JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto terisak ketika membacakan pembelaan dalam sidang pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam pembelaannya, Novanto merasa keberatan dengan tuntutan hukuman yang diajukan kepadanya.
Sebelumnya, pada Pengadilan Tipikor Jakarta, 29 Maret, Novanto dituntut dengan pidana penjara selama 16 tahun. Ia juga diminta membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa juga minta majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti 7,435 juta dollar AS dan mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah menjalani masa pidana.
Novanto terisak saat menyampaikan riwayat hidupnya yang mengalami masa-masa sulit.
Setelah lulus SMA, saya lanjut ke Surabaya untuk bertahan hidup. Saya bekerja sebagai model, sales penjualan mobil, dan kepala penjualan mobil. Kemudian, saya pindah ke Jakarta dan pernah menggantungkan hidup, rela menjadi pembantu dan sopir supaya bisa melanjutkan kuliah.
”Setelah lulus SMA, saya lanjut ke Surabaya untuk bertahan hidup. Saya bekerja sebagai model, sales penjualan mobil, dan kepala penjualan mobil. Kemudian, saya pindah ke Jakarta dan pernah menggantungkan hidup, rela menjadi pembantu dan sopir supaya bisa melanjutkan kuliah,” ujarnya, Jumat (13/4/2018).
Novanto juga mengatakan telah bersikap kooperatif selama persidangan. Namun, permohonan justice collaborator yang diajukan Novanto ditolak oleh KPK.
”Saya menyadari betul di luar sana banyak cacian kepada saya dan keluarga, khususnya setelah pemeriksaan saya sebagai terdakwa,” ucapnya.
Kemudian, Novanto kembali terisak ketika menyampaikan permohonan maaf dan kerinduannya terhadap istri dan ketiga anak-anaknya, Reza Herwindo, Dwina, dan Gabi Putranto.
Novanto juga merasa keberatan dengan tuntutan hukuman yang diajukan jaksa penuntut umum terkait lamanya hukuman penjara, besaran denda, serta pencabutan hak politiknya.