Pelayaran Rakyat di Cirebon Nyaris Mati
Usaha pelayaran rakyat atau pelra di Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat, nyaris mati. Dalam setahun, hanya terdapat lima kapal pelra yang bersandar. Padahal, pelra dapat menyerap tenaga kerja dan mengangkut logistik dari luar Cirebon.
Kondisi suramnya usaha pelra tampak di Pelabuhan Cirebon, Kota Cirebon, Jabar, Rabu (11/4/2018). Hanya terdapat kapal layar motor (KLM) Karya Abadi I yang berlabuh di Jalan Ambon, kompleks pelabuhan.
Kapal kayu dengan cat terkelupas di sejumlah bagian itu kosong, tanpa anak buah kapal. Sebuah tangga yang menjadi akses untuk naik ke kapal tampak menggantung. Badan kapal bersandar pada sisa fondasi dermaga pelra.
Disebut dermaga pelra karena puluhan tahun lalu, kapal pelra yang mengangkut kayu berlabuh di sana. Namun, kini, dermaga itu hanya berisi kapal patroli polisi dan sebuah bangkai kapal. Hanya terdapat dua papan yang menghubungkan kapal dengan daratan. Di depan dermaga, kantor Koperasi Pelra tertutup rapat dengan pintu yang lapuk dan berdebu.
KLM Karya Abadi I berukuran 34 gros ton (GT) itu tiba di Pelabuhan Cirebon awal Maret lalu. Kapal dengan muatan kayu sengon itu berlayar dari Pelabuhan Dendang, Bangka Belitung, menuju Cirebon. Menurut rencana, kayu itu dikirim ke sebuah pabrik pengolahan kayu di Wonosobo, Jawa Tengah.
Seperti kapal pelra pada umumnya, perjalanan sangat berisiko jika tinggi gelombang mencapai 3 meter.
”Perjalanannya mencapai dua bulan karena kapal singgah di beberapa pulau karena angin kencang dan gelombang tinggi,” ujar Sudjito (64), pengurus PT Rikardo, perusahaan pelra yang mengoperasikan KLM Karya Abadi I, Kamis. Seperti kapal pelra pada umumnya, perjalanan sangat berisiko jika tinggi gelombang mencapai 3 meter.
Ia belum tahu pasti kapan kapal kembali ke Dendang sebab hingga kini belum ada permintaan pengangkutan kayu. Pihaknya juga harus memikirkan biaya operasional untuk berlayar, seperti solar 200 liter dan upah 4 anak buah kapal. Bahkan, untuk menghemat ongkos, jika cuaca bersahabat, mesin kapal dimatikan dan hanya memakai layar.
”Kadang, orderan (permintaan) datang 3 bulan sekali, bahkan 5 bulan sekali. Enggak tentu. Apalagi, saat ini hanya satu kapal yang bisa operasi. Satunya lagi enggak laik jalan. Padahal, dulu, perusahaan induk punya 60 kapal layar,” ujarnya.
Menurut Sudjito, pelra di Cirebon bagaikan pepatah ”hidup segan mati tak mau”. Para pelaku usaha sangat jarang menggunakan pelra dan beralih ke kapal besi yang ukurannya lebih besar dan waktu tempuh lebih cepat. ”Sekarang hanya saya dan anak bos yang kerja. Saya malu kalau disebut (jumlah gajinya),” kata Sudjito yang kini sibuk berjualan pakaian.
”Spanyol”
Ketua Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Cirebon periode 1989-2005 Moch Samian (70) mengatakan, kejayaan pelra di Cirebon terjadi pada awal 1990-an. ”Sehari, bisa 10 kapal pelra yang bersandar. Satu kapal biasanya butuh tenaga kerja bongkar muat 15-30 orang,” ujarnya.
Muatan yang dibongkar umumnya berupa kayu asal Kalimantan. Para pekerja dari daerah utara Cirebon tersebut menggunakan sistem borongan sehingga semakin banyak kayu yang diangkut, semakin tinggi upah yang didapatkan.
Menurut dia, saat itu, terdapat 1.000 TKBM di Pelabuhan Cirebon yang sebagian besar mengandalkan pelra. ”Sekarang, TKBM sekitar 200 orang,” ucapnya.
Meredupnya usaha pelra, lanjutnya, berlangsung awal 2000-an. Ketika itu, Kepolisian Daerah Jabar gencar menertibkan kayu ilegal yang diangkut kapal. Sebagian besar kapal pelra pun enggan berlabuh di Cirebon.
”Sayangnya, sejumlah kapal pelra membawa kayu yang tidak sesuai ketentuan. Misalnya, seharusnya kapal mengangkut 200 kubik kayu. Ternyata, sepanjang perjalanan, kapal singgah di pelabuhan kecil dan mengangkut 300 kubik kayu. Ini dikenal dengan sebutan ”spanyol”, separuh nyolong. Bahkan, ada yang dipenjara,” ujarnya.
Sejak saat itu, sekitar 10 perusahaan pelra di Pelabuhan Cirebon tumbang satu per satu. Para buruh bongkar muat pun kehilangan pekerjaan.
Kini, hanya tersisa dua perusahaan pelra yang masih beroperasi di Pelabuhan Cirebon. Selain PT Rikardo ada juga PT Dewi Noor yang mengangkut pupuk dari Palembang, Sumatera Selatan, untuk disalurkan ke wilayah Jateng.
Pariwisata
Kepala Seksi Lalu Lintas Angkutan Laut dan Usaha Kepelabuhan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Cirebon Viva Indriyani mengatakan, dalam setahun hanya terdapat 5 kapal pelra yang berlabuh di Cirebon. Padahal, dalam sebulan, 130 unit sampai 150 unit kapal bersandar di Pelabuhan Cirebon. Sekitar 80 persen merupakan kapal pengangkut batubara.
Meski sangat sedikit, menurut Viva, kapal pelra tetap harus mematuhi aturan di pelabuhan, seperti memiliki surat persetujuan berlayar (SPB) dan perlengkapan keselamatan, seperti pelampung. ”Kalau tidak ada, enggak boleh berlayar,” ucapnya.
Salah satu caranya ialah membuat kapal pelra sebagai alat transportasi pariwisata.
Menurut dia, beberapa waktu lalu, jajaran Kementerian Koordinator Kemaritiman berkunjung ke Pelabuhan Cirebon untuk membicarakan cara menghidupkan kembali pelra. ”Salah satu caranya ialah membuat kapal pelra sebagai alat transportasi pariwisata. Namun, kami belum tahu detailnya,” ujar Viva.
Apalagi, pemerintah akan merevitalisasi Pelabuhan Cirebon, seperti menambah kedalaman air dari 3 meter menjadi lebih dari 10 meter. Salah satu tujuan revitalisasi ialah menumbuhkan wisata bahari. Bangunan tua, seperti gudang, berumur lebih dari 100 tahun dapat menjadi daya tarik wisatawan.