Mencintai dan Menikmati Sunda Kelapa
Menjelajahi Pelabuhan Sunda Kelapa, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, dengan ojek sepeda dari pelataran bangunan Museum Sejarah Jakarta, memberi pengalaman berbeda.
Sambil mengobrol dengan sang pengayuh sepeda yang sekaligus berfungsi sebagai pemandu wisata, kita disuguhi suasana Kota Tua Jakarta yang tak melulu berisi gedung kuno yang sudah dipugar apik.
Di sepanjang jalan dari pelataran Museum Sejarah Jakarta menuju Pelabuhan Sunda Kelapa, ada bangunan tua yang tak terurus. Sebagian bangunan lainnya bahkan menjadi tempat tumbuh tanaman.
Deretan kapal kayu dengan tiang-tiang layar langsung menyergap mata kita.
Meskipun berada di kawasan Kota Tua, tak semua jalan yang kita lalui hiruk-pikuk dengan kendaraan bermotor dan berebut trotoar dengan pedagang kaki lima.
Sesampai di Pelabuhan Sunda Kelapa, deretan kapal kayu dengan tiang-tiang layar langsung menyergap mata kita. Siang itu suasana pelabuhan relatif sepi, tak ada kegiatan bongkar muat.
Tak ada pula orang di pelabuhan yang bisa memberi informasi mengenai Pelabuhan Sunda Kelapa.
”Ini pelabuhan tertua di Jakarta dan sampai sekarang masih dipakai,” hanya itu penjelasan dari sang pengayuh sepeda. Semestinya, sebagai pelabuhan yang memiliki sejarah panjang, Sunda Kelapa bisa ’dijual’ agar lebih menarik sebagai salah satu obyek wisata Jakarta.
Harian Kompas yang terbit tanggal 13 April 1974 atau 44 tahun lalu, misalnya, menulis sebagian sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa. Dalam berita itu disebutkan tentang perubahan nama tempat ini, dari Pelabuhan Pasar Ikan menjadi Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ini cuplikan beritanya: ”Wakil Gubernur DKI Jakarta Ir Prayogo meresmikan perubahan nama Pelabuhan ’Pasar Ikan’ menjadi Pelabuhan ’Sunda Kelapa’. Disebutkan bahwa nama Sunda Kelapa bukan nama baru, tetapi sudah digunakan pada abad ke-12 sampai abad ke-16. Tahun 1572 Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Lalu berganti menjadi Batavia setelah peristiwa bumi hangus kota yang dilakukan Gubernur Jenderal JP Coen pada 30 Mei 1619.
Rencananya, di Pelabuhan Sunda Kelapa dibangun dermaga untuk menampung kelebihan kapasitas di Pelabuhan Tanjungpriok. Meskipun demikian, perahu-perahu tradisional tetap dipertahankan. Fungsi Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi semakin luas, sebagai pelabuhan lokal, nusantara dan perahu tradisional.
Tahun 1973 jumlah perahu yang datang ke Pelabuhan Pasar Ikan tercatat 9.593 perahu besar, 9.595 perahu kecil, 4.337 perahu lokal, 9.512 penumpang, dan 799.294 ton barang. Dari jumlah barang tersebut, sekitar separuhnya berupa kayu untuk ekspor.”
Para tokoh
Menyebut Kota Tua Jakarta yang langsung terbayang adalah bangunan Museum Sejarah Jakarta atau lebih populer dengan sebutan Museum Fatahillah (dibangun tahun 1710) dengan pelataran di depannya.
Di sekeliling bangunan tua itu berdiri bangunan-bangunan kuno lain, seperti Museum Wayang, Museum Bank Indonesia, dan Museum Seni Rupa dan Keramik.
Walaupun termasuk Kota Tua, Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari, dan Menara Syahbandar sering tak disinggahi mereka yang menikmati Kota Tua di sekeliling Museum Sejarah Jakarta.
Ini antara lain karena ketiga tempat itu letaknya terpisah dari bangunan-bangunan museum Kota Tua yang terletak di Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Adapun Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari, dan Menara Syahbandar terletak di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Keramaian pertunjukan ataupun aktivitas lain memang lebih sering berlangsung di sekitar pelataran Museum Sejarah Jakarta.
Padahal, Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari, dan Menara Syahbandar tak kalah tua dan menariknya dari bangunan dan segala aktivitas di sekitar Museum Sejarah Jakarta.
