Jalan Berdarah Sebelum Perayaan Ke-17
Senin (16/4/2018) seharusnya menjadi hari bahagia bagi Mickro Pratama yang berulang tahun ke-17. Kediamannya yang sederhana di Sidoarjo, Jawa Timur, semestinya semarak dengan kedatangan saudara, kerabat, dan teman yang membawa hadiah.
Namun, bukan hadiah yang banyak terpampang di rumah nomor 233 Jalan Brigjen Katamso Gang 4, RT 030 RW 006 Kedungrejo, Waru, Sidoarjo, melainkan karangan bunga dukacita, antara lain dari Polda Jatim, Polresta Sidoarjo, Polda Jateng, Polresta Surakarta, Persebaya Surabaya, juga pendukung klub sepak bola, terutama Bonek, Bobotoh, dan Pasoepati.
Micko tak bisa menerima kedatangan dan ucapan selamat teman-teman dari Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan SMK Darma Siswa 1, SMK Darma Siswa 2 dan SMA Plus Darma Siswa, Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa, dan Bonek atau pendukung militan Persebaya Surabaya. Sulung dari tiga bersaudara itu beristirahat kekal dalam kubur tanah merah berselimut taburan kembang di Taman Pemakaman Islam, Dusun Balongpoh, lebih kurang 200 meter dari kediaman.
Batal pula niat Sukemi dan Mariana, orangtua, memberikan jersey atau kostum Persebaya sebagai hadiah ulang tahun. ”Kami berusaha tegar memberikannya doa restu dan keikhlasan agar Micko tenang di akhirat. Mohon maafkan anak sulung kami jika semasa hidup banyak salah. Mohon ikhlaskan kepergiannya,” ujar Sukemi dengan nada berat tetapi berusaha tegar saat menerima penulis di kediaman, Minggu (15/4/2018) malam.
Menurut Sukemi, Micko mengembuskan napas terakhir di RSUD dr Moewardi, Surakarta (Solo), Sabtu (14/4/2018) jelang pukul 07.00. Micko meninggal dengan luka dan cedera berat di mata kanan dan kepala belakang. Di sekujur tubuh juga ada luka dan lebam akibat pukulan, tendangan, hantaman kayu, dan lemparan batu.
Micko dan 11 Bonek menjadi korban penganiayaan sekelompok pemuda beringas di depan Pasar Sidodadi, Kleco, Jalan Brigjen Slamet Riadi, Solo, Sabtu dini hari itu. Mereka diserang, dilempari batu, dan dikeroyok dalam perjalanan pulang setelah menonton laga Persebaya vs PS Tira di Stadion Sultan Agung, Bantul, DI Yogyakarta. Pertandingan dimenangi tim tamu ”Bajul Ijo”, julukan Persebaya, dengan skor 4-1.
Sukemi mengatakan, saat insiden berdarah di Solo, dirinya belum tidur karena cangkrukan atau mengobrol bersama tetangga. Sekitar pukul 01.00, Mariana membaca pesan Whatsapp dari Micko bahwa si sulung dalam perjalanan ke Surabaya menumpang truk bak terbuka.
Mereka belum menyadari sesuatu yang mengerikan menimpa putra kesayangan. Tiba-tiba datang seseorang membawa kabar Micko menjadi korban penganiayaan di Solo bersama sejumlah Bonek dan dirawat di RSUD dr Moewardi.
”Saat itu, perasaan saya mendadak tidak enak,” ujar Sukemi. Ia segera menelepon RSUD yang memintanya segera datang. Desakan itu meruntuhkan keteguhan hati Sukemi menjadi kecemasan tiada tara terhadap nasib putranya.
Dengan pengawalan estafet Polda Jatim dan Polda Jateng, Sukemi mencapai RSUD pada Sabtu subuh. Micko kritis dan menjelang pukul 07.00, remaja itu menyerahkan nyawanya. Sukemi merasa hampa. Kalah.
Ia ingin berteriak dan menggugat, tetapi kepada siapa? Sepak bola yang amat dicintainya juga putranya telah ”merenggut” yang paling berharga dalam kehidupan keluarganya. ”Tolonglah, Micko yang terakhir. Hentikan kekerasan dan kegilaan ini. Mau sampai kapan sepak bola terus meminta tumbal,” kata Sukemi.
