Geliat Konservasi Penyu di Sumatera Barat
Puluhan orang berdiri membentuk satu baris memanjang menghadap laut di tepi Pantai Pasir Jambak, Pasir Nan Tigo, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (14/4/2018) sekitar pukul 07.00. Di tangan masing-masing, mereka memegang seekor anak penyu atau tukik.
”Ayo, jangan terlalu lama. Bagi yang sudah dapat tukik langsung dilepas. Biar mereka segera menuju dunia baru,” kata Pati Hariyose (46), pengelola Pasir Jambak Turtle Camp, memberi aba-aba dengan pengeras suara.
Mendengar itu, mereka yang memegang tukik langsung membungkuk atau berjongkok. Dalam hitungan detik, puluhan tukik bertebaran terlihat di pantai. Diiringi teriak penyemangat dari orang-orang yang melepasnya, tukik-tukik itu bergerak pelan melewati pasir lembut menuju laut.
Mereka yang mendapati tukiknya bergeming coba mendorongnya dengan jari agar bergerak. ”Kalau sudah dilepas, tidak boleh dipegang lagi ya. Biarkan saja tukik itu berjuang menuju laut. Kita doakan saja ya 30 tahun lagi mereka kembali ke Pasir Jambak dan bertelur di sini,” kata Hariyose.
Mendengar itu mereka tidak lagi menyentuh tukik tersebut, tetapi tidak ada yang beranjak pergi. Mereka tetap berdiri atau duduk sambil menyaksikan tukik itu. Beberapa orang bahkan mengabadikan pergerakan tukik itu dengan kamera telepon seluler masing-masing.
Kalau sudah dilepas, tidak boleh dipegang lagi ya. Biarkan saja tukik itu berjuang menuju laut. Kita doakan saja ya 30 tahun lagi mereka kembali ke Pasir Jambak dan bertelur di sini.
Pagi itu, Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Padang menggelar kegiatan dalam rangka Bulan Bakti Karantina dan Mutu Hasil Perikanan di kawasan Pasir Jambak Turtle Camp. Selain bersih-bersih pantai, mereka juga melepasliarkan 100 lebih tukik jenis lekang dan sisik.
”Pelepasan tukik ini sebagai bentuk kepedulian kami terhadap konservasi dan keberlanjutan sumber daya ikan. Sejalan dengan itu, untuk menjaga keamanan biota laut tersebut perlu dilakukan pembersihan pantai, terutama dari sampah plastik. Sampah plastik sangat mengancam biota laut apalagi butuh ratusan tahun untuk terurai,” kata Kepala Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Laut Kelas I Padang Rudi Barmara.
Menurut Hariyose, yang sudah lima tahun mengelola Pasir Jambak Turtle Camp, sebuah pusat penangkaran penyu mandiri, yang terpenting bukan seberapa banyak penyu yang dilepas, tetapi pemahaman setiap orang untuk melindungi penyu. ”Termasuk seberapa besar kontribusi dan ketulusan kita melindungi penyu,” kata Hariyose.
Hariyose mengatakan, berdasarkan pengalamannya, dalam dua tahun terakhir, kegiatan-kegiatan yang melibatkan berbagai pihak dalam rangka konservasi penyu mengalami peningkatan.
Di Pasir Jambak, misalnya, hampir setiap minggu ada pelepasan penyu. Kegiatan itu bisa melibatkan semua umur, mulai dari pelajar taman kanak-kanak, sekolah menengah, instansi pemerintah, hingga karyawan swasta.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Yosmeri menambahkan, tidak hanya di Pasir Jambak, geliat konservasi penyu juga terjadi di daerah lain, seperti Amping Parak, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, sekitar 140 kilometer arah selatan Kota Padang.
”Konservasi penyu di sana didukung oleh salah satu perusahaan badan usaha milik negara. Kegiatannya semakin eksis karena konservasi penyu juga menumbuhkan sumber ekonomi baru masyarakat, yakni sebagai obyek wisata,” katanya.
Menurut Yosmeri, konservasi penyu memang terus didorong di Sumbar beberapa tahun terakhir. Semua pihak dirangkul, termasuk pengelola hotel seperti di kawasan Pantai Padang.
”Di sana, salah satu hotel sekarang memiliki konservasi penyu yang dikelola sendiri. Ide awalnya muncul setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menemukan masyarakat pencari telur penyu di belakang hotel itu. Mereka setuju membuat area konservasi dan petugasnya kami latih di Pasir Jambak Turtle Camp ini,” kata Yosmeri.
Saat ini, kata Yosmeri, kawasan konservasi penyu di belakang hotel itu sudah mulai. Satu minggu yang lalu, mereka juga mulai menanam 60 butir telur penyu di sarang pertama.
”Mengingat kewenangan sekarang ada di provinsi, jadi kami bisa mendorong semakin banyak area konservasi, terutama di kawasan pesisir Sumbar. Sekarang, kami juga tengah melakukan penelitian untuk membuka area konservasi di Agam dan Pasaman Barat, termasuk di Mentawai yang di sana ditemukan penyu belimbing yang sangat langka,” kata Yosmeri.
