JAKARTA, KOMPAS — Demensia atau pikun sering disamakan dengan pelupa. Namun ternyata, demensia berbeda karena tidak sekadar penurunan daya ingat, tetapi juga dapat memengaruhi perilaku penderitanya. Olahraga dan stimulasi mental dapat mengurangi risiko demensia ketika lanjut usia.
Dokter spesialis saraf dari Rumah Sakit Pondok Indah, Gea Pandhita, menjelaskan, demensia atau pikun merupakan suatu sindrom penurunan fungsi kognitif pada otak yang biasanya rentan dialami orang berusia 55 tahun hingga 60 tahun.
”Demensia tidak sama dengan pelupa karena selain daya ingat menurun, perilakunya juga menjadi berubah,” ucapnya dalam seminar ”Mengenal Demensia Lebih Dalam” di Jakarta, (12/4/2018).
Gea memberikan contoh, orang yang pelupa bisa saja tidak ingat di mana ia meletakkan barang pribadinya. ”Kalau penderita demensia tidak hanya lupa, tetapi kerap menaruh barang pribadinya di tempat yang tidak lazim, seperti menaruh dompet di dalam kulkas. Perilakunya sudah berbeda,” ujarnya.
Gea menuturkan, fungsi kognitif pada otak terdiri dari perhatian, daya ingat, orientasi visuospasial, bahasa, dan pemahaman fungsi eksekutif.
”Orientasi visuospasial ini menurun bagi penderita demensia. Contohnya, ketika mereka keluar rumah, terkadang mereka lupa alamat pulang sehingga tersasar,” katanya.
Penderita demensia juga mengalami penurunan memori jangka pendek dan panjang. Penderita demensia juga sadar dirinya mengidap penyakit ini. ”Hal ini berbahaya bagi mereka karena jika mereka sadar, akan memicu depresi,” ucapnya.
Secara garis besar, ada dua golongan demensia, yaitu yang disebabkan gangguan alzheimer dan karena gangguan sistem saraf yang terhambat (vascular dementia).
”Vascular dementia biasanya karena stroke atau diabetes sehingga kemampuan kognitifnya bisa terganggu. Namun, kasus yang paling banyak adalah demensia alzheimer,” ujarnya.
Fungsi kognitif otak manusia
Menurut Gea, hingga saat ini belum ada obat yang mampu menyembuhkan penyakit demensia. Namun, penyakit ini bisa dicegah dengan deteksi dini pada prademensia. ”Oleh sebab itu, kita harus sadar akan gejala awalnya,” ucapnya.
Gejala awalnya dapat terlihat ketika kita mulai kesulitan dalam membuat percakapan atau kerap mengulangi percakapan yang sama kepada seseorang. Kemudian, ketidakmampuan seseorang dalam menelusuri ingatan masa lalu menjadi salah satu gejala awal demensia.
Pentingnya pendampingan
Dihubungi terpisah, Ketua Kelompok Studi Neurogeriatri Asosiasi Ahli Neurologi Indonesia yang juga merupakan dokter spesialis saraf, Yuda Turana, mengatakan, penderita demensia biasanya dirawat oleh keluarga terdekat, seperti pasangan hidup ataupun anaknya.
”Berdasarkan data internasional, para perawat memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibanding dengan penderita demensianya,” katanya.
Perawat bahkan memiliki usia harapan hidup yang lebih pendek dibandingkan penderita demensia. ”Khususnya jika penderitanya tidak hanya mengalami gangguan perilaku, melainkan sudah mengalami gangguan emosional,” lanjutnya.
Fungsi kognitif otak manusia untuk merawat penderita demensia, ujar Yuda, komunikasi menjadi hal yang paling penting. ”Perawat harus bisa sabar dan menghindari perdebatan dengan penderita demensia. Jangan sampai ada kalimat yang keluar dan seakan-akan merendahkan penderitanya,” lanjutnya.
Menurut Yuda, olahraga yang menyenangkan juga dapat mencegah demensia. Olahraga mampu membentuk zat protein brain derived neurotrophic factor yang mampu memelihara pertumbuhan neuron di otak.
Gea menjelaskan, kegiatan stimulasi mental juga menjadi salah satu metode untuk menurunkan risiko kehilangan memori. Stimulasi ini bisa dilakukan dengan banyak membaca, bermain puzzle, teka-teki silang, hingga diskusi kelompok. Hal ini bisa meningkatkan tingkat kognitif seseorang.
”Seseorang dengan kognisi pasif di usia tua memiliki kemungkinan 2,6 kali terkena demensia dibandingkan dengan seseorang dengan kognisi aktif,” ucapnya.