Memasarkan Kekayaan “Brang Wetan”
Kementerian Pariwisata berambisi meraup penerimaan negara senilai Rp 312 triliun sepanjang tahun ini atau kurun 2019. Devisa itu bisa didapat jika sektor pertamasyaan mampu menarik kunjungan 20 juta turis mancanegara dan perjalanan 275 juta pelancong nusantara.
Jatim tidak ingin ketinggalan. Provinsi yang di era Kesultanan Mataram disebut ‘Brang Wetan’ atau seberang timur ini menargetkan menarik kunjungan 1 juta wisatawan luar negeri dan perjalanan 60 juta petandang domestik. Devisa yang diharapkan menembus Rp 30 triliun.
Jika pariwisata Jatim dilihat sekadar dari sisi upaya membuat pelancong merogoh kocek untuk pelesiran itu, jalan mencapai target bisa dianggap sudah pas. Tahun lalu, kunjungan turis asing dari pintu imigrasi bandara 626.000 orang atau naik 1 persen daripada 2016 yang 619.000 orang. Para pelawat menghabiskan waktu rerata enam hari dan mengeluarkan Rp 2 juta per hari. Total pengeluaran mereka setahun menembus Rp 7,1 triliun.
Pergerakan turis domestik lebih kinclong dari sisi pendapatan. Ada pergerakan 58,7 juta orang selama tahun lalu yang naik 7,5 persen daripada 2016 yang 54,6 juta orang. Populasi di Jatim menembus 40 juta jiwa pada akhir 2017. Namun, petandang dalam negeri ini rerata menghabiskan waktu dua hari dan mengeluarkan biaya Rp 240.000 per hari. Total pengeluaran menembus Rp 23,9 triliun.
Apa yang dimiliki dan bisa dijual oleh provinsi bermotto “Jer Basuki Mawa Beya” ini? Setidaknya 784 daerah tujuan wisata alam (265 objek), budaya (320 objek), dan buatan (199 objek) yang tercatat oleh pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Itu ditunjang 1.883 penginapan berupa hotel, resor, wisma, pondok, grha, dan losmen dengan kategori bintang 1-5 atau melati. Selain itu, 3.753 restoran, kafe, bar, dan kedai makan minum. Ada 1.461 usaha perjalanan wisata.
“Masih banyak objek dan sarana pendukung yang belum tercatat karena masih baru atau belum begitu populer,” ujar Ketua ASITA Jatim Arifudinsyah, Senin (16/4/2018). Sebagai contoh, di bursa dan pameran terpadu wisata Majapahit Travel Fair ke-19 yang ditutup pada Minggu (15/4/2018) di pusat belanja Grand City Surabaya, dihadirkan stan perwakilan 22 desa wisata yang belum semuanya dikenal oleh penikmat tamasya.
Mengundang pembeli
Kadisbudpar Jatim Jarianto mengatakan, MTF merupakan salah satu upaya terpadu untuk mempromosikan pariwisata Jatim terutama ke mancanegara. Untuk itu, jantung kegiatan ialah bursa wisata dengan mengundang para pembeli dari mancanegara. Bursa wisata menghasilkan komitmen pembelian 3.431 paket program senilai Rp 59 miliar yang naik daripada sebelumnya Rp 58 miliar.
Untuk menguatkan pesan kepada dunia, pameran dikemas dalam tema Keunikan Budaya. Itu diwujudkan dalam keragaman stan pameran yang mewakili delapan sub-etnis Jatim yakni kelompok mayor Mataraman, Arek, Madura, Pandalungan dan kelompok minor Panoragan, Tengger, Osing, Samin. Namun, jika mengacu pada penelitian sosiolog Universitas Negeri Jember, Ayu Sutarto, masih ada dua sub-etnis lainnya di Jatim yakni kelompok minor Madura Bawean dan Madura Kangean.
Bursa dan pameran wisata terpadu berikutnya yang berskala setara MTF ialah Jatim Fair ke-9 yang akan berlangsung pada Oktober 2018 di tempat yang sama. Menurut Jarianto, Jatim Fair bisa dianggap sebagai upaya promosi ke dalam untuk menggairahkan pariwisata domestik. Itu belum termasuk keikutsertaan Jatim di bursa dan pameran wisata di provinsi lain atau luar negeri.
Bahkan, menurut Wakil Ketua PHRI Jatim Dwi Cahyono, kegiatan terpadu juga dilaksanakan oleh maskapai, bank, komunitas wisata, dan 38 pemerintah kabupaten/kota. “Hampir setiap minggu ada festival, pameran, bursa, di seluruh Jatim. Potensi perputaran uang pariwisata bisa dianggap melebihi catatan pemerintah,” katanya.
Hampir setiap minggu ada festival, pameran, bursa, di seluruh Jatim. Potensi perputaran uang pariwisata bisa dianggap melebihi catatan pemerintah
Di MTF misalnya, Bromo, Ijen, Baluran, Batu, Malang, dan Surabaya menjadi objek-objek wisata yang paling diminati untuk dijual oleh agen-agen wisata mancanegara. Itu tidak jauh berbeda dibandingkan dengan catatan penjualan karcis lima objek paling diminati turis asing kurun 2017 yakni Ijen, Bromo, Tamansari, House of Sampoerna, dan Alas Purwo. Untuk wisatawan domestik, kunjungan tertinggi ke Makam Sunan Bonang, Makam Ibrahim Asmoro, Kebun Binatang Surabaya, Makam Sunan Giri, Alun-Alun Lumajang, dan Pantai Ria Kenjeran. “Kunjungan ke makam sunan menunjukkan wisata religi amat diminati termasuk oleh turis asing terutama dari Malaysia mungkin karena kedekatan geografis sekaligus ada hubungan sejarah di masa lalu terkait penyebaran Islam,” ujar Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Jatim Nazarudin Priyantono.
Lalu tantangan apa yang dihadapi pariwisata Jatim? Secara umum ialah diskriminasi dan degradasi. Untuk menarik lebih banyak wisatawan mancanegara, perlu dipikirkan perubahan aturan yang mengharuskan mereka membayar retribusi lebih banyak daripada turis domestik. Kalau bernafsu mendapatkan uang dari retribusi, mengapa bukan menaikkan tarif untuk pelancong nusantara karena pergerakan mereka jauh lebih tinggi daripada turis asing. Selain itu, hapus stigma membedakan pelayanan. Turis domestik atau asing harus diberi pelayanan setara dan istimewa. “Paradigma yang harus dipakai oleh semua pelaku usaha pariwisata ialah melayani turis layaknya raja secara memuaskan. Dengan itu ada peluang mereka untuk terus datang kembali,” kata Dwi.
Degragasi atau penurunan kualitas objek terjadi ketika pengelola gagal mempertahankan keresikan dan keindahan. Keluhan pelancong tentang suatu objek wisata yang banyak sampah, kotoran kuda atau binatang peliharaan, pelayanan pemandu kurang ramah, kedai makan minum bertarif mencekik, hingga toilet kurang atau jorok tak boleh disepelekan.
Celakalah jika pengabaian terhadap kelestarian objek terdokumentasi dan disebarluarkan di jagad maya lalu mendapat kritik, kecaman, dan cibiran. Unggahan negatif di media sosial bisa mendorong suatu objek ditinggalkan dan seluruh sektor di sekitarnya sepi dan merugi. Kampanye untuk kembali merebut kepercayaan wisatawan akan menguras sumber daya dan waktu.