Tingkat nasional
Di tingkat nasional, Sumbar juga masuk sebagai satu wilayah dalam Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu tahun 2016-2020. Sebanyak empat wilayah, yakni Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kabupaten Pesisir Selatan, akan menjadi wilayah prioritas untuk mewujudkan sejumlah target rencana aksi tersebut.
Peneliti Pulau-pulau Kecil sekaligus Ketua Pusat Data dan Informasi Penyu Indonesia Universitas Bung Hatta Harfiandri Damanhuri, beberapa waktu lalu, mengatakan, Rencana Aksi Nasional (RAN) tersebut disusun pada akhir 2015 oleh Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Setelah melalui sejumlah tahap penyempurnaan, pada 2016, RAN tersebut dicetak dalam bentuk buku kemudian dibagikan ke dinas kelautan dan perikanan di seluruh Indonesia.
”Penyu termasuk satu dari 11 prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk dilindungi. Selain itu, ada pari manta, hiu, ikan napoleon, lola, kuda laut, teripang, sidang, kima, bambu laut, dan paus,” kata Harfiandri.
Menurut Harfiandri, Sumatera Barat menjadi salah satu daerah dalam RAN Konservasi Penyu di wilayah barat. Selain Sumbar, ada juga wilayah lain yang juga masuk untuk wilayah barat, seperti Nias, Sumatera Utara; dan Kepulauan Riau.
”Di Sumbar akan ada empat wilayah yang didorong sebagai wilayah prioritas konservasi penyu, yakni Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan. Keempat wilayah itu dipilih karena menjadi tempat berkembangnya penyu dan telah jauh-jauh hari sudah merintis konservasi penyu,” kata Harfiandri.
Harfiandri menambahkan, wilayah-wilayah yang dijadikan prioritas konservasi akan didorong untuk mewujudkan sejumlah target nasional. Target tersebut yakni menyelamatkan habitat peneluran penyu, terwujudnya penurunan kematian penyu, terwujudnya peran aktif masyarakat dalam perlindungan penyu di sekitar lokasi peneluran, dan terbangunnya kemitraan strategis dengan pemangku kepentingan dalam konservasi penyu.
”Selain itu, targetnya adalah terwujudnya implementasi ekowisata penyu berbasis masyarakat dengan prinsip konservasi dan membuat sistem database informasi secara nasional,” kata Harfiandri.
Harfiandri menambahkan, dengan masuknya Sumbar sebagai salah satu bagian dari RAN Konservasi Penyu, maka akan berdampak positif pada keberlanjutan lingkungan. Hal itu mengingat penyu sebagai salah satu bagian dari indikator lingkungan. Sementara itu, keseriusan Indonesia dalam konservasi penyu merupakan bentuk dukungan terhadap upaya serupa yang dilakukan sejumlah negara di dunia.
Berbagai tantangan
Konservasi penyu di Sumbar bukan tanpa tantangan. Menurut Hariyose, di Pasir Jambak yang tengah dia upayakan menjadi destinasi wisata dengan konsep edu ekowisata, perburuan telur penyu masih terjadi.
”Pada saat yang sama, penyu juga masih menjadi hama atau musuh bagi nelayan saat melaut misalnya karena merusak jaring. Mereka tidak tahu fungsi penyu bagi keseimbangan ekosistem laut,” kata Hariyose.
Perburuan telur penyu masih terjadi karena masih adanya penjualan telur penyu di Sumbar. Penjualan itu tidak lagi terbuka seperti yang beberapa tahun lalu ditemukan di kawasan pantai Padang, tetapi sudah tertutup. Menurut Yosmeri, itu menjadi tantangan. Pemerintah provinsi bersama pihak-pihak terkait saat ini memiliki tim khusus yang melakukan pengawasan terkait hal itu.
Selain itu, di daerah seperti di Mentawai, penyu masih dikonsumsi warga. Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Mentawai Nurdin, menangkap dan mengonsumsi penyu telah menjadi tradisi di Mentawai. Keberhasilan menangkap penyu bahkan menjadi sebuah kebanggaan di sana.
Meski beberapa kali terjadi keracunan massal akibat penyu, menurut Nurdin, masih ada masyarakat Mentawai tetap memakan penyu. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi yang intens.
Dari data Pusat Data dan Informasi Penyu Indonsia Universitas Bung Hatta (UBH) Padang,tercatat sudah ada 37 orang meninggal akibat keracunan penyu sejak 2005. Dua kejadian terakhir, yakni pada Maret 2013, terjadi keracunan di Dusun Sao, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan, sekitar 66 kilometer Tua Pejat, ibu kota Kabupaten Mentawai. Saat itu, ratusan orang keracunan dan empat di antaranya meninggal.
Lalu pada Februari 2018, sebanyak 90 warga Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, keracunan diduga akibat mengonsumsi daging penyu. Tiga orang meninggal dan belasan orang harus dirawat secara intensif.
”Edukasi masyarakat di Mentawai memang terus kita lakukan. Beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur Nasrul Abit bahkan turun langsung ke sana. Edukasi ini tidak hanya tidak hanya terkait bahaya penyu bagi kesehatan, tetapi juga kegiatan menangkap penyu melanggar undang-undang,” kata Yosmeri.