Penjaga Asupan Gizi dari Bantaran Kali
Dicari dan dimusuhi. Penggambaran itu cenderung sesuai diberikan pada tempe. Sebagai penyedia protein bagi warga kota dan desa, tempe dicari dan dibutuhkan. Namun, pabrik rumahan pembuat tempe tersingkir hingga ke bantaran kali. Alasannya, bau!
Empat lelaki dewasa dengan bulir-bulir keringat di sekujur badan. Ruangan temaram dengan sinar matahari yang menerobos jendela sebagai penerangan. Raungan lirih jet pump menyedot air bersih dari kedalaman sekitar 21 meter.
Bulir-bulir kacang kedelai dalam sejumlah drum. Jejeran kemasan plastik berisi kacang kedelai yang sudah diberi ragi bubuk. Itu semua ditambah campuran asap pembakaran kayu perebus kacang-kacang kedelai dan aroma masam, melengkapi salah satu ruangan di Gang Tempe, Jalan KH Mas’ud, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan, Rabu (11/4/2018).
Ruangan tersebut merupakan tempat produksi tempe milik Adji (60). Total, ada 32 produsen tempe di situ.
Siang itu, bersama adiknya, Dugi Jumadi (44), serta dua pekerja yakni Yudi Haunus (32) dan Erwin Winanto (25), Adji menyiapkan tempe-tempe untuk para pemesan.
Di luar ruangan, bakal tempe lain bertumpuk di antara sejumlah rak. Begitupun di ruangan yang menjadi bagian rumah lain di dalam gang tersebut. Sejauh pandangan terpentok dinding, terlihatlah tempe.
Jalan di perkampungan tersebut selebar dua motor yang berpapasan secara sangat hati-hati agar tidak tersenggol. Letaknya di ujung jalan, dengan kontur agak menurun.
Sebuah tempat pembuangan sampah sementara beroperasi dengan deretan gerobak pengangkut sampah. Aliran Kali Sekretaris mengular di belakang sejumlah ruang produksi, termasuk tempat Adji.
Proses panjang
Rabu itu, seperti hari-hari lain yang sudah dimulai sejak masa kakek buyutnya, Adji berada di pengujung aktivitas. Proses pembuatan tempe berlangsung sejak pukul 08.00 hingga 14.00.
Aktivitas pagi dimulai dengan kacang-kacang kedelai impor asal Amerika Serikat yang direbus dalam tong besar selama sekitar tiga jam. Setelah direbus, kacang-kacang kedelai diangkat untuk ditiriskan, lantas direndam selama satu malam.
Selama menunggu, kacang-kacang kedelai lainnya yang sudah lebih dahulu direndam pada hari sebelumnya, dicuci pada hari itu. Proses ini dilakukan nyaris berbarengan dengan semacam penggilingan untuk memisahkan kulit kacang kedelai.
Proses berikutnya adalah memasukkan kacang kedelai, dengan tambahan ragi untuk menjamin terjadinya fermentasi, ke dalam wadah plastik. Ini memerlukan waktu sekitar satu malam. Esok harinya, bakal tempe dibalik, dengan sebagian tubuhnya yang sudah dilubangi untuk memberikan pasokan udara bagi jamur tempe supaya bisa tumbuh.
“Malam harinya, tempe dipasarkan,” kata Adji yang berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah.
Metode produksi tempe ini, seperti dikutip dalam buku “Tempe, Kumpulan Fakta Menarik Berdasarkan Penelitian” yang ditulis F.G. Winarno, Wida Winarno, dan Driando Ahnan Winarno (2017) dibedakan menjadi tiga metode utama. Masing-masing adalah metode produksi tempe dari Yogyakarta, Pekalongan, dan Malang. Metode dari Yogyakarta dan Malang menggunakan cara dua kali perendaman dan perebusan dalam prosesnya.
Ketiga metode tersebut disarikan dari sembilan proses yang ada. Masing-masing adalah pencucian atau pembersihan, pengupasan, perendaman, perebusan, penirisan (pendinginan dan pengeringan), penyiapan laru (ragi tempe), inokulasi (pemindahan ragi tempe ke kacang kedelai), pengemasan, dan inkubasi.
“Proses semalaman pakai ragi LIPI,” sebut Dugi.
“Ragi LIPI,” yang disebut Dugi merujuk pada ragi berbentuk tepung atau bubuk yang diproduksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Seperti dikutip dari buku “Bunga Rampai Tempe Indonesia” oleh Sapuan dan Soetrisno (ed) pada 1996, ragi tempe jenis ini diproduksi LIPI Bandung pada 1976. Ragi dalam bentuk tepung ini disiapkan dari biakan murni bakteri Rhizopus oligosporus pada media beras yang sudah masak untuk kemudian dikeringkan serta digiling.
Sapuan dan Soetrisno menyebut, ragi tempe jenis ini dipergunakan secara luas para produsen dalam lingkup koperasi tahu tempe Indonesia.
