiki Hasibuan.
Dalam keterangan Novian, pasal itu dapat dikenakan kepada pribadi atau korporasi sebagai subyek hukum. Hal lain yang digarisbawahi dalam pasal ini ialah ada tujuan menyembunyikan atau menyamarkan uang hasil tindak pidana dalam bentuk penempatan, transfer, dan dibelikan aset tertentu.
Tambunan bertanya kepada Novian, ”Apakah ada batasan-batasan Pasal 3 tentang pencucian uang?”
”Pencucian uang itu dilihat dari sumber harta kekayaan yang disembunyikan atau disamarkan. Jika sumber harta kekayaan berasal dari tindak pidana seperti korupsi dan penipuan, hal itu tergolong dalam pencucian uang,” jawab Novian.
Tambunan bertanya, ”Apakah dalam penanganan TPPU, tindak pidana asal harus terbukti terlebih dahulu?”
”Tidak perlu. TPPU merupakan tindak kriminal yang berdiri sendiri,” ujar Novian.
Dalam sidang, Novian memaparkan tiga pola pencucian uang yang terjadi secara nasional ataupun internasional, yaitu penempatan (placement), pelapisan (layering), dan integrasi. Penempatan berarti pelaku menempatkan harta hasil tindak pidananya pada industri jasa keuangan, seperti perbankan.
Sementara pelapisan berupa transaksi kompleks untuk menyembunyikan asal-usul harta hasil tindak pidana. Adapun pola integrasi berupa pelaku mendirikan perusahaan, lalu membelanjakan harta hasil tindak pidananya untuk membeli aset lain atau hal-hal yang berorientasi pada kepentingan pribadi.
Tambunan melanjutkan dengan memberikan ilustrasi, ”Misalnya, ada dana-dana tertentu dari tindak pidana ditampung dalam rekening atas nama perusahaan. Pelaku mengalihkan uang dalam rekening perusahaan itu ke rekening pribadinya dan orang lain. Apakah tindakan ini termasuk dalam Pasal 3 UU No 8/2010 tentang TPPU?”
”Ya. Pelaku membuka rekening atas nama perusahaan agar perbankan tidak mencurigai aliran dana di dalamnya dan menganggapnya sebagai kepentingan bisnis,” ujar Novian.
Tambunan menanggapi, ”Apakah transfer dari rekening penampungan itu ke rekening pribadi juga termasuk dalam Pasal 3?”
”Ya, itu justru memperkuat motif pencucian uang,” ucap Novian.
Tambunan bertanya, ”Jika uang dalam rekening penampungan itu dibelanjakan sesuatu?”
”Hal itu semakin memperkuat usaha pelaku dalam menyembunyikan sumber uang,” kata Novian.
UU No 8/2010 tentang TPPU juga memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana dalam sidang dengan alat bukti yang bersifat material. Novian menuturkan, hal ini tercantum dalam Pasal 77 dan 78.
Dalam fakta persidangan sebelumnya, terungkap ada 24 rekening Bank Mandiri atas nama PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel). Satu-satunya yang memiliki kuasa atas 24 rekening itu adalah terdakwa Andika.
Sumber dana itu berasal dari calon jemaah yang mentransfer kepada First Travel untuk berangkat umrah. Akan tetapi, setiap hari ada pemindahan uang dari rekening First Travel ke rekening pribadi terdakwa Andika.
Selain itu, sekitar Rp 20 miliar ditransfer dari rekening First Travel kepada Usya Soemiarti Soeharjono, kerabat terdakwa yang tinggal di London, Inggris. Salah satu tujuan transfer itu ialah untuk membeli restoran di London yang kemudian dikelola Usya hingga saat ini.
Status harta
Dalam sidang, Novian juga memaparkan kedudukan atau status harta dalam kasus TPPU. Jika tindak pidananya berupa penipuan atau penggelapan uang, harta yang diperkarakan itu wajib dikembalikan kepada yang berhak.
Hakim Sobandi bertanya, ”Siapa yang berhak?”
”Orang yang melaporkan diri sebagai pihak yang telah ditipu dan memiliki data penunjang yang lengkap,” ujarnya.
Sobandi melanjutkan, ”Apabila uang hasil tindak pidana itu saat ini sudah berlipat ganda besarnya atau menjadi aset yang berkembang, bagaimana statusnya?”
”Keduanya disita, termasuk keuntungan, lalu dikembalikan kepada yang berhak. Tidak mungkin keuntungan itu ada tanpa harta hasil tindak pidana yang menjadi asalnya,” jawab Novian.
Selain didakwa dengan Pasal 3 UU No 8/2010 tentang TPPU, tiga unsur pimpinan First Travel itu juga didakwa dengan Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan. Ketiganya telah merugikan 63.310 calon jemaah yang tidak jadi berangkat umrah dengan kerugian nominal sebesar Rp 905,333 miliar.