Iqbal Basyari/Agnes Swetta Pandia/Frans Pati Herin
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Dosen fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Raja Oloan Saut Gurning, Senin (16/4/2018) di Surabaya, menilai, pemerintah perlu meningkatkan kemampuan kapal-kapal pelayaran rakyat hingga memenuhi standar keselamatan dan kelaikan kapal. Sebab, pelayaran rakyat masih dibutuhkan masyarakat, terutama warga kepulauan yang belum tersentuh pelayaran dengan kapal besar.
“Pemerintah harus memastikan armada pelra yang beroperasi tersertifikasi, baik konstruksi kapal yang biasanya berbahan kayu, sertifikasi awak kapal, peralatan komunikasi dan navigasi sederhana, serta proses marinisasi permesinan kapal yang selama ini biasanya bermesin truk darat yang diubah menjadi menjadi mesin laut,” katanya.
Dalam segi keselamatan, tutur Saut, pelra dapat dikatakan tidak memenuhi syarat. Hal ini disebabkan kapal tersebut tidak didesain untuk pelayaran. Akibatnya, standar yang ditetapkan untuk sebuah perahu pelayaran tidak bisa terpenuhi. “Secara khusus seharusnya kita memiliki peraturan kelaikan kapal untuk konstruksi kayu dengan persyaratan minimal yang layak untuk wilayah di perairan Indonesia agar kapal pelra bisa memenuhi standar sesuai lokasi operasional,” ucapnya.
Adapun di Indonesia untuk kapal penumpang dan barang masih relatif merujuk pada tipe berbahan baja dan logam, seperti diatur oleh Konvensi Safety of life at Sea (SOLAS), dan standar kapal non-konvensi (Non-Conventional Vessel Standard, NCVS). Indonesia juga sudah memiliki NCVS, namun belum lengkap untuk pengaturan armada pelayaran rakyat.
Oleh sebab itu, peningkatan kemampuan pelra hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemilik barang yang ada di daerah. Kebanyakan pelra yang ditinggalkan penumpang membuat keuntungan pemilik kapal rendah. Biaya perawatan atau pun untuk meningkatkan kemampuan kapal menjadi tidak tersedia. Keuntungan mereka hanya cukup untuk biaya operasional kapal dan upah anak buah kapal.
“Diperlukan dukungan subsidi armada pelra untuk mendorong pemenuhan regulasi atau sertfikasi minimal armada pelra, pendidikan awak kapal, biaya operasional, biaya sandar, dan biaya bongkar-muat di pelabuhan pelra,” kata Saut.
Pengelolaan pelra juga bisa dilakukan antara pemilik kapal bersama dengan pemerintah daerah, BUMD di daerah, koperasi, pemilik barang di daerah agar mampu memenuhi standar yang ditetapkan.
Perlu insentif
Dosen Teknik Kelautan ITS Daniel Rasyid menambahkan, pemerintah perlu memberikan insentif kepada pelaku pelra agar bisa berkembang. Sebab, secara geografis ada wilayah transportasi antar pulau yang hanya bisa diakses dengan perahu kecil yang dioperasikan pelra. “Pelra juga bisa mendukung sektor wsiata bahari, seperti di Gili Iyang, Sumenep,” ucapnya.
Kepala Bagian Humas Pemprov Maluku Bobby Palapia di Ambon, Senin (16/4/2018), mengatakan, belum ada data resmi terkait jumlah kapal pelayaran rakyat di Maluku. Pelayaran rakyat di Maluku umumnya melayani ibu kota kabupaten/kota dengan desa-desa dalam kabupaten. Ada pula sebagian kecil yang melayani rute antarkabupaten serta provinsi terdekat.
Rute pelayaran rakyat dari Kota Ambon kebanyakan dengan tujuan pulau-pulau di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Pulau Buru di Maluku, serta Pulau Obi di Maluku Utara. “Kapal pelayaran rakyat itu kebanyakan melayani warga di pesisir yang tidak punya pelabuhan atau tambatan perahu,” kata Bobby.
Namun, pemerintah daerah, lanjut Bobby, belum memiliki program khusus untuk mendorong pelayaran rakyat melakukan peremajaan kapal. Salah satu kendala adalah anggaran. Meski begitu, pemerintah berjanji memberikan kemudahan perizinan bagi pihak swasta yang ingin membuka rute di Maluku.
“Bukan berarti mengabaikan kapal kayu, tetapi inilah perubahan. Penumpang dan pengusaha membutuhkan waktu yang lebih cepat untuk suatu perjalanan,” kata Bobby.