Kedatangan para tokoh dunia memang sempat membuat aktivitas bongkar muat kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa terganggu. Di sisi lain, popularitas pelabuhan ini meningkat.
Sejarah yang menyertai Pelabuhan Sunda Kelapa telah menarik tak hanya para turis, tetapi juga tokoh dunia. Tahun 1974, misalnya, Ratu Elizabeth II dari Inggris yang datang ke Indonesia menyempatkan diri mengunjungi kawasan Kota Tua Jakarta, termasuk Pelabuhan Sunda Kelapa.
Selain itu, Imelda Marcos, istri Presiden Filipina Ferdinand Marcos, juga tertarik menengok langsung pelabuhan ini. Kedatangan para tokoh dunia memang sempat membuat aktivitas bongkar muat kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa terganggu. Di sisi lain, popularitas pelabuhan ini meningkat.
Tahun 1995 kartunis asal Malaysia, Lat atau Mohammad Nor bin Khalid, pun sempat menghabiskan waktu di Pelabuhan Sunda Kelapa. Dia mengamati deretan perahu pinisi dan kegiatan bongkar muat di sini.
Lat membuat sketsa perahu-perahu itu sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat sampah yang menutupi sebagian perairan Sunda Kelapa.
Sesuai fungsinya, Sunda Kelapa semakin banyak disinggahi perahu layar dan kapal lokal. Tahun 1974, misalnya, sempat terjadi kemacetan alur bongkar muat karena kapasitas pelabuhan dengan sekitar 200 kapal ini dijejali 400 kapal lokal dan perahu layar.
Tahun 1970-an kayu dari Pontianak dan Banjarmasin, Kalimantan, serta dari Sungai Lumpur, Sumatera Selatan, menjadikan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan tujuan untuk kemudian dikirim ke berbagai tempat.
Untuk membongkar muat kayu itu, sekitar 1.200 orang terlibat di pelabuhan ini sebagai buruh pelabuhan. Keberadaannya bisa dikenali lewat seragam mereka yang berwarna biru.
Sindikat
Walaupun ramai orang berkaitan dengan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Sunda Kelapa, pada 1980-an kawasan ini sempat menjadi daerah rawan kriminalitas.
Harian Kompas, 29 Desember 1982, memberitakan tentang seorang direktur perusahaan pelayaran yang berkantor di pelabuhan itu ditodong saat berada di dalam mobil dan hendak pergi. Kaca mobilnya dihancurkan dan penjahat meminta sejumlah uang sambil menodongkan pisau belati ke tubuh sang direktur.
Setelah melakukan kejahatan, penjahat biasanya lari masuk ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
Dua perusahaan pelayaran lain yang berkantor di Pelabuhan Sunda Kelapa menerima ancaman lewat surat yang isinya mereka diminta memberikan sejumlah uang yang telah ditentukan setiap bulannya kepada komplotan ini. Jika permintaan itu tak dipenuhi, mobil-mobil perusahaan dirusak.
Meskipun jalan-jalan di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa ramai dan padat, penjahat tak takut dikeroyok massa. Justru pada saat terjadi kemacetan itu, mereka beraksi.
Di Jembatan Pasar Ikan, misalnya, penjahat tak ragu menggetok kaca mobil sasarannya, lalu menodong sopir dan penumpangnya.
Kejahatan yang dilakukan di luar areal Pelabuhan Sunda Kelapa pun tak lepas dari keberadaan pelabuhan ini. Setelah melakukan kejahatan, penjahat biasanya lari masuk ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
Sebagian warga menyebut, para penjahat itu seakan-akan mendapat ’perlindungan” di pelabuhan.
Menurut mereka, komplotan kejahatan ini memiliki daftar nomor-nomor mobil orang-orang tertentu yang banyak beraktivitas di Pelabuhan Sunda Kelapa dan sekitarnya.
Kompas menurunkan beritanya dengan judul ”Sindikat Kriminal Beroperasi di Pelabuhan Sunda Kelapa”,... para pencoleng seolah-olah memperoleh perlindungan. Sebab, tempatnya jelas, beroperasinya jelas, dan orang-orangnya pun jelas. Namun, tak seorang pun di antara mereka yang ditindak.
Penghidupan
Keberadaan Pelabuhan Sunda Kelapa memberi penghidupan bagi para pelaut, buruh pelabuhan, dan para pengojek sampan. Ojek sampan berseliweran di antara kapal-kapal yang berlabuh.