“Harganya 1 kilogram Rp 26.000,” ujar Adji.
Dalam sehari, sekitar 80 kilogram tempe dihasilkan Adji bersama Dugi, Yudi, dan Erwin.
Pasokan ragi tidak dikhawatirkan Adji, karena bisa secara relatif mudah diperoleh di sejumlah toko. Begitu juga dengan kedelai yang bisa didapatkan di koperasi.
Dibutuhkan dan dimusuhi
Adji menambahkan, saat ini sekitar 1.500 perajin tempe bergabung dalam koperasi wilayah Jakarta Selatan. Namun, imbuh Dugi, sekitar 1.500 perajin lain belum tergabung dalam koperasi di Jakarta Selatan saja.
Peran sebagai penjaga kebutuhan asupan protein dan kesehatan membuat produksi tempe tetap berlangsung. Peran sebagai penjaga kesehatan ini, sekurang-kurangnya adalah sebagai antidiare, bermanfaat bagi pertumbuhan anak, bermanfaat mencegah hiperkolestreol, berpotensi mencegah hiperglikemia, dan memperlambat penurunan estrogen bagi wanita. Tingkat konsumsi tempe pun mencapai 21,3 gram/kapita/hari di perkotaan dan 17 gram/kapita/hari di perdesaan (Winarno, Winarno, & Winarno. 2017)
Sumber yang sama menyebutkan bahwa tempe kaya vitamin B12, senyawa esensial yang sangat dibutuhkan tubuh namun tidak bisa diproduksi sendiri.
Konsumsi tempe pun mencapai 21,3 gram/kapita/hari di perkotaan dan 17 gram/kapita/hari di perdesaan. Tempe telah menjelma menjadi semacam asupan protein “pokok.”
Akan tetapi, lokasi pembuatan tempe, terutama di Jakarta, kerap diasosiasikan dengan aroma menyengat serta kurang sedap dibaui. Tempat-tempat produksi tempe pun "dijauhkan" dari permukiman. Umumnya, pabrik rumahan tempe di Jakarta berada dekat sungai.
Sebagian tujuannya adalah memudahkan membuang air bekas mencuci, merebus, merendam, dan membilas tempe ke sungai. Dugi menuturkan, paling jauh, jarak tempat pembuatan tempe dengan sungai sekitar 500 meter. “Kalau sudah lebih dari itu, tidak boleh sama warga, diprotes. Bau, katanya (warga).”
Jejak Sejarah
Kapan tempe, mulai diproduksi di Jakarta, relatif belum ada catatan pasti. Akan tetapi, jejaknya cenderung berada dekat dengan aliran sungai.
Produksi tempe skala kecil juga ditemukan di Kampung Tanah Rendah, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Tokoh di kampung ini, Adi, pernah membuat tempe sejak 1979. Ia melanjutkan bisnis orangtuanya.
Tahun 1996, ia mengambil kredit rumah yang disediakan pengurus koperasi di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Di lokasi itu, Adi sempat membuka usaha pembuatan tempe. Jaraknya sekitar 50 meter dengan aliran sungai terdekat.
Akan tetapi ia akhirnya pensiun dari tempe dan berganti profesi. “Nggak enak sama rumah penduduk (lain), kan bau,” tutur Adi.
Kini di perkampungan Tanah Rendah, menurut Adi, sekurangnya empat warga masih membuat tempe skala rumahan.
Berdasarkan “Bunga Rampai Tempe Indonesia” oleh Sapuan dan Soetrisno (ed) pada 1996, catatan mengenai tempe ada dalam Serat Centhini atau Suluk Tambangraras. Paparan oleh juru tulis keraton Surakarta, R Ng Ronggo Sutrasno dan kawan-kawan itu dilakukan tahun 1814 berdasarkan kisah yang diperkirakan terjadi tahun 1600an.
Catatan tersebut ada dalam jilid 2, 3, dan 12 serat Centhini. Salah satu catatan yang dengan jelas menyebutkan kata “tempe” berada di jilid ke-3 saat menggambarkan perjalanan Mas Cebolang dari Candi Prambanan menuju Pajang untuk kemudian mampir di Dusun Tembayat, yang sekarang masuk di Kabupaten Klaten.
Isi sebagian naskah dalam jilid ke-3 Serat Centhini saat menghadiri jamuan Pangeran Bayat itu adalah: Liwet lemes akas gurih, golong tumpeng megana. Jangan menir pecel ulur-pitik, brambang kunci sambel sinantenan, brambang jae santen tempe, cupang sambele jagung, dhedakohan sambel-kemiri, asem sambel lethokan, plapah sambel-kukus, untub-untub sambel-brambang, loncom jenggot bobor bubuk-dhele jemprit, bence sambel kaluwak.
Catatan itu memberikan kesimpulan, sebelum abad ke-16, tempe sudah dikembangkan di Jawa, terutama di daerah Mataram. Kini, jejak-jejak itu masih jelas yakni sebagai penjaga asupan gizi warga.