Teka Teki Partai Politik
Pemilihan Presiden 2019 tidak semata mengejar kemenangan calon presiden-wakil presiden, tetapi juga soal hidup-mati partai politik.
Figur yang akan maju pada Pemilu Presiden 2019 masih teka-teki. Apa yang sudah dipertontonkan kepada publik masih bisa berubah hingga tiba waktu pendaftaran pada Agustus 2018. Terlebih, Pemilu 2019 tak semata mengejar kemenangan di pemilu presiden, tetapi juga soal hidup-mati partai politik.
Mandat diserahkan Partai Gerindra kepada Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto untuk maju kembali sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden 2019. Namun tak lantas menghilangkan keraguan bahwa Prabowo benar-benar akan maju pada 2019. Apalagi setelah Prabowo menerima mandat dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Gerindra, pekan lalu, Partai Keadilan Sejahtera yang selama ini dekat dengan Gerindra, justru melontarkan sinyale- men bahwa Prabowo belum tentu maju pada 2019.
PKS berkeyakinan pasangan capres-calon wakil presiden harus dibicarakan dan diputuskan bersama oleh partai-partai koalisi. Jadi, bisa saja dalam pembicaraan nanti, Prabowo tetap maju sebagai capres, tetapi bisa juga muncul figur lain.
Begitu pula posisi cawapres. Sejauh ini, PKS mengajukan syarat koalisi, yaitu satu dari sembilan kader PKS yang diputuskan Majelis Syuro PKS untuk menjadi bakal capres atau cawapres pada 2019, harus disandingkan dengan capres dari Gerindra. Namun, tidak menutup kemungkinan dalam pembicaraan, ada figur lain yang diajukan di luar sembilan nama tersebut.
”Kita akan musyawarah, siapa yang terbaik dalam hal integritas, kapasitas, dan elektabilitas,” ujar Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera dalam acara Satu Meja dengan tajuk ”Lagi, Prabowo dan Jokowi?” yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo di Kompas TV, Senin (16/4/2018) malam. Selain Mardani, hadir sebagai pembicara Ketua DPP Gerindra Nizar Zahro, Wakil Sekjen PDI-P Eriko Sotarduga dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
Menurut Mardani keputusan harus diambil bersama oleh partai-partai di koalisi karena saat ini tak ada satu partai pun yang bisa mengajukan pasangan calon sendiri. Hal itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyaratkan, capres-cawapres diusung partai atau gabungan partai yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di pemilu anggota DPR sebelumnya.
Gerindra, menurut Nizar Zahro, menyadari dan memahami harus berkoalisi untuk bisa mengajukan Prabowo. Oleh karena itu, saat Rakornas Gerindra, Prabowo sekaligus diberi mandat untuk menjalin komunikasi dengan partai lain.
Namun, dalam komunikasi itu, Prabowo tetap diperjuangkan menjadi capres. Belum ada pemikiran untuk mengajukan figur lain. ”Hingga kini, mandat tetap ke Prabowo dan Prabowo sudah siap untuk itu. Berikan kami kesempatan mencari partai koalisi. Apakah jadi dengan PKS? Ya, kita tunggu hasilnya, satu-dua bulan ke depan,” jelasnya.
Di luar Gerindra dan PKS, capres-cawapres yang akan diusung oleh tiga partai, yaitu Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional, juga masih teka-teki. Partai Demokrat menunggu keputusan Majelis Tinggi Demokrat yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono. PKB menanti keputusan Musyawarah Pimpinan Nasional PKB, Juni 2018. PAN menunggu keputusan Rapat Kerja Nasional PAN yang mungkin digelar pada Juni mendatang. Masih menjadi teka-teki pula apakah ketiga partai itu jadi berkoalisi untuk mengusung pasangan capres-cawapres.
Dengan segala kemungkinan, setiap partai terus berupaya menyodorkan kader terbaiknya agar bisa menjadi capres atau cawapres. Para kader terbaik partai ini pun intens turun ke masyarakat, menarik dukungan masyarakat.
Dari Demokrat ada putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono. Dari PKB adalah ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, yang didorong untuk menjadi cawapres. Dari PAN, ketua umumnya, Zulkifli Hasan, yang sesuai hasil Rakernas PAN tahun lalu, diputuskan untuk bisa menjadi capres atau cawapres. Sementara itu, di kubu lima partai yang telah menyatakan mengusung Presiden Joko Widodo, teka-teki terbesar ada pada posisi cawapres yang akan mendampingi Jokowi.
”Cawapres Jokowi nanti tentu figur yang bisa menaikkan elektabilitasnya dan memiliki chemistry dengan Jokowi. Tentu nanti figur-figur yang layak itu akan didaftarkan oleh partai-partai politik, dibahas bersama, dan biarkan para ketua umum partai bersama Jokowi yang memutuskan. Waktu tersisa empat bulan ini untuk melakukan eksaminasi, mencari kesesuaian, rumusan, dan komposisi yang tepat,” ujar Eriko Sotarduga.
Namun bukan perkara mudah untuk memutuskan figur yang tepat. Pasalnya, hampir setiap partai berkeinginan agar kader terbaik partainya ingin dipilih mendampingi Jokowi. Bisa saja jika kelak pendamping Jokowi diputuskan dari salah satu partai, akan menimbulkan kecemburuan partai lain. Akibatnya, kubu pengusung Jokowi yang kini tampak solid bisa tercerai berai. Partai yang cemburu tersebut terbuka kemungkinan berkoalisi dengan partai lain atau justru membentuk koalisi baru guna mengusung capres-cawapres sendiri yang bisa mengakomodasi kader terbaiknya.
Kelak terbuka kemungkinan akan ada pasangan capres-cawapres tunggal, yaitu Jokowi dan pasangannya. Ini tentu tidak dikehendaki karena bukan demikian esensi demokrasi. Seharusnya partai berkompetisi menghadirkan figur-figur terbaik.
Burhanuddin Muhtadi melihat partai politik di sisa waktu hingga pendaftaran calon pada Agustus 2018, akan mencermati dinamika yang ada dan akan memberi keputusan terbaik. Keputusan itu dinilainya tidak semata untuk kepentingan kemenangan di Pilpres 2019, tetapi lebih dari itu, untuk mempertahankan eksistensi partai.
Sebab dengan sistem pemilu legislatif dan presiden yang serentak, kader partai di posisi capres atau cawapres akan menjadi magnet bagi pemilih untuk ikut memilih partainya. ”Seperti pengalaman negara-negara di Amerika Latin yang menerapkan sistem pemilu serentak. Ada efek ekor jas (coattail effect) di mana capres-cawapres yang berasal dari partai, akan berdampak kepada raihan suara partainya,” ujarnya.
Efek ekor jas diburu partai-partai untuk meningkatkan suara partai sekaligus raihan kursi di legislatif. Namun, khusus partai kecil dan menengah, efek ekor jas diburu agar mereka lolos dari ambang batas parlemen. Raihan suara lebih tinggi ini sekaligus penting karena jadi tiket untuk Pilpres 2024. Jika raihan suara partai pada 2019 kecil, akan sulit bagi partai untuk bisa mengajukan calon pada 2024.
Jadi, apakah pada 2019 pemilih kembali dihadapkan pada opsi, Prabowo dan pasangannya atau Jokowi dan pasangannya? Belum tentu juga.