Saksi Ahli: Terdakwa Dianggap ”Ulama” oleh Jaringan Teroris Pendukung NIIS
Oleh
DD09
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus aksi terorisme di Jalan MH Thamrin dan Kampung Melayu, Aman Abdurrahman alias Oman Rochman, dianggap sebagai ”ulama” oleh jaringan teroris di Indonesia yang mendukung Negara Islam di Irak dan Suriah. Pengetahuan agama yang dipahami terdakwa menjadi acuan.
Sosok terdakwa Aman sebagai ”ulama” atau ahli ideologi bagi jaringan teroris itu dipaparkan oleh Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin, dalam sidang. Solahudin dihadirkan jaksa penuntut umum dalam sidang kasus teror di Jalan MH Thamrin dan Kampung Melayu sebagai saksi ahli.
Sidang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (17/4/2018). Ketua majelis hakim Akhmad Jaini memimpin sidang serta didampingi oleh Ratmoho, Irwan, dan Sudjarwanto sebagai anggota hakim.
Dalam kesaksian, Solahudin mengatakan pernah meneliti keterkaitan terdakwa Aman dengan jaringan teroris di Indonesia. Data dan informasinya bersumber dari sidang dan wawancara dengan orang-orang terdekat terdakwa.
Solahudin mengategorikan pelaku teroris ke dalam empat golongan, yakni ahli ideologi, militan, pendukung, dan simpatisan. Terdakwa Aman dikategorikan sebagai ahli ideologi yang posisinya paling tinggi jika dibandingkan dengan lainnya.
Terkait kategori itu, salah satu anggota jaksa penuntut umum, Maya Sari, berkata, ”Kenapa ahli ideologi harus turut bertanggung jawab atas tindakan terorisme yang terjadi?”
”Perbuatan terorisme membutuhkan dalil agama sebagai suatu dasar atau pembenaran yang bersifat ideologis. Ahli ideologi memiliki posisi tertinggi karena memiliki pengaruh ini. Dia memberikan arahan dan batasan perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan,” tutur Solahudin.
Selain itu, berdasarkan penelitian, Solahudin mengatakan, terdakwa Aman dapat melabeli pihak-pihak yang dapat dibunuh berdasarkan interpretasi pribadi terhadap ajaran agamanya. Solahudin menambahkan, Aman dianggap sebagai ulama tertinggi oleh kelompoknya.
Terkait dengan peristiwa terorisme yang terjadi di Indonesia pada 2016-2017, Solahudin berpendapat, rangkaian aksi itu ada kaitannya dengan pertemuan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Malang pada November 2015. Pertemuan ini mampu memperkuat komitmen pelaku terorisme terhadap ideologi NIIS.
”Aksi terorisme dilakukan oleh orang-orang yang ideologinya kuat karena menunjukkan komitmen yang diyakininya,” ujarnya.
Terkait ideologi atau pemahaman terdakwa yang dituliskan dalam buku Seri Materi Tauhid, hakim Ratmoho berkata, ”Bagaimana alur buku yang ditulis terdakwa bisa sampai kepada kelompoknya meski terdakwa berada di lembaga pemasyarakatan?”
”Buku-buku yang masuk ke LP untuk diterjemahkan terdakwa itu berbahasa Arab. Petugas LP menganggap, kalau tulisannya berbahasa Arab berarti buku religi sehingga diloloskan. Padahal, isinya bisa jadi tidak demikian,” kata Solahudin.
Ratmoho menanggapi, ”Apakah hal itu sudah disampaikan?”
”Sudah. Sekarang petugas LP sedang mengikuti program peningkatan kapasitas diri, termasuk mengidentifikasi buku-buku yang berisi ajaran radikalisme,” ujar Solahudin.