Pemberdayaan Perempuan di Dunia Kerja Belum Optimal
Oleh
DD04
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Potensi perempuan untuk menunjang pembangunan perekonomian di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, akses pendidikan dan pelatihan yang setara tanpa diskriminasi menjadi investasi yang terus didorong di dunia kerja.
Data Badan Pusat Statistik mencatat, pada Februari 2017 terdapat 131,5 juta karyawan di pasar tenaga kerja Indonesia. Dari jumlah tersebut, presentase berdasarkan jender menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara jumlah partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki. Untuk partisipasi tenaga kerja perempuan hanya 55 persen, sedangkan laki-laki mencapai 83 persen.
Saat ini, masih dibutuhkan banyak upaya untuk meningkatkan kesetaraan jender. Lebih dari itu, diskriminasi di lingkungan kerja terkait dengan tenaga kerja perempuan di industri juga masih menjadi masalah yang belum selesai.
Spesialis Program Badan Urusan Pemberdayaan dan Kesetaraan Jender Perempuan PBB (UN Women) Lily Puspasari, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (15/4/2018) menyampaikan, melihat dari kesenjangan upah rata-rata saja, pendapatkan yang diterima perempuan bisa lebih rendah hingga Rp 500.000 dari laki-laki dengan jenis pekerjaan yang sama. “Ini belum dilihat lagi secara rinci pada sektor yang lebih rendah, misalnya pada sektor pertanian. Upah pekerja perempuan bisa lebih rendah sampai setengah kalinya dari laki-laki,” katanya.
Menurut Lily, ada dua hal yang menjadi penyebab utama masih terjadi ketimpangan jender di dunia kerja, yaitu aspek pendorong dan penarik. Aspek pendorong biasanya ditemui dari perusahaan tempat bekerja, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Sementara pada aspek penarik merupakan pengaruh dari dalam diri perempuan itu sendiri.
“Ada seorang atasan di sebuah perusahaan besar yang menawarkan posisi lebih tinggi bagi salah satu karyawan perempuannya. Namun, karyawan itu justru menolak karena merasa tidak siap dengan tanggung jawab yang harus dijalaninya. Ada prioritas lain katanya. Dari kondisi ini, ada faktor penarik yang berasal dari perempuan itu sendiri yang menyebabkan ia tidak mengambil kesempatan untuk berkembang,” kata Lily.
Laporan dari lembaga konsultan internasional McKinsey Global Institute pada 2012 tentang potensi ekonomi Indonesia disampaikan, jika dapat menggerakkan perempuan masuk ke lapangan kerja secara maksimal, pada 2030 Indonesia bisa menjadi negara dengan ekonomi terbesar keenam di dunia. Setidaknya, jika Indonesia bisa meningkatkan jumlah partisipasi angkatan kerja perempuan mencapai 64 persen, akan ada tambahan 20 juta tenaga kerja yang bisa menutup kekurangan tenaga kerja pada 2030.
Untuk itu, berbagai upaya perlu terus didorong agar produktivitas perempuan di dunia kerja bisa optimal. Upaya tersebut seperti pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas perempuan, penghapusan diskriminasi jender di tempat kerja, serta bebas dari kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Pribudiarta Nur Sitepu menuturkan, pendidikan sangat berpengaruh pada isu jender di dunia kerja.
Pada golongan kerja dengan pendidikan tinggi, kesenjangan antara perempuan dan laki-laki hanya sekitar 1 persen. Namun, pada golongan kerja dengan pendidikan semakin rendah seperti buruh dan tani, kesenjangan upah semakin besar.
“Untuk itu, saat ini kami terus mendorong adanya pemerataan pendidikan dan pelatihan bagi perempuan, terutama di daerah pinggir. Tujuannya, agar semakin banyak perempuan yang bisa bekerja di sektor formal,” ucapnya.
Selain pendidikan, pemerintah melalui KPPPA juga mendorong pemberdayaan perempuan melalui pembentukan Undang-Undang Kesetaraan Jender.
Pribudiarta menyampaikan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menjadi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 Namun, hingga saat ini belum ada Undang-Undang tentang Kesetaraan Jender. “Kita harapkan dalam dua tahun ini, pada 2019 nanti UU ini bisa terwujud,” katanya.
Komitmen industri
Selain pemerintah, komitmen industri juga sangat dibutuhkan agar kesetaraan jender tidak sekadar isu saja. President Director Telkomtelstra, Erik Meijer, meyakinkan, pihaknya akan mendorong kesetaraan jender dan ketercakupan tenaga kerja perempuan di perusahaannya.
“Kami dorong dengan berbagai program, seperti waktu kerja yang fleksibel, adanya fasiliyas ruang laktasi bagi ibu menyusui, cuti melahirnya selama tiga bulan, dan cuti bagi karyawan laki-laki yang baru saja menjadi ayah selama dua minggu,” katanya.
Selain itu, komitmen lain yang juga dilakukan melalui kebijakan perusahaan yang memastikan adanya kesempatan yang sama bagi karyawan perempuan untuk mengisi posisi kepemimpinan. Ia mendorong keseimbangan jender dalam posisi kepemimpinan dengan memberikan pelatihan yang sama bagi karyawannya.