Sajian Soal UN Perlu Dievaluasi
JAKARTA, KOMPAS -- Penyajian soal ujian nasional jenjang SMA yang berlangsung pekan lalu perlu dievaluasi. Sejumlah soal terindikasi sulit dipahami oleh siswa karena materinya belum pernah diajarkan di kelas.
Selain itu, sejumlah soal ujian tidak sesuai dengan kisi-kisi ujian nasional yang diberikan kepada sekolah. Akibatnya, soal ujian nasional dikeluhkan tidak dikenali dan sulit dikerjakan.
Berdasarkan keterangan dari posko pengaduan ujian nasional yang dihimpun Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo di Jakarta, Minggu (15/4/2018), menyebutkan, keluhan yang menonjol adalah soal Matematika sukar dicerna siswa. Soal Matematika di Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2018 jauh berbeda dari soal try out yang selama ini telah dipelajari siswa.
Slamet Maryanto, guru Matematika yang juga pengurus Serikat Guru Indonesia Jakarta, mengatakan, keluhan soal Matematika, terutama Matematika IPS, tersebut terkait dengan jumlah dan cakupan materi tidak sesuai kisi-kisi.
Andi Ainul, siswa kelas XII IPS di salah satu sekolah di Jakarta, mengeluhkan soal Matematika UNBK yang dirasakannya sukar. Soal tersebut sangat berbeda jauh dari try out sebelumnya.
Menurut Ainul, contoh soal yang belum dipelajari adalah cotangen dan matriks pecahan. Juga ada soal yang jawabannya salah. Kalimat penjelasan dalam soal juga kurang. ”Bingung, harus diapakan. Kami sangat kecewa dengan soal ini. Kami saja yang di Jakarta susah mengerjakannya, bagaimana teman-teman di daerah. Kami hanya berdoa nilai UNBK kami tetap bagus,” kata Ainul.
Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim mengatakan, soal di UN juga mulai banyak tipe high order thinking skills (HOTS) yang menuntut kemampuan bernalar yang baik. Padahal, faktanya, saat ini siswa masih berpikir di level tingkat rendah (lower order thinking skill), sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai ujian internasional, seperti The Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).
Satriwan menambahkan, keterampilan berpikir HOTS tersebut mestinya bukan dititikberatkan di akhir pembelajaran siswa di soal ujian nasional. ”Sebaiknya berpikir tingkat tinggi itu lebih ditunjukkan dalam proses pembelajaran selama tiga tahun itu. Menguji seorang anak dengan soal yang tidak pernah diajarkan adalah bentuk ketidakadilan,” kata Satriwan.
Secara terpisah, praktisi pendidikan Weilin Han mengatakan, HOTS merupakan keterampilan berpikir yang harus terus-menerus dilatih sejak pendidikan dasar, bahkan usia dini. ”Penguasaan keterampilan menalar dan membuat siswa kreatif hingga mampu menemukan solusi dengan memakai bidang ilmu yang dipelajarinya merupakan sebuah proses, tidak bisa instan. Hal ini harus dimulai dari pembelajaran, bukan sekadar di ujian, termasuk ujian nasional,” ujar Weilin.
Weilin mengatakan pembelajaran HOTS menuntut para guru yang mampu meyakinkan siswa bahwa materi yang dipelajari berguna untuk kehidupan sehari-hari. "Penguasaan konsep/teori bukan hanya dihafalkan. Tapi dibawa untuk mmpu diaplikasikan dalam hal-hal yang sederhana hingga rumit. Pembuat kebijakan harus bisa merumuskan pembelajaran HOTS yang mampu dikembangkan para guru. Jadi, kita jangan sibuk di UN saja untuk menguji HOTS," jelas Weilin.
Heru menambahkan, jika ingin para siswa kita berpikir pada level HOTS, guru harus menampilkan proses pembelajaran yang HOTS pula di dalam kelas (sekolah). Percuma saja soal-soal ujiannya di level tinggi, tetapi proses pembelajaran siswa tidak pernah menyentuh kemampuan berpikir kritis, evaluatif, dan kreatif.
“Fakta di ruang-ruang kelas selama ini, ketika menjelang UN, para guru dan siswa hanya fokus men-drill soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya, try out beberapa kali yang diselenggarkan sekolah dan Dinas Pendidikan setempat, siswa dilatih untuk mampu menjawab soal-soal secara cepat-tepat,” ujar Heru.
Masih dugaan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno mengemukakan, masih terlalu dini untuk menyimpulkan soal-soal ujian nasional bermasalah, termasuk ketika soal HOTS diberikan. ”Semua masih dugaan-dugaan. Nanti dari analisis hasil UN bisa dicari indikasinya,” kata Totok.
Mengenai komposisi soal UN dengan tipe HOTS kata Totok, belum ada perubahan signifikan. Soal-soal penalaran tetap empat atau lima soal. Selain itu, kisi-kisi UN memang dibuat generik, tidak mengarah ke bentuk soal tertentu.
"Strategi ini menuntut guru dan siswa mengedepankan pemahaman konsep dalam pembelajaran. Agar sekolah tidak terjebak dalam proses drilling menelang UN," kata Totok.
Totok menolak anggapan penyajian soal HOTS sebagai strategi yang tiba-tiba. Sejak tiga tahun, soal HOTS lalu sudah diintrodusir.
Totok mengatakan direktorat jenderal pendidikn dasar dan menengah juga sudah melaksanakan berbagai training HOTS, dan secara intensif sejak 2016. Selain itu, tiap tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud juga sudah mendistribusikan hasil analisis UN yan bisa digunakan untuk refleksi dan perbaikan.
"Diagnostik per sekolah, mata pelajaran, bahkan lingkup materi, sudah ada. Kami sesungguhnya berharap hasil diagnostik ini betul-betul menjadi dasar perbaikan Assessment for learning atau tes untuk perbaikan proses pembelajaran," kata Totok.
Namun, lanjut Totok, pemanfaatan diagnostik UN dari tahun ke tahun tampaknya belum optimal. "Masih banyak yang percaya bahwa pemahaman bisa didapat secara instan melalui try out dan drilling. Hal ini nampak dari banyak keluhan anak-anak bahhwa soal UN tidak sama atau tidak mirip try out," kata Totok.
Menurut Totok pihaknya akan tetap ammelakukan evaluasi atas muatan-muatan soal UN, untuk perbaikan terus menerus. "Mungkin, cermin pembelajaran yang terlihat di UN, masih sulit siterima. Ibaratnya, kita sulit menerima, ketika becermin lalu melihat wajah kita berjerawat," terang Totok. (ELN)