JAKARTA, KOMPAS — Pembelaan yang disampaikan kuasa hukum dan terdakwa korupsi KTP elektronik, Setya Novanto, ditolak jaksa penuntut umum. Novanto dan kuasa hukumnya merasa keberatan dengan masa hukuman pidana, denda, serta penggunaan bukti percakapan antara Johannes Marliem dan Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI).
Novanto menjelaskan, kesepakatan fee untuk DPR telah direncanakan sebelum pertemuannya dengan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, di Hotel Grand Melia, Kuningan. Irman dan Sugiharto merupakan terdakwa kasus korupsi KTP-el yang telah divonis masing-masing 7 tahun dan 5 tahun penjara.
”Irman dan Andi Agustinus (Andi Narogong) telah membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan Ketua Komisi II DPR, almarhum Burhanuddin Napitupulu, pada pokoknya menjadi pihak yang akan memberikan fee kepada anggota DPR untuk memperlancar persetujuan anggaran KTP-el,” katanya dalam sidang pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (13/4/2018).
Setelah kesepakatan tersebut, Novanto mengaku mendatangi pertemuan di Hotel Grand Melia bersama dengan Andi, Irman, dan Johannes. ”Di sinilah ketidakhati-hatian saya. Saya tidak menolak untuk diundang dalam pertemuan tersebut. Saya juga merasa dijebak karena secara diam-diam Johannes merekam percakapan saya ketika itu,” ujarnya.
Pada pembelaan kali ini, Novanto mengaku, ia yang ketika itu menjabat sebagai Ketua DPR tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi anggaran KTP-el karena kesepakatan anggarannya dilakukan oleh Irman, Andi, dan Burhanuddin.
Kemudian, Novanto merasa keberatan dengan masa hukuman penjara yang diajukan jaksa penuntut umum. Di Pengadilan Tipikor Jakarta, 29 Maret, Novanto dituntut dengan pidana penjara selama 16 tahun. Ia juga diminta membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa juga minta majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti 7,435 juta dollar AS dan mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah menjalani masa pidana.
Menurut Novanto, ia merasa hukumannya paling berat dibandingkan dengan para terdakwa kasus korupsi KTP-el lainnya. Padahal, Novanto merasa, selama persidangan tidak ada bukti yang menunjukan bahwa ia menerima aliran uang 7,435 dollar AS dari Made Oka Masagung dan Irvanto Hendra Pambudi.
”Kalaupun saya harus membayar denda tersebut muncul pertanyaan, apakah ada saksi yang bilang saya terima dana KTP-el atau menyaksikan saya menerima dana tersebut?” ujar Novanto.
Novanto juga merasa keberatan dengan denda yang ditetapkan, serta pencabutan hak politiknya. Tim kuasa hukum Novanto juga merasa, jaksa penuntut umum tidak relevan jika menggunakan rekaman percakapan antara Johannes Marliem dan FBI sebagai bukti dalam persidangan.
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Hariawan Agus Triartono, menjelaskan bahwa jaksa menolak pembelaan Novanto dan tetap pada tuntutan awal. Selain itu, Agus menjelaskan mengenai bukti dari FBI telah sesuai dengan proses hukum atas perintah Pengadilan Distrik California, Los Angeles, Amerika Serikat.
”Bukti yang diperoleh dari FBI telah kami sampaikan di hadapan hakim dan ditunjukkan di persidangan. Semua bukti yang diperoleh KPK merupakan kerja sama internasional dari biro investigasi Amerika,” ujarnya.
Dalam sidang pleidoi kali ini, Novanto juga sempat terisak ketika menyampaikan riwayat hidup serta permintaan maaf kepada keluarganya. Ia juga membacakan puisi di hadapan ketua majelis hakim Yanto.