Micko mengidolakan Rachmat Irianto, bek muda ”Bajul Ijo”, anak legenda hidup dan Pelatih Persebaya U-19 ”Bejo” Sugiantoro. Malam duka di Sidoarjo, Bejo juga datang dan menyampaikan belasungkawa.
Bejo memberi nama anaknya Rachmat Irianto, terinspirasi dari legenda Persebaya, gelandang bertendangan geledek Eri Irianto, yang meninggal seusai laga pada 3 April 2000 atau 18 tahun lalu. Jika Eri hidup dari dan untuk sepak bola sebagai pemain profesional, Micko memberikan hidupnya untuk sepak bola, terutama Persebaya.
Janji terakhir
Dengan kondisi masih terpukul, Mariana mengatakan, sebenarnya dirinya tak mengizinkan Micko pergi ke Bantul. Tak seperti biasanya, jika Micko ingin menonton tim kesayangannya itu, orangtua selalu memberi uang saku. Untuk tiket, Micko membelinya dari menabung atau menjual barang pribadi: sepatu, pakaian, bahkan buku.
”Micko juga berjanji pergi ke Bantul akan menjadi yang terakhir dengan nge-bonek,” ujar Bambang Sudio, paman Micko. Cara nge-bonek mungkin berarti pergi benar-benar tanpa atau amat sedikit modal (bondho) uang untuk ongkos perjalanan, makan minum, bahkan membeli tiket pertandingan, tetapi dengan keberanian ekstrem alias nekat. Cara yang dipakai biasanya kurang terpuji, yakni ”memaksa” menumpang mobil pikap atau truk bak terbuka secara estafet sampai di lokasi dan diselingi jalan kaki bergerombol.
Cara estafet itu berbeda dengan Tret Tret Tret yang populer sejak 1980. Secara terorganisasi Bonek pergi berkelompok menyewa bus atau truk, punya uang untuk membeli makanan minuman, dan telah memegang tiket atau uang untuk membeli karcis. ”Diakui atau tidak, Bonek adalah pelopor suporter modern Indonesia,” ujar pencetus Bonek, Slamet Oerip Pribadi, dalam buku Bonek Komunitas Suporter Pertama dan Terbesar di Indonesia karya Fajar Junaedi.
Bonek adalah pewaris semangat para pejuang Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Perang semesta itu melibatkan 20.000 laskar dan 100.000 sukarelawan Indonesia bermodal senjata pampasan melawan 30.000 tentara Inggris dan sekutu yang ditunjang sebagian kekuatan skuadron dan armada pemenang Perang Dunia II itu.
Perang yang menewaskan 16.000 jiwa di pihak Indonesia dan hampir 2.000 jiwa di pihak Inggris dan sekutu, termasuk Brigadir Jenderal AWS Mallaby, itu tidak akan terjadi jika Indonesia yang dimotori Arek Surabaya tidak melawan dengan keberanian ekstrem (bondho nekat/bonek) demi mengusir kekuatan yang dianggap akan kembali menjajah.
Manajer Persebaya Surabaya Chairul Basamah amat mengharapkan ada perbaikan pengaturan keamanan untuk pendukung. Micko harus benar-benar menjadi korban terakhir. Kekerasan dalam sepak bola, apa pun alasannya, harus dihentikan.
Hasan Tiro, salah seorang Bonek yang dihormati, mengatakan, Bonek mendukung keluarga menempuh jalur hukum pengusutan kasus penganiayaan yang menewaskan Micko. Komunitas Bonek telah bersepakat menindak tegas kalangan Bonek yang terlibat kejahatan dalam perjalanan mendukung laga tandang Persebaya.
Benarkah Micko korban terakhir kekerasan terkait sepak bola? Jikapun tidak, Bonek tidak akan gentar meski kekerasan tak selalu dilawan dengan kekerasan. Mereka tetap akan meledakkan ”Salam Satu Nyali! Wani!” di mana pun. Mereka sebenarnya adalah kita yang juga bernyali dan berkeberanian untuk berpikir, berucap, dan bertindak dalam terang kebenaran. Namun, di sisi mana, terang atau gelap, diri akan ditempatkan?