Jejak Purba Relasi Tuan-Hamba
Sejak ribuan tahun silam, praktik perbedaan kelas sosial telah berkembang di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Bukti nyatanya terlihat dari adanya perbedaan sistem penguburan manusia di daerah itu.
Temuan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dua tahun terakhir di Lambanapu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, amat menarik. Dari hasil ekskavasi, ditemukan kubur manusia tanpa wadah dan dengan wadah berusia mencapai 2000an hingga 3500an tahun.
Saat penggalian dilakukan di pekarangan warga di pinggir Sungai Kambaniru, Lambanapu 2016 lalu, peneliti menemukan lima kerangka individu yang dikubur dalam posisi terlentang serta tujuh tempayan berisi tulang-belulang manusia. Kubur-kubur manusia itu tertimbun hanya pada kedalaman sekitar satu meter.
Dari tempat itu, tahun ini para peneliti mencoba menggali lagi sekitar 50 meter dari lokasi penggalian awal dan mereka kembali menemukan kompleks penguburan. Tempat penggalian yang baru berada di rumah Andreas Maramba, Ketua RT setempat. Di belakang rumah Andreas, setidaknya ditemukan 13 kerangka individu manusia dan satu kubur tempayan yang mirip dengan hasil penggalian sebelumnya.
Lalu, mengapa mesti ada dua macam sistem penguburan yang berbeda di satu lokasi itu? Menurut arkeolog senior Prof Harry Truman Simanjuntak, sistem penguburan yang berbeda-beda itu menunjukkan ada lapisan sosial yang sudah terbentuk pada lingkungan masyarakat masa itu.
“Jadi, yang dimakamkan dalam tempayan biasanya mereka yang tergolong tokoh terpandang dan yang dimakamkan tanpa tempayan adalah masyarakat biasa,” ujarnya, Rabu (11/4/2018), di sela kegiatan Rumah Peradaban yang diadakan Puslit Arkenas di Waingapu, Sumba Timur, NTT.
Jadi, yang dimakamkan dalam tempayan biasanya mereka yang tergolong tokoh terpandang dan yang dimakamkan tanpa tempayan adalah masyarakat biasa.
Selain sistem penguburan, perbedaan kelas sosial tampak pada bekal-bekal kubur yang disertakan pada jenazah-jenazah. Menurut Ketua Tim Peneliti Situs Lambanapu, Retno Handini, bekal kubur seperti manik-manik, kalung, giwang, gelang, dan beliung hanya ditemukan dalam kubur-kubur tempayan.
Hal paling menarik adalah, bekal kubur masih ditemukan dalam tradisi masyarakat Sumba saat ini, salah satunya kalung Lulu Amah yang biasa digunakan warga sebagai belis atau mas kawin. “Ditemukan pula perhiasan giwang perunggu yang tidak diproduksi di sini tapi dari Dongson, Vietnam, sekitar 500 Sebelum Masehi hingga awal Masehi. Rupanya zaman itu mereka sudah berinteraksi dengan orang-orang luar,” kata Truman.
Selain berupa perhiasan, pada zaman dahulu saat seorang petinggi meninggal dunia, sebagai bentuk kesetiaan, para hambanya yang masih hidup turut dikubur bersama tuannya. Namun, tradisi itu telah berubah. Bekal-bekal kubur kini diganti dengan korban sembelihan hewan atau benda-benda berharga.
Tradisi Perhambaan
Jika ditarik ke masa kini, muncul pertanyaan besar apa perbedaan sistem penguburan ribuan tahun lalu itu terkait erat praktik perhambaan yang masih berjalan di Sumba hingga kini? Para arkeolog belum bisa menemukan bukti riil yang pasti.
Namun, fakta bahwa perbedaan kelas sosial di Sumba sudah berjalan sejak 2000an tahun lalu terjawab dengan temuan kubur tempayan bersanding dengan kubur tanpa tempayan di Lambanapu. Adanya bekal-bekal kubur pada individu-individu yang dikubur dalam tempayan dengan individu-individu yang dikubur tanpa wadah menunjukkan, ada perbedaan kasta pada masa itu.
Kini praktik perhambaan di Sumba ibarat ada dan tiada. Ceritanya sulit diungkap, tetapi kenyataannya masih bisa dilihat.
Umbu Aman, warga Kampung Adat Praiyawang, Rindi, Sumba Timur, membenarkan, masih ada praktik perhambaan atau biasa disebut ata di daerahnya. Di Sumba Timur, para hamba biasanya tinggal di ladang. Mereka biasa memberi upeti berupa hasil panen pada tuannya dan siap sedia jika diundang datang ke rumah tuannya.
Kepemilikan hamba biasanya dilanjutkan turun-temurun kepada generasi penerusnya. Biasanya, hubungan tuan hamba baru terputus jika seorang hamba pergi merantau ke luar pulau dan tak kembali ke daerah asalnya.
“Para hamba biasanya turut menjaga jenazah tuannya untuk mengantar rohnya ke surga. Mereka disebut papanggang dengan baju khusus, tak boleh ke mana-mana, hanya duduk di dekat jenazah,” kata Retno Handini.
Masyarakat Sumba dari keluarga kasta bangsawan dikubur dengan prosesi khusus, antara lain ritual tarik batu besar atau reti. Proses penguburan ini berlangsung lama, melibatkan banyak orang, dan dana amat besar.
Seiring berjalannya waktu, tradisi pemakaman di Sumba berkembang, tak sekadar jadi penanda kelas sosial, tapi juga kekhasan budaya yang bisa dimanfaatkan warga untuk menarik minat wisatawan. Beberapa kawasan di Sumba mulai jadi destinasi wisata berbasis budaya, antara lain kampung adat Melolo dan Praiyawang, Rindi di Sumba Timur yang terkenal dengan kain tenun serta kubur megalitiknya.
Dengan terungkapnya fakta arkeologis di sejumlah situs di Sumba seperti di Lambanapu, diharapkan masyarakat kian memiliki narasi budaya lengkap tentang kisah peradaban mereka. “Situs Lambanapu menegaskan kebinekaan di Sumba berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Sumba berkontribusi pada kebinekaan nasional,” kata Kepala Puslit Arkenas, I Made Geria.
Hasil kajian arkeologis di Situs Lambanapu menunjukkan, leluhur Sumba berasal dari percampuran genetika tiga gelombang migrasi yang datang ke Indonesia di zaman prasejarah. penutur Austronesia datang dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu, lalu Austro-asiatik datang dari China selatan 4.000 tahun lalu, dan Australomelanesia datang lebih awal sekitar 12.000 tahun lalu dari Papua.