JAKARTA, KOMPAS Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 jadi ikhtiar memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini tanpa melupakan keperluan generasi mendatang. Karena itu, pemerintah menyelaraskan 17 tujuan, 167 target, dan 241 indikator pembangunan berkelanjutan dengan perencanaan pembangunan.
”Presiden mengarahkan agar SDGs (Sustainable Development Goals) jadi gerakan mengatasi soal berdasar kontribusi berbagai sektor,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro dalam seminar dan peluncuran buku ”Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Indonesia” di Jakarta, Selasa (17/4/2018).
Buku itu ditulis mantan Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana serta mantan Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Endah Murniningtyas. Keduanya terlibat langsung dalam menerapkan SDGs.
Namun, Bambang menegaskan, tujuan SDGs yang ambisius tak mungkin dicapai sendiri oleh pemerintah. Jadi, perlu sinergi dan gotong royong dengan berbagai pihak, seperti lembaga swadaya masyarakat, kelompok bisnis, organisasi keagamaan, media, filantropi, dan pendidikan tinggi.
Menurut perhitungan Bappenas, biaya pembangunan infrastruktur terkait tujuan SDGs pengurangan kemiskinan (tujuan 1), air bersih dan sanitasi (6) serta industri dan penyerapan tenaga kerja (8, 9) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 Rp 5.519 triliun. Kemampuan pemerintah memenuhi kebutuhan dana itu 40 persennya. ”Biaya makin besar jika ditambah program dan kegiatan mencapai tujuan lain,” katanya.
Dosen Institut Pertanian Bogor, Bayu Krisnamurthi, menambahkan, jika hanya mengandalkan anggaran pemerintah pusat dan daerah, 12-15 persen tujuan SDGs bisa dicapai. Jika ditambah aturan bersifat memaksa mendanai program SDGs, hanya 25-40 persen tujuan SDGs tercapai.
Hal itu membuat 60-75 persen pendanaan SDGs butuh keterlibatan berbagai pihak. Apalagi, sesuai konsepnya, SDGs tak hanya jadi tujuan pemerintah, tetapi juga masyarakat. Jadi, pemerintah perlu mendorong agar para pihak mau terlibat dalam SDGs.
Kini beberapa pelaku bisnis menjalankan program berdampak dalam pencapaian SDGs. Namun, sistem koordinasi dan pelaporannya tak optimal. ”Penting membangun pemahaman politisi tentang SDGs agar mendapat dukungan politik,” kata Bayu.
Skema pendanaan
Menurut Bambang, untuk menghimpun dana dari berbagai pihak untuk pembangunan infrastruktur yang mempercepat pencapaian SDGs, pemerintah mengembangkan skema pendanaan campuran. Skema menghimpun dana pemerintah, swasta, filantropi, dan publik agar pencapaian SDGs lebih ringan.
”Jika mau mudah, pendanaan SDGs bisa melalui pinjaman komersial, tetapi bunganya tinggi,” ujarnya.
Bentuk skema pendanaan campuran itu antara lain mencampur dana hibah dengan pinjaman komersial agar beban bunga bisa ditekan. Skema lain ialah kerja sama pemerintah dan badan usaha untuk pembangunan infrastruktur prioritas, termasuk fasilitas sosial.
Sementara dana filantropi mulai dipakai untuk mendukung SDGs, khususnya pembangunan instalasi air bersih pedesaan. Itu dijalankan pemerintah bekerja sama dengan Badan Amil Zakat Nasional. ”Pemanfaatan dana filantropi keagamaan untuk mendukung SDGs itu kemajuan besar,” ujarnya.
Bambang berharap SDGs tak dijadikan sebagai beban. Adanya SDGs seharusnya mempermudah penyusunan kebijakan pembangunan.