Serangan Senjata Kimia di Suriah Dibahas di Den Haag
DEN HAAG, SENIN - Pengawas senjata kimia dunia, yakni Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons/OPCW), menggelar rapat darurat pada Senin (16/4/2018) ini di Den Haag, Berlanda, untuk membahas serangan senjata kimia di Suriah.
Serangan senjata kimia oleh yang diduga dilakukan oleh rezim Suriah terhadap warga sipil di Douma, kota di dekat Damaskus, pekan lalu, telah mendorong gelombang serangan militer oleh AS dan dua sekutunya di Barat.
Hingga Senin (16/4/2018) ini, investigasi di lapangan masih dilakukan. Sementara dampak dari respons militer asing yang dipimpin AS juga telah memicu kecaman publik.
Presiden Perancis Emmanuel Macron mengklaim bahwa dia telah berkomunikasi dengan Presiden AS Donald Trump dan membujuknya untuk tetap mempertahankan pasukan AS di Suriah.
Di London, Perdana Menteri Inggris Theresa May akan menghadapi sidang darurat parlemen pada Senin ini atas keterlibatan negara itu dalam operasi militer bersama AS dan Perancis di Suriah.
Serangan udara pimpinan AS pekan lalu ke gudang penyimpan yang diduga senjata kimia rezim Presiden Bashar al-Assad merupakan serangan terbesar sejak dimulainya perang tujuh tahun Suriah.
AS, Perancis, dan Inggris mendapat reaksi keras Moskwa, sekutu penting rezim Suriah. Presiden Vladimir Putin memperingatkan, serangan itu bisa memicu "kekacauan".
Namun, Washington berjanji akan menerapkan sanksi ekonomi terhadap Rusia ketimbang aksi militer lebih lanjut.
Rudal AS, Perancis, dan Inggris menghancurkan situs-situs yang dicurigai sebagai tempat pengembangan dan penyimpanan senjata kimia milik rezim Suriah, Sabtu (14/4/2018).
Serangan tersebut dipuji Presiden Donald Trump, yang menyebutnya sebagai "eksekusi yang sempurna" – sekalipun bangunan yang menjadi obyek serangan itu kosong.
Trio negara Barat dengan cepat kembali ke upaya diplomatik. Para pemimpin Perancis, Inggris, dan AS berusaha menanggapi berbagai kritik dan kecaman di dalam negeri terkait serangan ke Suriah itu.
Namun sikap padu mereka terguncang Minggu (15/4/2018) ketika Washington membantah kembali klaim Presiden Perancis Emmanuel Macron bahwa Paris telah meyakinkan Trump untuk tetap terlibat di Suriah "untuk waktu yang lama".
Gedung Putih, Minggu (15/4/2018) malam, menegaskan, tujuan kehadiran Amerika Serikat di Suriah tidak berubah sekalipun muncul banyak kecaman atas serangan ke negara yang sudah tujuh tahun dilanda perang saudara itu.
”Misi AS tidak berubah, sekalipun Presiden Donald Trump menginginkan agar pasukan AS segera pulang,” ujar Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Sanders dalam sebuah pernyataan.
Sanders mengatakan, AS bertekad untuk sepenuhnya menghancurkan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan menciptakan kondisi yang akan mencegah kemunculannya kembali.
”Selain itu, kami juga mengharapkan sekutu regional dan mitra kami mengambil tanggung jawab yang lebih besar secara militer dan finansial untuk mengamankan kawasan itu,” kata Sanders.
Serangan pada Sabtu (14/4/2018) lalu terjadi hanya beberapa jam sebelum tim ahli dari OPCW tiba di Damaskus untuk memulai penyelidikan.
Mereka telah ditugaskan untuk menyelidiki lokasi dugaan serangan 7 April di kota Douma, di daerah yang sebelumnya dikuasai pemberontak Ghouta Timur.
Barat mengatakan, serangan itu melibatkan senjata kimia seperti gas klorin dan gas sarin, yang menyebabkan puluhan orang tewas.
OPCW rencananya akan menggelar pertemuan di Den Haag, Belanda, Senin siang waktu setempat atau Senin petang WIB untuk menyikapi serangan gas beracun di Douma. Ketika berita ini diturunkan pada Senin ini pukul 19.00 WIB, pertemuan sedang berlangsung.
Meski demikian, belum ada tanda-tanda bahwa para peneliti telah melakukan perjalanan ke Douma untuk memulai kerja lapangan mereka.
Para ahli menghadapi tugas yang sulit. Sebab, semua pemain kunci telah mengungkap apa yang belum ditemukan oleh para ahli itu. Barat, misalnya, membenarkan serangannya ke Suriah karena sudah memiliki bukti bahwa senjata kimia tekah digunakan Damaskus untuk menyerang Douma.
Tim juga harus menghadapi risiko bahwa bukti mungkin dihapus dari lokasi serangan senjata kimia, yang terletak di area yang telah dikuasi polisi militer Rusia dan militer Suriah dalam seminggu ini.
"Kemungkinan itu selalu harus diperhitungkan dan penyelidik akan mencari bukti yang menunjukkan apakah lokasi kejadian telah dirusak," kata Ralf Trapp, konsultan dan anggota misi OPCW.
Menurut OPCW, stok senjata kimia Suriah telah ditutup pada 2014. Namun, mereka belakangan juga menegaskan, gas sarin digunakan dalam serangan pada 2017 kota Khan Sheikhun.
"Kami akan memastikan mereka dapat bekerja secara profesional, obyektif, tidak memihak dan bebas dari tekanan apa pun," kata Asisten Menteri Luar Negeri Suriah, Ayman Soussan.
Hanya beberapa jam setelah serangan Barat ke situs senjata Suriah, tentara Damaskus menyatakan telah merebut lagi Ghouta Timur; kemenangan utama bagi rezim Presiden Bashar al-Assad.
Tidak lama setelah fajar yang menerangi langit malam Damaskus, Presiden Trump dalam kicauannya di Twitter menyambut gembira dengan mengatakan, "misi telah dicapai".
Namun, kicauan Trump itu mengundang kecaman dari para kritikus dan mensejajarkannya dengan pidato kemenangan perang Irak Presiden George W Bush 15 tahun silam.
Pentagon mengatakan, tak ada aksi lebih lanjut yang direncanakan tetapi Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, memperingatkan bahwa Washington akan melakukan tindakan yang diperlukan.
Haley kemudian mengatakan, sanksi untuk Rusia akan diumumkan. Kemungkinan sanski itu bakal disiarkan pada Senin ini dengan menyasar sejumlah perusahaan Rusia yang membantu rezim Suriah.
Putin mengatakan kepada mitranya di Iran, Hassan Rouhani, juga sekutu Assad, bahwa setiap serangan baru Barat di Suriah akan memicu "kekacauan dalam hubungan internasional." (AFP/REUTERS/AP)