Orang biasanya menggunakan jasa ojek sampan sebagai alat transportasi di sekitar perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ojek sampan menggunakan sampan sepanjang sekitar empat meter dan lebar sekitar satu meter. Bila penuh, ojek sampan bisa memuat sekitar 12 orang.
Pengguna jasa ojek sampan bisa perseorangan atau rombongan, tergantung kesepakatan antara pengojek dan penumpangnya.
Tahun 1991 jumlah ojek sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar 200 buah. Para pengojek sampan umumnya berasal dari Sulawesi Selatan. Sebelum menjadi pengojek sampan, sebagian dari mereka adalah pelaut yang hilir mudik ke Sunda Kelapa menjadi anak kapal.
Setelah tak lagi melaut karena berbagai alasan seperti usia tua dan badan yang tak lagi sehat, mereka memilih tinggal di sekitar pelabuhan dan mencari rezeki sebagai pengojek sampan. Tahun 1997 para pengojek sampan itu bergabung dalam wadah koperasi.
Tahun 2003 ojek sampan masih bertahan dengan penumpang kebanyakan para turis lokal dan mancanegara. Namun, jumlah kapal yang berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa justru menyusut.
Dalam sehari hanya sekitar 10 kapal yang bersandar di pelabuhan ini. Tahun 2015 menurun lagi jumlahnya, menjadi sekitar 80 kapal yang masuk-keluar Sunda Kelapa dalam sebulan!
Asal mula
Mengutip berbagai sumber, Kompas, 11 Mei 1991, menulis, Sunda Kelapa adalah pelabuhan tertua di Indonesia. Tahun 1522, Portugis untuk pertama kali datang ke Indonesia dan berlabuh di Sunda Kelapa.
Portugis terusir ke Malaka setelah dikalahkan bala tentara Fatahillah. Tahun 1598, Cornelius de Houtman yang memimpin ekspedisi pertama Belanda sampai di Sunda Kelapa.
Selama sekitar empat tahun VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie, perusahaan perdagangan Belanda) berusaha membuat perjanjian dengan Pangeran Jayakarta untuk menguasai pelabuhan ini. Namun, usaha itu gagal.
Tak putus asa, tahun 1610 datang armada bersenjata Belanda yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen untuk melawan Pangeran Jayakarta. JP Coen berhasil mengalahkan sang pangeran dan Belanda pun menguasai Sunda Kelapa.
Konon, pedagang dari China, Jepang, India selatan, dan Arab datang ke pelabuhan ini dan menukar lada dengan berbagai barang seperti porselen, kopi, dan kain.
Pada masa penjajahan Belanda itulah, Sunda Kelapa disebut pula dengan nama Pelabuhan Pasar Ikan. Sebelum Belanda menguasai Nusantara, Pelabuhan Sunda Kelapa sudah dikenal dunia luar pada abad ke-12, masa kerajaan Pajajaran.
Tempat ini menjadi pelabuhan lada bagi kerajaan Hindu tersebut. Konon, pedagang dari China, Jepang, India selatan, dan Arab datang ke pelabuhan ini dan menukar lada dengan berbagai barang, seperti porselen, kopi, dan kain.
Sebagai pelabuhan tertua, sejak lama Sunda Kelapa menjadi salah satu tujuan turis di Jakarta. Potensi pariwisata Sunda Kelapa itu disadari para penguasa Jakarta. Namun, entah mengapa sarana untuk menunjang Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai tujuan wisata tak kunjung diwujudkan.
Tahun 1997 muncul kembali wacana menjadikan Sunda Kelapa sebagai salah satu obyek wisata andalan Jakarta. Ini antara lain melihat statistik kunjungan turis ke Jakarta yang terus meningkat.
Mengutip Biro Pusat Statistik (BPS), tahun 1993 jumlah turis ke Jakarta 1.107.959 orang, dengan lama kunjungan sekitar tujuh hari. Tahun 1996, jumlah turis meningkat menjadi 1.679.594 orang dengan lama kunjungan 7,5 hari.
Namun, krisis moneter yang melanda Tanah Air pada 1998 menjadi salah satu faktor yang membuat wacana itu urung terwujud. Meskipun pada siang hari kegiatan di Sunda Kelapa nyaris tak berubah, pada malam hari kawasan ini relatif sepi.
