JAKARTA, KOMPAS — Analisis politik melalui pembacaan perilaku pengguna media sosial menjadi fenomena yang tengah berkembang di dunia politik. Data yang didapat dari media sosial menjadi bahan untuk menyusun strategi kampanye politik yang efektif karena sasarannya akan lebih spesifik.
Kondisi ini membuat sejumlah partai politik (parpol) di Indonesia mulai menggunakan konsultan guna menganalisis data di medsos. Namun, mereka memastikan hanya menggunakan data yang legal dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ketua DPP Partai Golkar Zainudin Amali mengatakan, partainya menyatakan dengan jelas semua aspek dalam kontrak dengan lembaga konsultan, termasuk konsultan yang menggunakan data di medsos sebagai bahan analisis. ”Hal yang harus jelas itu termasuk soal sumber data yang digunakan. Data itu harus diperoleh dengan cara legal,” katanya, Selasa (17/4/2018) di Jakarta.
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno menuturkan, partainya juga menggunakan sejumlah lembaga konsultan politik untuk menghadapi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Selain menggunakan survei dengan metode konvensional, lembaga konsultan yang digandeng PAN tersebut juga mengelola data yang didapat dari media sosial.
Terkait hal itu, Eddy menegaskan, keterbukaan tentang metodologi dan sumber data yang digunakan oleh lembaga konsultan jadi kunci utama. Partai tidak hanya mengetahui hasil akhir analisis politik, tetapi juga harus mengetahui proses yang dilalui untuk mencapai analisis tersebut.
”Jadi, sebenarnya partai tahu ketika ada data yang mencurigakan atau tidak bisa dipertanggungjawabkan asal-usulnya,” ujarnya.
Perilaku pemilih
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, analisis politik dan perumusan strategi kampanye politik dewasa ini telah bergeser ke aspek mempelajari perilaku pemilih. Untuk masyarakat urban, metode yang paling tepat untuk mengetahui hal itu dengan mengamati perilaku pemilih di media sosial.
”Apalagi, ketika selisih jumlah pemilih yang riil dengan pengguna medsos semakin mendekati 100 persen, maka perilaku pengguna yang tampak di medsos bisa dibaca sebagai preferensi politik mereka yang sebenarnya,” kata Yunarto.
Kendati demikian, lanjut Yunarto, lembaga konsultan di Indonesia, termasuk Charta Politika tetap membatasi penggunaan data yang legal dan dapat dipertanggungjawabkan sumbernya, yaitu informasi yang dengan sengaja dan terbuka ditampilkan oleh pengguna medsos di akunnya.
Direktur Political Wave Yose Rizal mengatakan, pemanfaatan data di medsos dimaksudkan agar penyebaran konten kampanye atau pesan politik lainnya dapat menyesuaikan segmen calon pemilih.
”Untuk menjangkau calon pemilih dari generasi milenial, perlu materi yang beda dengan generasi baby boomer. Alhasil, pesan politik yang disampaikan bersifat personal,” ujarnya.
Yose mengatakan, telah melakukan analisis data medsos sejak 2012. Analisis dilakukan secara mandiri atau berdasarkan pemesanan, terutama menjelang kontestasi politik, seperti pilkada dan pemilu.
Namun, tambah Yose, pihaknya hanya menggunakan data pengguna medsos yang bersifat legal. Artinya, penggunaan data itu telah disetujui dan sepengetahuan penyedia layanan media sosial, seperti Facebook.
”Harus dipahami oleh masyarakat bahwa apa yang telah mereka unggah dan sebar di medsos otomatis menjadi milik penyedia layanan. Data itu yang kami gunakan, tidak hanya untuk tujuan politik, tetapi juga marketing,” kata Yose.
Kepala Bagian Analisis Teknis Pengawasan dan Potensi Pelanggaran Badan Pengawas Pemilu Ilham mengatakan, telah bekerja sama dengan Facebook untuk melakukan pendidikan kepada pengurus partai politik. Melalui program itu, Bawaslu dan Facebook berupaya memberikan pengetahuan untuk menghadirkan kampanye sehat di media sosial.
”Kami terus berusaha memberikan kesadaran perilaku politik ke pemilih dan elite politik. Kami juga berharap Facebook mampu mengantisipasi kehadiran kampanye hitam yang dapat memecah belah bangsa,” kata Ilham. (SAN/AGE)