Mewaspadai Kegaduhan di Dunia Maya
Pemilihan Presiden 2014 dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 menunjukkan ruang digital marak digunakan untuk menggiring opini publik.
Kini, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan adanya kekhawatiran mayoritas publik bahwa kegaduhan di dunia maya akan kembali terulang. Kekhawatiran mayoritas responden (81 persen) bersandar pada fakta maraknya ujaran kebencian di media sosial dalam merespons setiap isu lebih-lebih terkait pilihan politik.
Fenomena saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 dinilai publik berpotensi terulang pada ajang pilkada di daerah lain. Sebanyak 68,3 persen responden khawatir jika isu agama digunakan sebagai alat politik.
Selain agama, persoalan suku juga dianggap menjadi hal yang kerap digunakan di pilkada. Sebanyak 11,7 persen responden khawatir masalah suku atau etnis dijadikan alat propaganda elite politik dan kandidat selama masa kampanye pilkada.
Kecenderungan pemanfaatan isu identitas sosial dalam pilkada diyakini publik akan terus berlangsung dan bermuara pada Pilpres tahun depan.
Selain itu, hampir separuh responden (48 persen) menilai strategi politik yang digunakan para kontestan politik turut berkontribusi dalam penyebaran ujaran kebencian di sejumlah platform media sosial.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyebutkan, pada tahun 2017 terdapat 60.135 aduan dari masyarakat terkait konten yang disebarkan melalui internet. Jumlah tersebut naik sepuluh kali lipat dari tahun 2016 yang hanya berjumlah 6.357 aduan.
Dari 60.135 aduan masyarakat tersebut, yang substansinya terkait penyebaran isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) ada 16.742 aduan. Sementara aduan terkait fitnah (berita bohong) sebanyak 7.795 aduan. Maraknya aduan tersebut tidak terlepas dari berlangsungnya pilkada serentak tahun 2017.
Selama tahun 2017, ada 528.396 konten negatif di internet yang ditangani Kemkominfo. Ini berarti naik hampir seratus kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2016 di mana kementerian itu menangani 5.732 konten negatif.
Porsi terbesar konten negatif pada dua periode tersebut terdapat pada platform Twitter, disusul Facebook dan Instagram, serta Youtube. Sepanjang tahun 2017, Kemkominfo juga memblokir sedikitnya 183 laman di internet karena terkait SARA.
Kerawanan pilkada
Pengguna gawai di Indonesia terus meningkat. Hingga bulan Maret lalu, Kemkominfo mencatat tak kurang dari 351,6 juta kartu prabayar yang melakukan registrasi ulang. Ini berarti jumlah tersebut telah melebihi jumlah penduduk Indonesia.
Padahal, data itu belum termasuk jumlah pengguna kartu pascabayar yang tidak mendaftar ulang karena data pengguna otomatis sudah ada di operator saat mereka mendaftar.
Kondisi ini dimanfaatkan para kontestan pilkada untuk membentuk opini sebagai strategi pemasaran politik melalui media sosial yang mudah diakses melalui telepon pintar. Opini yang dibangun bisa untuk pencitraan dirinya, juga untuk menyerang lawan politik.
Laporan Indeks Kerawanan Pilkada 2018 yang disusun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyebutkan, 12 dari 17 provinsi yang akan menyelenggarakan pilkada pada tahun ini termasuk dalam kategori tingkat kerawanan tinggi terkait penggunaan media sosial oleh masyarakat.
Provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara.
Penilaian Bawaslu itu didasarkan pada aspek penggunaan media sosial yang mencakup dua indikator, yaitu materi kampanye dan relasi kekerabatan politik para kontestan yang diwacanakan di media sosial.
Pada aspek materi kampanye, suku atau etnis menjadi isu yang dominan diwacanakan di media sosial. Adapun pada aspek kekerabatan politik yang menonjol digaungkan di media sosial adalah isu tentang calon putra daerah yang harus menang dalam pilkada.
Hasil jajak pendapat Kompas mencatat tingginya antusiasme publik dalam merespons pemberitaan terkait pilkada melalui media sosial. Tak kurang dari 51 persen responden menyatakan kerap merespons pemberitaan terkait pilkada dengan cara memberikan tanggapan atau komentar melalui akun media sosial mereka. Sementara 45 persen responden mengaku turut memantau melalui berbagai media terkait kampanye calon kepala daerah yang akan bertarung pada pilkada mendatang.
Dampak media sosial
Terpaan informasi dan berita tentang politik yang masif beredar di media sosial memberikan pilihan bagi penggunanya untuk menentukan sikap, apakah hanya membaca informasinya, menyebarkannya, ataukah akan mengecek kebenarannya. Separuh bagian publik (49 persen) menyatakan jika berita politik yang mereka baca di media sosial memang dapat memengaruhi arah pilihan politik mereka.
Lebih dari separuh responden mengaku hanya membaca berita yang mereka terima lewat akun media sosial. Sementara seperlima bagian responden menyatakan mencari kebenaran dari informasi yang mereka baca dan hanya sedikit yang menyatakan membaca dan membagikannya ke teman atau orang lain.
Kemampuan untuk menyaring informasi dianggap sebagai persoalan besar bagi sebagian masyarakat. Hampir separuh responden berpendapat bahwa sebagian pengguna media sosial cenderung belum punya kemampuan untuk membedakan antara informasi yang benar dan berita bohong. Padahal, informasi yang diterima masyarakat berperan besar dalam membentuk persepsi publik.
Beberapa waktu lalu, pemerintah menangkap dan memproses hukum para penyebar ujaran kebencian dan informasi bohong. Langkah yang dilakukan pemerintah melalui Kepolisian RI ini dimaksudkan untuk menegakkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Terhadap langkah pemerintah yang menangkap dan memproses hukum para pelaku penyebar berita bohong ini, hampir seluruh responden (91,4 persen) menyatakan setuju. Langkah tegas pemerintah itu juga diyakini publik akan memberikan efek jera dan mengurangi penyebaran berita bohong.
Media digital adalah medium yang cukup ampuh untuk memberikan pengaruh kepada penggunanya, Langkah aktif dan bijak sangat diperlukan untuk bisa memilah informasi yang diterima dari media tersebut.