Di kafe milik Susilawati yang menempati bekas galangan kapal VOC, misalnya, tak banyak pengunjung karena orang merasa tak nyaman dan aman melintasi jalan yang senyap dan gelap.
Museum Bahari
Keberadaan bangunan Museum Bahari tak lepas dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Pembangunan keduanya bersamaan, tahun 1610. Namun, sumber lain menyebutkan, gedung ini dibangun bertahap mulai 1652 sampai 1759.
Bangunan Museum Bahari berupa bangunan panjang berlantai dua karena sejak awal difungsikan sebagai gudang. Namun, ada pula yang menyebutkan, Belanda pertama kali memakai gedung ini sebagai pos keamanan.
Seiring kebutuhan perdagangan yang meningkat, gedung ini lalu difungsikan menjadi gudang penyimpanan rempah-rempah milik VOC. Menurut Heuken SJ, penulis sejumlah buku sejarah Batavia seperti dikutip Kompas, 17 Januari 2018, di gudang ini disimpan antara lain cengkeh, pala, teh, kopi, katun, sutra, sampai tembaga dan timah.
Gedung ini sempat menjadi gudang milik Telkom, Postel, dan digunakan Komsekko 722 Pasar Ikan. Gubernur Ali Sadikin meresmikan pemugaran gedung ini dan menjadikannya Museum Bahari mulai tahun 1976.
Sayang, gedung ini sering tergenang air pada musim hujan dan saat pasang air laut. Pembenahan saluran air belum sepenuhnya bisa mengatasi genangan itu.
Setelah dipugar dan menjadi Museum Bahari, pada 16 Januari 2018 gedung ini terbakar. Akibatnya, selain koleksi museum yang musnah, gedung bersejarah ini pun rusak.
Padahal, sekitar 90 persen dari gedung ini, menurut Candrian Attahiyyat, anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, relatif masih otentik. Ini antara lain tampak pada balok-balok kayu besar sebagai kuda-kuda bangunan, juga kusen-kusen jendela kayu yang besar.
Menara
Berseberangan dengan Museum Bahari terdapat Menara Syahbandar. Bangunan yang dipugar pada 1977 itu dibangun Belanda tahun 1640, tetapi ada pula yang menyebut tahun 1834 dan 1839.
Menara ini digunakan untuk mengawasi kapal-kapal yang masuk dan keluar Pelabuhan Sunda Kelapa.
Getaran yang terus-menerus terjadi setiap hari memengaruhi kondisi bangunan berusia ratusan tahun itu.
Pada 1981, menara kuno ini terlihat miring. Salah satu penyebabnya adalah getaran yang timbul saat truk gandeng berlalu lalang di sekitar lokasi menara. Getaran yang terus-menerus terjadi setiap hari memengaruhi kondisi bangunan berusia ratusan tahun itu.
Di pelataran Menara Syahbandar terdapat prasasti tugu bertahun 1977 yang menjadi penanda Kilometer 0 masa lalu. Prasasti itu ditandatangani Ali Sadikin. Titik Kilometer 0 itu kemudian dipindahkan ke Tugu Monas. Bangunan menara kembali diperbaiki tahun 2004.
Sebagai pelabuhan, pamor Sunda Kelapa sudah meredup. Namun, sejarah ratusan tahun yang menyertai Sunda Kelapa tetap bisa dipertahankan dan ”laku dijual” sebagai obyek wisata potensial.
Untuk memaksimalkan fungsi Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari, dan Menara Syahbandar sebagai obyek wisata, perlu dilakukan berbagai pembenahan.
Misalnya, dengan menyediakan pusat informasi yang lengkap dan ramah bagi orang dewasa dan anak-anak. Harga tiket masuk ke obyek wisata bisa dinaikkan, seiring dengan peningkatan fasilitas dan pelayanan.
Agar anak-anak tertarik mempelajari sejarah bangsa, buku mewarnai, teka-teki silang, atau kuis tentang ketiga tempat bersejarah itu bisa dijadikan ”permainan” yang menarik.
Selain itu, berbagai komunitas yang umumnya dimotori anak muda juga bisa dirangkul untuk bersama-sama meningkatkan pamor Sunda Kelapa dan sekitarnya sebagai tujuan wisata yang menarik dan ramah lingkungan.
Sumber: Arsip harian Kompas, 13 April 1974-22 Januari 2018