JAKARTA, KOMPAS--Metode digital subtraction angiography atau DSA untuk terapi yang telah dilakukan dokter spesialis radiologi Terawan Agus Putranto akan dikaji kesahihannya oleh Kementerian Kesehatan.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) telah menunda sanksi yang diberikan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) kepada dokter Terawan atas pelanggaran etik berat yang dilakukannya.
Menyikapi kondisi itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Akmal Taher menilai, “Karena ini adalah masalah extraordinary (luar biasa), maka yang bisa dilakukan Kemenkes adalah membentuk tim untuk melakukan uji klinik atas metode DSA,” ujarnya, Kamis (12/4/2018).
Sebagaimana diberitakan Kompas, DSA ialah pemeriksaan yang memberi gambar lumen atau permukaan bagian dalam pembuluh darah, termasuk arteri, vena, dan serambi jantung. Selama ini DSA jadi alat diagnosis stroke. Namun, DSA sebagai metode terapi dinilai bertentangan dengan tata laksana stroke karena belum teruji klinis dan bisa membahayakan keselamatan jiwa pasien.
Menurut Akmal Taher, proses uji metode DSA bisa dilakukan dengan membentuk tim khusus, bukan melalui tim dari Pengkajian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment/HTA) Kemenkes. Jadi HTA dibentuk untuk menilai obat, peralatan, dan metode kesehatan yang sudah teruji dan terbukti manfaatnya serta pembiayaannya untuk dimasukkan dalam layanan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Sementara metode DSA belum teruji.
Akmal menilai proses uji klinik relatif mudah dilakukan. Semua proses uji klinis bisa dijalankan dengan mengacu pada standar baku riset yang ada ataupun standar Kemenkes.
Proses uji dilakukan dengan membandingkan metode DSA dengan metode standar terapi stroke yang sudah berjalan selama ini. Selama proses uji, kondisi responden akan diukur sehingga manfaat metode tersebut tak bisa hanya didasarkan pada kesaksian orang-orang yang sudah mendapat manfaat.
"Uji klinik itu bisa dilakukan dengan melibatkan Terawan secara langsung sebagai yang menggagas penggunaan metode," ujarnya.
Uji klinik itu bisa dilakukan dengan melibatkan Terawan secara langsung sebagai yang menggagas penggunaan metode
Jika hasil uji menilai metode DSA aman dan bermanfaat, efek sampingnya minimal dan biayanya lebih ekonomis dibandingkan metode yang ada, maka metode itu bisa dijadikan standar layanan. “Meski metode tersebut sudah melalui hasil disertasi, hal itu tak cukup untuk bisa dijadikan standar pelayanan,” kata Akmal.
Uji klinik
Selama ini, setiap obat, metode atau peralatan untuk pelayanan kesehatan bisa dijadikan layanan jika sudah teruji. Uji itu bisa dilakukan melalui berbagai tahapan, mulai menggunakan hewan (uji praklinik), uji klinik pada manusia dengan kelompok terbatas untuk mengetahui keamanan metode atau obat, hingga uji klinik pada manusia dalam skala luas untuk melihat manfaat dan efek samping metode tersebut.
Rabu (11/4/2018), Komisi IX DPR mendengarkan keterangan dari Konsil Kedokteran Indonesia, PB IDI, dan Kemenkes. Hasil pertemuan itu merekomendasikan pembentukan satuan tugas untuk menuntaskan soal itu. Satgas terdiri dari IDI, KKI, dan Kemenkes.
Ketua Bidang Keorganisasian dan Sitem Informasi Kelembagaan PB IDI Mahesa Pranadipa menjelaskan, PB IDI menanti undangan dari Kemenkes untuk mulai membahas ini. Sebab, Kemenkes memimpin satgas tersebut.
Ketua KKI Prof Bambang Supriyatno menegaskan, HTA akan menilai kesahihan metode DSA untuk terapeutik yang sudah diterapkan Terawan. HTA memiliki waktu sekitar sebulan untuk mengerjakan tugas ini.
Bambang menambahkan, publik perlu memahami bahwa seorang dokter bisa melakukan tiga jenis pelanggaran yakni pelanggaran etik ditangani MKEK di IDI. Adapun pelanggaran disiplin ditangani Majelis Kehormatan Dokter Indonesia (MKDKI) di KKI, sedangkan pelanggaran hukum ditangani penegak hukum.
Ketua Komite Pengkajian Teknologi Kesehatan atau HTA Prof Sudigdo Sastroasmoro, mengatakan, pihaknya belum menerima permintaan dari Kemenkes untuk mengkaji metode DSA sebagai terapi yang diterapkan Terawan.
"Sudah ada kesepakatan. Kementerian Kesehatan menunggu surat permintaan IDI dulu. Kemudian, Menteri Kesehatan akan menerbitkan surat tugas. Mungkin ke Komite HTA, mungkin juga ke tim lain. Karena itu, saya belum bisa berkomentar lebih jauh," ujarnya.