Pendidikan Politik Dibutuhkan dalam Berdemokrasi
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan politik dibutuhkan dalam berdemokrasi. Pengetahuan tersebut dibutuhkan agar masyarakat tidak mudah dipecah belah jelang pemilihan umum.
Berbagai cara dilakukan oleh para politisi untuk mencari dukungan dari masyarakat. Bahkan, tidak sedikit politisi menggunakan unsur SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) untuk mencapai tujuannya.
Pengajar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, mengatakan, untuk mencegah pecah belahnya persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibutuhkan penyadaran terhadap perilaku para politisi dan kesadaran pentingnya pendidikan politik dalam demokrasi.
Masyarakat harus sadar bahwa banyak politisi yang bermain sandiwara di panggung demi mendapatkan tujuannya.
”Masyarakat harus sadar bahwa banyak politisi yang bermain sandiwara di panggung demi mendapatkan tujuannya,” kata Emrus saat dihubungi di Jakarta, Minggu (15/4/2018).
Ia menjelaskan, setiap politisi akan berbicara soal idealisme dan perjuangan yang sifatnya normatif. Padahal, sering kali apa yang dibicarakannya berseberangan dengan kehidupan sehari-harinya.
Emrus menuturkan, pada situasi partai politik membentuk koalisi, mereka akan saling mendukung dan membela koalisinya. Di sisi lain, mereka akan berusaha menjatuhkan partai politik yang berseberangan dengan koalisinya. Situasi tersebut akan terus berlangung selama pemilihan umum berlangsung sebagai bentuk konsep politik yang sarat dengan kepentingan.
Fanatisme yang berlebihan akan menimbulkan kebencian yang akan mengakibatkan perpecahan.
Ia mendorong agar masyarakat memahami karakter setiap aktor politik dan memberikan dukungan secara wajar. ”Fanatisme yang berlebihan akan menimbulkan kebencian yang akan mengakibatkan perpecahan,” kata Emrus.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Zainul Ma’arif, mendorong masyarakat mulai memahami karakter dari setiap parpol yang bertarung di pemilu. Ma’arif mengatakan, masyarakat perlu memilih parpol yang memiliki kompetensi, sistem manajerial, dan kepemimpinan yang baik.
Zainul mengajak masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah yang bertarung dalam pilkada dengan menggunakan unsur SARA. Ia mengingatkan, seorang kepala daerah akan memimpin kepentingan publik dan bukan hanya kepentingan agama atau golongan.
Di sisi lain, Emrus berharap aktor politik tidak mengeksploitasi masyarakat dengan pandangan-pandangan yang menyesatkan dan dapat menimbulkan perpecahan. Zainul pun berharap, pemerintah menindak tegas aktor politik yang menggunakan unsur SARA dalam mencari dukungan.
Politik uang
Selain menggunakan unsur SARA, politik uang sering digunakan oleh para politisi untuk mencari dukungan. Buruknya lagi, masyarakat saling terpecah belah demi mendapatkan uang tersebut. Namun, situasi tersebut sering tidak disadari oleh masyarakat dengan ekonomi dan tingkat pendidikan menengah ke bawah.
Emrus berharap, pemerintah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kesadaran demokrasi untuk menjunjung kedaulatan rakyat. Menurut Emrus, kedaulatan rakyat memegang peranan tertinggi dalam sistem pemerintahan demokrasi seperti di Indonesia. ’Kedaulatan tidak boleh diperjual-belikan dengan cara apa pun,” ujarnya.
Zainul pun memperingatkan, seorang pemimpin yang mendapatkan jabatannya dengan mengandalkan politik uang, maka ia akan berusaha mendapatkan kembali uangnya tersebut. Salah satu caranya yaitu dengan korupsi dan masyarakat yang dirugikan.
Pendidikan politik
Emrus menuturkan, agar masyarakat dapat memilih dengan bijak diperlukan pendidikan politik yang disampaikan melalui pendekatan kearifan lokal. Ia mencontohkan, pendidikan politik dapat disampaikan melalui pergelaran wayang bagi masyarakat di Jawa. ”Cara penyampaiannya dapat menggunakan simbol atau bahasa yang mudah dicerna,” ujarnya.
Pendidikan politik dapat disampaikan melalui pergelaran wayang bagi masyarakat di Jawa.
Pemerintah dan parpol berpengaruh besar dalam menyampaikan pendidikan politik tersebut. Secara khusus, Emrus mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk turun ke pemerintah daerah.
Dalam praktiknya, Kemendagri dapat bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menyosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat secara masif.
Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, pendidikan politik harus mengembalikan kebijaksanaan dalam berdemokrasi. Adapun cara penyampaiannya dengan memberikan teladan dan kerja nyata yang memajukan persaudaraan bangsa dan persatuan Indonesia.
”Karya demokrasi adalah kerja dan bukan propaganda, apalagi menebar kebencian dan ketakutan dengan instrumen politik identitas atau SARA,” kata Ari.