Moda Sungai Nyaris Punah
BANJARMASIN, KOMPAS Angkutan sungai di Pulau Kalimantan semakin terpinggirkan seiring membaiknya jalan darat dan tersedianya transportasi udara. Jumlah kapal penumpang dan barang yang tersisa sudah jauh berkurang. Faktor keselamatan juga terabaikan karena minim fasilitas keselamatan seperti pelampung.
Di Kalimantan Selatan, kini tersisa tiga kapal penumpang, yaitu KM Pancar Mas 2 untuk rute Banjarmasin-Muara Teweh (Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah) serta KM Karmila 2 dan KM Makhlufi untuk Banjarmasin-Negara (Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel).
Usia kapal kayu itu lebih dari 10 tahun. Cat kapal, Senin 16/4/2018), terlihat kusam. Peralatan keselamatan berlayar, terutama pelampung, jumlahnya sangat sedikit.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pelabuhan dan Penyeberangan Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin Imanuddin mengatakan, sudah 20 tahun angkutan sungai kalah bersaing dari transportasi darat.
”Angkutan sungai mulai berkurang sejak Jembatan Barito selesai dibangun pada tahun 1997. Sejak ada jembatan dan jalan beraspal, masyarakat beralih dari angkutan sungai ke darat,” kata Imanuddin. Angkutan darat menjadi pilihan karena waktu tempuhnya lebih cepat.
Dulu, angkutan sungai menjadi moda transportasi utama dari ”Kota Seribu Sungai” Banjarmasin menuju sejumlah daerah di Kalteng dan Kalsel. Warga dari sejumlah daerah datang ke Banjarmasin untuk berbelanja kebutuhan pokok dan menempuh pendidikan tinggi.
Sejak 1980 sampai 1990, kata Kepala Dermaga Banjar Raya Banjarmasin Ferry Tisna Permana, jumlah kapal penumpang atau bus air di Dermaga Banjar Raya masih 30 kapal. ”Sejak 2016 hanya tinggal tiga kapal motor dari Kalteng di Dermaga Banjar Raya. Dua kapal khusus barang dan satu kapal untuk penumpang dan barang,” tutur Ferry.
Meski jauh berkurang, moda angkutan sungai tetap diperlukan, terutama oleh warga di pesisir sungai. Menurut Siti Barkiyah (41), penumpang KM Karmila 2, dengan naik kapal ia bisa naik dan turun di depan rumah. Kalau naik bus, harus ke terminal dulu. ”Naik kapal juga nyaman dan murah. Kalau naik bus, saya pasti mabuk,” kata Barkiyah yang naik kapal dari Desa Patih Muhur, Anjir Muara, Barito Kuala, di pesisir Sungai Barito dan turun di Desa Bajayau, Daha Barat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan di pesisir Sungai Negara.
Dari Patih Muhur ke Bajayau, Barkiyah hanya membayar Rp 20.000. Dua anaknya yang masih SD gratis. Ia juga bisa membawa banyak barang guna menghadiri acara pernikahan kerabat. ”Kalau naik bus, ongkosnya pasti lebih dari Rp 100.000,” ujarnya.
Tak bertahan lama
Di Kalimantan Timur, pelayaran rakyat oleh kapal-kapal kayu di Sungai Mahakam, Kaltim, juga mulai ditinggalkan. Hilir mudik kapal kayu dua lantai berkapasitas hingga 200 orang di Sungai Mahakam terus berkurang karena publik beralih ke jalur darat.
Kepala Dinas Perhubungan Samarinda Ismansyah mengatakan, angkutan sungai sulit bertahan. ”Jika pembangunan jalan semakin ke hulu sungai dan jalanan semakin bagus, kami tidak tahu bagaimana kelanjutan pelayaran rakyat,” ujarnya.
Kini tersisa empat trayek (jurusan) kapal-kapal kayu di Sungai Mahakam yang panjangnya 920 kilometer. Keempatnya adalah Samarinda-Melak (325 kilometer), Samarinda-Long Iram (409 kilometer), Samarinda-Damai (269 kilometer). Satu lagi trayek Samarinda-Long Bagun yang mencapai 523 kilometer dan belum terjangkau akses darat.
Jumlah ini anjlok dari sebelum tahun 2000 yang masih 22 trayek. Jumlah kapal pun merosot. Saat ini hanya terdapat 31 kapal untuk trayek itu, padahal tahun 2012 masih terdapat 57 kapal. Sekarang, 4 trayek ini dilayani satu kapal setiap hari dan keterisian penumpang diprediksi hanya 40-50 persen. ”Penumpang memilih naik mobil dibandingkan kapal karena waktu tempuhnya lebih singkat 70 persen,” ujar Ismansyah.
Sebagai gambaran, jika menggunakan kapal dari Samarinda menuju Melak sejauh 325 kilometer menyusuri Sungai Mahakam butuh waktu sekitar 20 jam, sedangkan jika menggunakan mobil sekitar delapan jam. Adapun menggunakan pesawat baling-baling sekitar satu jam.
Pemilik kapal pun kesulitan menutup biaya operasional. Yuraidi (32), pengusaha atau pemilik KM Karya Utama 77F, mengeluhkan kondisi ini. ”Kapal bisa mengangkut 180 orang, tetapi sekarang 50-75 orang. Pernah juga 25 orang,” ujarnya.
Gulung tikar
Biaya operasional kapal yang tinggi, tanpa diimbangi pemasukan, membuat mayoritas pemilik kapal perlahan gulung tikar. Mereka menjual atau mengalihfungsikan kapalnya sebagai kapal barang. Yang bertahan terengahengah menjalankan.
”Sekali perjalanan pergi pulang untuk biaya solar saja habis Rp 8 juta. Dengan penumpang hanya 50-an orang, mau dapat apa? Memang masih ada barang yang kami angkut dan uang dari penjualan makanan minuman. Itu cukup untuk bertahan sekarang meski minim. Namun, bagaimana ke depan, kami tidak tahu,” ujar Yuraidi.
Pelayaran rakyat di Kalimantan Barat juga mulai ditinggalkan. Erwin (35), salah satu petugas kapal barang rute Kabupaten Kapuas Hulu-Kota Pontianak, mengatakan, pelayaran rute Kapuas Hulu-Pontianak sejauh 577 kilometer sudah sepi. Kalaupun ada, hanya mengangkut barang dagangan. Masyarakat memilih angkutan darat yang lebih cepat atau pesawat.
Dosen Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Raja Oloan Saut Gurning, menilai pemerintah perlu meningkatkan kemampuan kapal-kapal pelayaran rakyat hingga memenuhi standar keselamatan dan kelaikan. Sebab, pelayaran rakyat masih dibutuhkan masyarakat, terutama warga kepulauan yang belum tersentuh pelayaran dengan kapal besar.
Kepala Dinas Perhubungan Kalimantan Timur Salman Lumoindong menambahkan, pengawasan terkait dengan standar pelayaran kapal air di Sungai Mahakam terus dilakukan. (PRA/JUM/FRN/ESA/SYA/ETA)