JAKARTA, KOMPAS — Cakupan kemampuan literasi Indonesia hampir mencapai 100 persen, tetapi minat baca dan diskusi masyarakat masih sangat rendah. Keduanya diperlukan agar kemampuan berpikir secara kritis semakin terasah.
Dalam situs Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), tingkat literasi Indonesia usia 15 tahun ke atas mencapai 95,38 persen pada 2016. Angka itu terdiri dari 97,17 persen laki-laki dan 93,59 persen perempuan.
Penulis, pegiat literasi, dan Sahabat Literasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Maman Suherman, seusai acara bedah buku Bapakku Indonesia, di Jakarta, Senin (16/4/2018), menyatakan, tingkat literasi yang tinggi belum menjadi jaminan bermutunya literasi bangsa.
Alasannya, studi deskriptif dari Central Connecticut State University, Amerika Serikat, pada 2016 mengungkapkan, literasi digital Indonesia berada di peringkat ke-60. Posisi itu berada pada satu tingkat di atas negara Botswana yang menduduki peringkat terakhir.
”Menurut UNESCO, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang suka membaca. Tetapi, Indonesia merupakan negara kelima yang paling aktif di media sosial, yaitu Twitter,” ujar Maman.
Kondisi tersebut dinyatakan merupakan salah satu penyebab maraknya isu hoaks, ujaran kebencian, dan berita palsu yang beredar selama ini.
Sebagai pegiat literasi yang telah mengunjungi sejumlah kota di Indonesia, ia menemukan banyak daerah terpencil yang telah terjangkau buku bacaan melalui pustaka bergerak. Namun, ia tidak menemukan perubahan karakter dan perubahan pola hidup masyarakat karena kemampuan membaca tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Adapun ia juga menemukan masih banyak masyarakat yang mampu membaca, tetapi tidak memiliki kebiasaan berdiskusi.
Contoh kasus yang mengundang perhatiannya adalah anak-anak di Sulawesi Barat yang membaca suatu buku bahwa meninggal saat bekerja merupakan ibadah.
Mereka pun merakit bom ikan dan membuat sumbunya menjadi pendek. Bom ikan tersebut meledak dengan cepat sehingga beberapa anak terkena dan cacat tubuhnya. ”Membaca buku memerlukan dialog agar orang memahami dari berbagai perspektif,” kata Maman.
Pengamat tata kota dan dosen Teknik Planologi Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menuturkan, pembangunan sebuah bangsa tidak hanya dalam bentuk secara struktur, yaitu infrastruktur. Namun, pembangunan juga melalui kultur, seperti nilai kebangsaan. ”Pembangunan keduanya harus sejalan,” ucapnya.
Maman menilai, peran orangtua sangat penting dalam membentuk karakter anak untuk membaca. Seorang anak tidak hanya dapat dididik oleh ibu, tetapi juga ayah. Orangtua dapat menanamkan hobi membaca sejak dini dengan mendongeng atau permainan.
”Namun, berdasarkan penelitian yang saya lakukan, anak zaman sekarang memegang gadget 8 jam per hari, tetapi memegang tangan ibu 8 menit dan ayah hanya 2 menit,” tutur Maman.
Penelitian itu ia lakukan sebagai latar belakang bukunya yang berjudul Bapakku Indonesia.
Penelitian dilakukan kepada sekitar 100 anak generasi milenial kelahiran di atas tahun 1980 selama April 2017-April 2018. Kota-kota yang ia kunjungi adalah Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Gorontalo, Balikpapan, Medan, dan Palembang.